
Dunia Tipu-Tipu
[EDISI MAGANG]
Penulis: Fadia Ababil Luna | Editor: Siti Nur Muthoharoh
Kopi yang masih membumbungkan uap panas itu tersisa kira-kira satu hingga dua tegukan lagi. Semrawut isi kepala ternyata membuat lidahnya mati rasa. Tekadnya untuk mencari kerja sampingan semakin bulat.
“Lu yakin mau ambil shift malam di sana, Wo?” Kedatangan pemuda berambut gondrong itu sedikit mengejutkan Bowo.
“Mang napa, Bang?” sahutnya tak acuh.
“Banyak klitih, Cuy! Lu mau pulang tinggal nama?” tanya lelaki yang tiga tahun lebih tua tak menyerah.
“Hidup dan mati di tangan Allah.”
Begitu saja lalu ia menyesap sisa kopi tadi. Diambilnya kunci motor, tak lupa bersolek tipis-tipis di kaca spion siapa tahu ada mbak-mbak kecantol. Dikendarainya Rembo, motor butut pemberian bapak lima tahun lalu, untuk mengejar lima menit terakhir sebelum mata kuliah berikutnya dimulai.
Namanya juga Jogja. Harap maklum kalau jarak dekat terasa jauh hanya karena macet. Selain sedikit kesal sebab lalu lintas terhambat, Bowo menyesal kenapa tadi ia malah memesan kopi panas alih-alih es. Terik siang itu membuat pakaiannya klebus. Dia berpikir bahwa sebentar lagi Jogja bergabung dengan planet Bekasi menyandang gelar kawasan terpanas di semesta RI.
Menggeser pandangan 45 derajat ke kiri, lelaki berkemeja tartan itu mendapati sekelompok penyanyi lampu merah. Netranya menelisik tiap anggota kelompok tersebut. Masing-masing membawa benda di tangan: ukulele, mikrofon, kajon, dan kaleng kerupuk yang dialihfungsikan menjadi wadah sumbangan. Namun, salah satu dari mereka tampak familiar.
Baca Juga: Tips Ormawa Produktif
Mirip sama yang danusan risol di kelas gue kemaren, batinnya.
Lalu pandangannya jatuh ke se-klumbruk jas almamater yang kalau dilihat secara teliti, ia yakin bahwa mereka berasal dari kampus yang sama.
Produktif banget dah. Pagi danusan, siang nyanyi di pinggir jalan, tambahnya dalam hati.
Konsentrasi Bowo pecah ketika salah seorang anggota berjalan ke arahnya.
Bener berarti.
Tak salah lagi, yang di hadapannya kini adalah si budak proker kemarin.
“Risolnya kemaren enak, Bro,” sapa Bowo.
Yang diajak bicara sedikit terkejut. Terlihat dari rautnya.
“Iya, sekampus kita,” tambahnya.
“Oalah! Trims ya udah beli risol saya.”
Bowo mengacungkan jempol selepas memasukkan uang dua ribuan ke kaleng. Dilihatnya lampu perempatan masih merah, lalu ia meneruskan obrolan.
“Lagi cari dana, ya?”
“Iya nih, Bang! Sewa gedungnya dimahalin. Kampus sendiri padahal.”
Baca Juga: Dilematis Persoalan Tarif Fasilitas Kampus
Tak banyak respon yang bisa Bowo berikan kecuali hanya anggukan kepala. Setelah si hijau menyala, ia mengakhiri perjumpaan singkat itu dengan lambaian tangan. Sepanjang perjalanan, Bowo menimang-nimang kembali ujaran bang Yasa di warkop tadi.
Banyak klitih.
Iya tetapi mau bagaimana lagi. Kerja sampingan adalah jalan pintas untuk membantu finansial keluarga. Saking kepepetnya, ancaman klitih tak membuatnya gentar lagi. Intinya dia tidak mau cuti hanya karena perkara tidak bisa membayar UKT.
Sudah tak terhitung jari berapa kali Bowo mengajukan banding UKT. Namun yang didapatinya lagi-lagi hanya kekecewaan. Mau daftar KIP-K? Sudah. Tapi yang lolos malah orang-orang yang gayanya mentereng. Pemuda itu dibuat geleng-geleng kepala. Tak habis pikir karena beberapa pemegang KIP-K ternyata memalsukan data. Mereka sengaja meminjam rumah tetangga yang kurang mampu untuk diaku-aku.
Sesampainya di pelataran parkir, Bowo memilih sudut yang teduh supaya jok Rembonya tetap dingin. Bergegas ia ke ruang kelas, memilih bangku terdepan. Kalau di belakang mengantuk katanya. Ketika menunggu dosen pengampu datang, pemuda itu menyempatkan diri untuk scroll Twitter. Matanya tertuju pada salah satu cuitan berita berjudul “Penggelapan Dana Fasilitas Kampus oleh Dosen X”.
Jarinya tergerak untuk memencet thumbnail berita tersebut. Ia tertarik membaca lebih lengkap sebab inisial pelaku sama dengan nama salah satu dosen tersohor di kampusnya.
Benar dugaannya. Lantas ia menghela napas seraya membatin, dunia ini isinya kalo ngga nipu, ya ditipu.
One thought on “Dunia Tipu-Tipu”