Buku, Pengetahuan dan Realitas yang Asing

Membaca buku Ideologame, membuat saya teringat dengan seorang dosen di kampus yang sudah mendapat gelar profesor. Beliau adalah professor yang rajin membaca buku, dan telah menerbitkan banyak buku karena kegemarannya pada buku. Hal inilah yang juga saya dapati pada hampir semua artikel yang saya baca di dalam buku Ideologame. Saya pun mulai berasumsi bahwasanya orang-orang yang menulis di dalam buku Ideologame memiliki satu disiplin yang sama dengan si professor yang telah saya singgung di awal. Mereka banyak membaca buku, dan kemudian menuliskan kembali yang telah dibaca.

Bagaimana tidak, pada satu tulisan di dalam Ideologame,  misalnya membaca satu artikel dengan panjang lima belas halaman kertas ukuran 14×20 cm, saya dapat menemukan minimal enam rujukan pustaka mengenai game. Baik membicarakan sejarah game, game dalam hubungannya dengan psikologi, game dalam hubungannya dengan masyarakat, dan seterusnya.

Banyak membaca, barangtentu bukan kesalahan, malah sesuatu yang harus diteruskan. Ryunosuke Akutagawa (cerpenis Jepang) pun pernah mengatakan, “Membaca buku sama dengan melihat sepertiga dunia,” pernyataan Akutagawa secara tidak langsung mengandung pengertian bahwa membaca itu penting.

Akan tetapi, yang menjadi masalah bagi saya, apabila yang kita baca di dalam buku membuat kita mencipta dunia yang khayali. Dan segala yang kita lakukan tidak berangkat dari realitas yang di khayalkan, tetapi khayalan yang di realkan.

Maksud saya, beberapa tulisan ditulis oleh orang yang justru tidak mengenal dengan akrab objek yang dia tulis pada dunia nyata. Akan tetapi si penulis ini mengetahui seluk beluk objek yang ia tulis secara sempurna lewat buku.

Selanjutnya, untuk menggambarkan objek, si penulis membawa buku-buku yang ia baca turut hadir ke dalam tulisannya. Sehingga tulisan yang dilahirkan tidak seperti suatu refleksi subjek terhadap objek, melainkan objek-objek yang mengelilingi si subjek.

Sederhananya, sesuatu ditulis justru berangkat dari teori lalu mencari objek untuk dibedah. Bukan karena ada objek yang menggelisahkan, sehingga orang ingin mengkajinya. Dan menurut saya, hal ini juga terjadi pada sebagian artikel di dalam Ideologame, yang disebabkan penulisnya tidak ingin menulis tentang game. Akan tetapi karena terjadi kesepakatan untuk menulis satu objek yang sama, sebagian penulis dapat menulis dengan lancar, dan sebagian lainnya musti tertatih-tatih untuk memahami sekaligus menerapkan hal yang baru ia ketahui.

Dan hasilnya, sebagai suatu tulisan ilmiah, tulisan yang dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, tetapi sebagai sebuah bahan bacaan, saya kira membaca Ideologame sama dengan membaca sejarah penciptaan dunia secara filosofis. Seperti Platon yang mengatakan bahwa bumi ini bulat, tetapi tidak pernah benar melihat bumi yang bulat sepanjang hidupnya.

Seorang professor di kampus saya dapat menulis puluhan buku, setelah membaca ratusan buku. Kemudian seorang kakak angkatan mengatakan pada saya, “Kamu harus membeli buku professor X itu, dan baca daftar pustakanya.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous post Pesan dari Balkan
Next post Setengah Dekade, Upaya Penertiban PKM FBS