
Gaslighting: Tindakan Manipulatif dan Obsesif!
Gaslighting merupakan taktik yang digunakan seseorang untuk mengontrol diri orang lain dengan cara menyerang emosional korban. Istilah gaslighting pertama kali muncul dalam sebuah film yang berjudul “Gaslight”. Dalam film tersebut, seorang suami mencoba meyakinkan istrinya bahwa istrinya sedang mengalami gangguan jiwa. Fenomena gaslighting bersifat manipulatif dan toxic atau tidak sehat sehingga dinilai dapat merugikan salah satu pihak. Selain itu, tindakan ini sering tidak disadari oleh pelaku ataupun korban. Sebab, gaslighting bertujuan untuk menyelesaikan suatu masalah dengan memengaruhi korban agar setuju dengan perbuatan dan perkataan pelaku.
Gaslighting atau yang dikenal sebagai cuci otak (brainwash) bisa dilakukan oleh siapa saja, seperti teman, keluarga, pasangan, public figure, bahkan orang asing di media sosial. Seseorang yang sudah terbiasa melakukan gaslighting memiliki kecenderungan narsistik, sosiopat, dan psikopat. Pelaku atau gaslighter berusaha melindungi dirinya dengan cara memutar balikkan fakta. Hal ini bertujuan agar korban merasa kebingungan terhadap keadaan yang sebenarnya terjadi sehingga pelaku mendapatkan kendali penuh untuk menguasai pikiran dan jiwa korban. Para pelaku memulai permainannya dengan mengontrol pikiran dan mengimidasi korban agar mengikuti semua kemauannya. Seluruh cerita dan ujaran yang diungkapkan oleh para pelaku akan menjadi efektif ketika korban telah percaya sepenuhnya kepada mereka. Pelaku mengatakan kebohongan secara terang-terangan dengan cara yang halus. Bahkan, pelaku bisa mengelak dari fakta-fakta yang terjadi dan akan terus mengulangi kebohongannya. Selain itu, pelaku mengeklaim bahwa dirinya tidak pernah melakukan hal yang dituduhkan korban kepadanya dengan berbagai alasan atau justru pelaku menuduh balik korbannyalah yang telah melakukan kesalahan. Pelaku memanfaatkan situasi dengan mengatakan emosi korban sedang tidak stabil, sensitif, dan mudah baper. Pada posisi ini, korban merasa dipojokkan dan hanya bisa menyalahkan diri sendiri.
Baca juga: Hal Dasar Tentang Penyakit Mental
Gaslighting termasuk salah satu bentuk kekerasan dan pelecehan emosional yang sering terjadi di dalam hubungan keluarga, pertemanan, dan percintaan untuk mendominasi perasaan korban. Dalam anggota keluarga, gaslighting bisa dilakukan orang tua kepada anaknya. Misalnya, orang tua memarahi anaknya yang terjatuh dari sepeda. Kedua orang tua menyalahkan anaknya karena tidak bisa menjaga keseimbangan tubuh dengan baik. Perilaku ini dapat menganggu kondisi mental anak sehingga ia berpikir bahwa jatuh dari sepeda termasuk kesalahan yang fatal. Kemudian, gaslighting dalam pertemanan dapat ditandai dengan perasaan tidak percaya diri atau insecure akibat dari komentar teman. Misalnya, seorang teman mengomentari pakaian yang dipakai korban tidak sesuai dengan tren. Ucapan pelaku tersebut tentunya menimbulkan perasaan malu korban karena ketinggalan zaman. Gaslighting juga dapat terjadi dalam hubungan percintaan. Fenomena yang akhir-akhir ini sedang marak terjadi di media sosial, yaitu ketika salah satu pasangan mengancam melakukan tindakan bunuh diri apabila korban tidak memenuhi keinginan pelaku. Pelaku memposisikan dirinya sebagai penguasa pikiran korban sehingga dapat menyerang kondisi psikologis korban.
Korban mengalami tiga fase selama proses gaslighting, yaitu ketidakpercayaan atau disbelief, pertahanan atau defense, dan depresi atau depression. Pada tahap pertama, korban merasa kebingungan dan tidak percaya ketika pelaku menuduh dirinya berbuat kesalahan. Pelaku akan terus-menerus memojokkan korban bahwa korbanlah yang salah dalam sebuah situasi yang sedang dihadapi. Kemudian, korban melakukan pembelaan karena semakin disalahkan dan menolak tuduhan pelaku terhadap dirinya. Akhirnya, korban menerima dan mengalah atas tuduhan pelaku tanpa membela diri. Hal ini ditujukan untuk mempertahankan hubungan baik antara korban dan pelaku. Pada tahap depresi, korban merasakan dampak yang sangat besar kehidupan sehari-hari. Korban gaslighting merasa cemas, frustasi, putus asa, malu, pikiran kosong, disorientasi, dan obsesif. Selain itu, korban juga dapat menyakiti diri sendiri akibat dari perasaan bersalah, merasa dirinya berguna, tidak percaya diri, dan korban akan merasa semua tindakan yang ia lakukan salah.
Setiap orang perlu berupaya menghindari gaslighting, baik menjadi pelaku maupun korban. Pahami bahwa setiap individu memiliki hak yang harus dipenuhi, seperti hak diperlakukan dengan hormat, hak untuk mengatakan tidak tanpa rasa bersalah, hak memiliki pendapat yang berbeda, serta hak menjaga dan melindungi diri dari ancaman fisik, mental, dan emosional. Selain itu, seseorang dapat menjaga jarak dengan pelaku, menghindari menyalahkan diri sendiri, menggunakan waktu untuk hal-hal yang bermanfaat dan tidak merespon pelaku, serta katakan “tidak” secara tegas ketika pelaku memberi permintaan yang merugikan diri sendiri. Apabila kondisi psikis korban sudah terganggu, maka korban perlu segera konsultasi kepada psikolog agar masalah yang dialami dapat diatasi dan ditemukan solusi terbaik.