citra pegawai keuangan dalam sastra indonesia

Citra Pegawai Keuangan dalam Sastra Indonesia

Dialah orang yang paling dekat dengan dan paling tahu tentang sistem pengaturan barang yang sangat menentukan dinamika masyarakat modern: uang. Dialah salah satu orang penting dalam organisasi perusahaan, bahkan bisa dianggap sebagai orang yang bisa menentukan sehat-tidaknya keuangan dan hidup-matinya suatu perusahaan.

Anehnya, tokoh nyata yang sepenting itu jarang dijumpai representasinya dalam karya para sastrawan Indonesia. Tentu, ajektif “jarang” itu bisa disangkal: banyak juga tokoh dalam karya sastra Indonesia yang memiliki profesi sebagai pegawai keuangan di suatu perusahaan.

Betul, tapi representasi pegawai keuangan itu sebagian besar “tidak mendalam”. Profesi mereka biasanya hanya disebutkan sekilas, tanpa eksplorasi lebih lanjut tentang hubungan, atau bahkan mungkin pengaruh baik langsung maupun tidak langsung, antara profesi dan perkembangan psikologis dan “nasib” si tokoh.

Para pegawai keuangan itu, seperti dalam tokoh-tokoh sinetron, hanya digambarkan secara komikal, tipikal, dan dipandang dari dua dimensi: baik atau jahat, tanpa mempertimbangkan alasan-alasan kenapa ia menjadi “baik” atau “jahat”, tanpa mempertimbangkan kerumitan psikologisnya.

Pendeknya, pelukisan sang pegawai keuangan hanya sekadarnya saja: simplistik.

Tapi, bukan berarti tidak ada. Setidaknya, kita bisa merujuk dua karya yang menggambarkan tokoh pegawai keuangan dengan selengkapnya, dan dengan demikian menampilkan mereka sebagai sosok yang “hidup” dan berdarah-daging, lengkap dengan kekurangan dan kelebihan, pikiran, dan perasaan rumit khas manusia.

Tokoh Pambudi dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak karya Ahmad Tohari adalah contoh yang pertama. Tokoh kedua adalah Sastro Kassier dalam buku babon Anak Semua Bangsa karya nominator Nobel Pramoedya Ananta Toer. Tokoh-tokoh itu, beserta dengan detail-detail profesinya, hadir kepada kita sebagai sosok manusia yang “berjiwa”.

Profesi sebagai pegawai di bagian keuangan di lumbung koperasi Desa Tanggir menjadi pintu gerbang yang mengantarkan Pambudi pada pengetahuan tentang berbagai masalah yang ada di dalam dunia fiktif Di Kaki Bukit Cibalak. Misalnya, ia tahu bagaimana:

Pak Lurah sering melanggar ketentuan-ketentuan perkoperasian yang selalu ia pidatokan sendiri. Tidak jarang Lurah memberi perintah menjual padi lumbung koperasi tanpa melalui ketentuan yang benar (h. 17).

Berdasarkan pengetahuan semacam itulah — karena pejabat lurah berikutnya pun sama lancungnya dengan lurah yang lama — ia mengambil sikap dan tindakan, yang menjadi awal dari rangkaian konflik, gawatan, dan denouement cerita Di Kaki Bukit Cibalak.

Ia tahu, misalnya, bagaimana Poyo, teman sejawatnya dalam pengelolaan lumbung desa, sudah bisa hidup sejahtera bersama istri dan anak-anaknya: “Rumah mereka sudah ditembok. Belum lama ini Poyo membeli sebuah sepeda motor” (h. 18).

Pambudi “tahu persis mengapa sejawatnya bisa memperoleh semua itu”:

Ia bekerja sama dengan Lurah, misalnya memperbesar angka susut guna memperoleh keuntungan berton-ton padi. Atau mereka bersekongkol dengan para tengkulak beras dalam menentukan harga jual padi lumbung koperasi. Dengan cara ini saja mereka akan mendapat keuntungan berpuluh ribu rupiah, karena mereka dapat mencantumkan harga penjualan semau mereka sendiri, dan dari tengkulak padi mereka mendapat semacam komisi (h. 18)

Pambudi memang digambarkan sebagai tokoh yang sepenuhnya “putih”. Tapi, penyajian sosok putih itu disertai dengan proses dan pemaparan alasan-alasan, dan alasan-alasan ini disajikan sebagai pergulatan psikologis dan intelektual yang mengandung kerumitan dan kebimbangan dan berayun-ayun antara moralitas baik dan buruk.

Termasuk untuk hal yang sangat sensitif bagi laki-laki: cinta. Pambudi punya kemampuan untuk memenangi hati Sanis, remaja tanggung cantik putri Pak Modin. Tapi, keputusan untuk mewujudkan kemungkinan itu pun masih ditimbang dari semua sisi dalam monolog interiornya yang panjang:

Umurku 24 tahun, pantas bila aku mencintai seseorang. Tetapi Sanis baru kelas dua SMP. Aku mau apa dengan si boneka yang sangat ayu tetapi masih bocah itu… Nah, aku sendiri menganggap perkawinan anak-anak seperti itu tidak berbeda dari perkosaan…. Pokoknya, demi kewajaran, aku setuju pada perkawinan antarorang dewasa bukan antaranak-anak (h. 73)

Pambudi sang pegawai keuangan dalam Di Kaki Bukit Cibalak adalah sosok pegawai keuangan ideal yang masih memiliki integritas dan setia pada moralitas yang diyakininya. Ia bahkan tidak mau diajak bekerja sama melakukan korupsi oleh atasannya walaupun ia bisa melakukannya dengan mudah.

Namun, tidak mudah untuk menjatuhkan penilaian moral begitu saja pada Sastro Kassier atau Paiman, kakak kandung wonder woman Nyai Ontosoroh dalam Anak Semua Bangsa karya Pram.

Dia memang gila jabatan. Posisinya sebagai juru bayar di pabrik gula Tulangan memang memberinya posisi terhormat di kalangan pribumi:

Tapi jabatan [juru bayar] — dia segala dan semua bagi Pribumi bukan tani dan bukan dagang. Harta-benda boleh punah, keluarga boleh hancur, nama boleh rusak, jabatan harus selamat… Semakin jabatan mendekatkan orang pada lingkungan orang Eropa, semakin terhormatlah orang (h. 195).

Apalagi, ayahnya Sastrrotomo, tidak pernah bisa mencapai jabatan setinggi itu: “Itulah Paiman, yang sekarang bernama Sastro Kassier, dan lebih berhasil dari Sastrotomo, ayahnya, ayah Nyai Ontosoroh” (h. 174)

Kehormatan itu terwujud secara fisik-ekonomi juga: rumah Sastro Kassier adalah “sebuah gedung baru, rumah terhormat di dalam kompleks pabrik gula Tulangan” dan “Sastro Kassier satu-satunya Pribumi yang mendapat rumah di dalam kompleks ini” (h. 179).

Sastro Kassier memang bersedia memberikan segala-galanya untuk mempertahankan jabatan, termasuk “menjual” Surati kepada Plikemboh. Tapi, bahkan keputusan untuk menjual Surati ini pun melewati proses “ya” dan “tidak” yang bisa bikin pembaca penasaran: Sastro Kassier, seburuk apa pun perbuatannya, masih tetap manusia yang berjiwa.

Bahkan dalam kekalutan baik sebelum maupun setelah siasat licik Plikemboh yang menuduhnya sebagai pencuri uang milik pabrik — tersimpan di brankas yang berada dalam pengawasan penuh Sastro Kassier — sang juru bayar masih melakukan tirakat untuk memutuskan apakah akan menyerahkan Surati atau tidak:

“Malamnya Sastro Kassier tidak pulang. Ia berjalan dan berjalan dan berjalan di kampung-kampung sebelah utara Tulangan… Ia berpikir dan tidak berpikir. Ia berdoa dan lupa apa saja yang didoakannya. Ia tidak menyambangi gundik-gundiknya. Ia tidak pegang kartu. Ia bertekad membersihkan diri dari segala noda….” (h. 196)

Sang juru bayar bahkan masih berusaha bersikap jantan ketika siasat licik itu dijalankan. Ia yakin bahwa pintu kantornya hanya bisa dimasuki oleh dirinya sendiri atau Plikemboh, dan opas jaga malam, walaupun hanya pada awalnya saja, mengaku melihat Plikemboh masuk ke kantor itu pada malam hari.

Ia berani mendebat Plikemboh, dan bahkan secara tersirat menuduh direktur pabrik gula yang sangat berkuasa itu: “Kau tadi bilang apa? Tuan Besar Kuasa Administratur yang masuk. Kau sekarang mangkir. Opas siang juga dengar. Opas siang!” (h. 205)

Tapi, pada akhirnya, Sastro Kassier tidak berdaya dengan siasat licik Plikemboh dan terpaksa menyerahkan Surati. Demikianlah, Sastro Kassier memang pada akhirnya menjadi tokoh “jahat”, yang menjual anaknya sendiri, persis seperti yang dilakukan ayahnya dulu dengan Sanikem.

Lantaran jabatan juru bayar itulah episode dalam Anak Semua Bangsa ini bisa melaju dan menciptakan kisahan yang memukau. Pun demikian dengan posisi Pambudi sebagai pegawai di lumbung koperasi desa Tanggir.

Masalahnya adalah: kita jarang melihat sajian literer yang sophisticated seperti itu tentang profesi yang sangat penting dalam dunia ekonomi sekarang ini!

Sumber gambar: Newsroom.Porsche.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

LPPM Kreativa Previous post Semiotika Lembut Ala Kris Budiman
Next post Sastra Indonesia Melangsungkan PMK 2017