
Dia dan Mesin Waktu di Penghujung Senja
Sosok itu begitu familiar bagiku. Aku berlari segera setelah melihat kilatan logam yang dia pegang.
“Apa yang kamu lakukan!”
“Kenapa?
Manik coklat dengan binar yang tidak pernah muncul kembali, entah mengapa melalui mata saya melihat rasa sakit. Dia tersenyum membentuk lesung pipit yang indah dengan rambut tergerai, namun kurasakan dia tidak bahagia itu. Pada satu titik aku menangis, lalu memeluknya dengan tubuh yang diam membeku. Rasanya sesak, dia tidak membalas pelukanku hingga jemarinya mengusap rambutku dengan lembut seolah mengatakan semua akan baik-baik saja. Dalam peluknya yang hangat, air matanya menetes di pundakku bersama dengan tubuhnya yang menjauh. Aku menggenggam tangannya, namun dihempaskan dan berjalan menjauhi punggungku.
Goresan tangannya masih terlihat kala itu, setidaknya tidak tergores baru. Dia sembuh dari lukanya dan memutuskan melanjutkan ceritanya. Hari ini dia begitu cantik dengan sorot wajahnya yang begitu damai. Di teriknya mentari siang ini aku masih tergugu setelah pamitnya, aku merasa ada bagian dari diriku yang hilang. Aku masih merasakan perihnya kejadian kemarin saat gaun putih iku bercorak merah dengan tubuhnya yang terkapar tak berdaya. Sekarang aku menunggunya, di tempat pertama kali aku menjadikannya rumah.
Baca Juga: Mr. Sunshine Dimulai Dengan Love Berakhir dengan Sad Ending
“Aku terluka dan merasa sepi di tengah hiruk pikuk” ucapku sembari melihatnya berlari dengan tantangan itu, karena hari terakhir aku menemuinya dan setelahnya kita akan terbatas oleh jarak dan kesibukan masing-masing.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” Dia datang terengah-engah dengan gaun hitam favoritnya.
“Aku menunggumu, bagaimana kabarmu?”
“Aku masih seperti kemarin, bagaimana denganmu?”
“Bagaimana saya bisa merasa baik, bila kejadian kemarin masih terlintas dengan jelas!!!”
“Kejadian tak usah dipikir, aku sudah sembuh dengan baik”
“Tapi…” belum sempat aku melanjutkan kalimatku dia berbicara ceria sekali dan tak mengizinkanku untuk mengutarakan pikiranku. Dia terus berbicara hingga kita tertawa lagi, memecah keheningan ditemani secangkir kopi yang masih hangat dengan camilan serta gorengan yang tersedia di atas piring putih ini. Sorot kita menerawang jauh, hingga kami kalat dalam lamunan masing-masing. Aku terhenyak dengan suara nyaring di telingaku, alarm kebakaran berbunyi dan aku masih berada di atap gedung ini. Tubuhku begitu terluka saat membuka mata, kejadiannya cepat dengan cahaya merah yang semakin menjauh dan sekelilingku hanya bayangan dengan taburan bintang yang terus mendekat. Melihat aku melihatnya di sampingku dengan menggenggam tangan yang dingin, namun tak kudapati siapapun lagi.
“Alannnn”
Suara parau yang selalu memelukku saat aku hanya bisa membisu tak mengucapkan sepatah katapun. Aku terbangun saat mama memanggil namaku.
“SIALLLLL!!!” teriakku sembari berlari mengendari mobilku.
“Kamu apa kabar, tidak inginkah memelukku kembali”
Air mataku tak bisa kubendung lagi, ia jatuh tepat di samping kursi yang dulu kau isi. BMW hitam melaju dengan kecepatan 250 km/jam. Biasanya dia yang marah saat aku seperti ini.
“Biasanya kamu duduk di sampingku lalu memukul lenganku karena kecepatan mobilku”
Sekilas aku melirik bangku di sampingku, sekarang kosong tak ada lagi gadis yang senang dengan permen coklat dan susu strawberry. Aku mengentikan mobilku untuk mendapatkan sebuket bunga mawar merah yang merekah dengan kertas buket berwarna merah dan pita emas.
Semuanya sudah selesai, tapi kenapa rasa sakitku tidak pernah usai. Aku melepas untuk bahagianya, tapi sial aku gagal. Senyumnya, jemari lentiknya, bahkan pelukan yang menenangkanku sekarang sudah lenyap. Semesta lebih menyayanginya dibanding aku, tapi dia jahat mengambil separuh jiwaku tanpa memberiku isyarat.
“Seharusnya pertemuan itu tidak terjadi, seharusnya…. seharusnyaaa arghh!!! “
Jasadnya tidak pernah ditemukan. Setelah pertemuan yang berakhir pada dimensi yang berbeda, aku yang seharusnya
masih bisa melihatnya sekarang hanya bisa menabur bunga di tempat yang pahit ini. Ku kira ceritaku selesai, seiring bangunan itu runtuh bersamaku. Nyatanya, hanya dia yang berakhir menjadi debu bersama serpihan ini. Dia bukan hanya seorang sahabat tapi dia nadiku.