JENAZAH

Napas perempuan bertudung salem itu terhela panjang. Hampir seharian ia terkungkung dalam ruang 3×4 bersama lembar-lembar data hasil pemeriksaan dengan ditemani bau obat yang terus menguar. Kini, tenaganya habis terkuras. Perempuan itu tumbang sudah. Ia terduduk lalu serta merta punggungnya rebah ke kursi. Hampir saja ia menyerah.

“Kemana hasil pemeriksaan VCT anak laki-laki kemarin? Hilang kemana coba. Ah, benar-benar teledor!” si perempuan menggerutu.

“Dokter, kenapa Minggu Minggu kemari?”

Perempuan itu menoleh, ia dapati laki-laki bertumbuh tambun berdiri di bibir pintu. Ia kira hanya ada dirinya di puskesmas itu. Tetapi, dugaannya salah. Lelaki yang kesehariannya menyiapkan teh, membersihkan ruang-ruang puskesmas, dan sekaligus menjadi tukang jaga malam tempat berobat andalan masyarakat itu, juga ada bersamanya.

“Bisa saya bantu, Dok?” laki-laki empat puluhan itu mendekat.

Perempuan itu menggeleng, tersenyum tipis. “Tidak. Tidak perlu, Pak Man. Saya hanya mencari data hasil pemeriksaan. Mungkin terselip di suatu tempat. Atau mungkin saya bawa ke klinik di rumah. Ah, saya lupa!”

“Data pemeriksaan?”

“Iya, Pak Man. Data itu sangat privasi.”

“Kalau begitu, saya bantu mencari, Dok. Bisa saja ada di lemari arsip loket pendaftaran.”

Perempuan itu mengangguk. Tanpa berlama-lama ia bangkit dari duduknya lalu berjalan tergesa menuju lobi puskesmas.

“Dokter, sudah dengar kabar lelayu?” si lelaki tambun membuka percakapan kembali.

Lelayu? Siapa yang meninggal, Pak Man?”

Laki-laki tambun itu menggingit bibir. Diam sejenak. Bola matanya bergulir ke samping kanan lalu ke kiri.

“Pak?”

“E…Pasien njenengan, Dokter. Ibu muda yang selalu berkonsultasi pada Dokter setiap pekan.”

“Ibu muda?” Langkah perempuan itu terhenti. “Hanti? Hanti maksud Bapak?”

Kepala laki-laki tambun itu terangguk perlahan.

“Inalillahi… Kapan Pak?!”

“Dua hari yang lalu, saat Dokter masih kunjungan dinas di Bengkulu.”

“Kenapa tidak ada yang mengabari saya?! Satupun tidak ada!”

“A..anu, Dokter. Saya minta maaf. Waktu itu kami benar-benar kalut. Ada masalah dalam pengurusan jenazah almarhumah.”

“Masalah?”

Senyap sejenak. Beberapa detik puskesmas itu dipeluk keheningan.

“Iya, Dok. Tidak ada warga yang berani memandikan jenazah Hanti.”

Mata perempuan itu membulat. Ia memandang wajah laki-laki tambun di sampingnya lekat-lekat. “Kenapa bisa begitu, Pak Man?!”

“Mereka takut tertular AIDS, Dokter.”

“Ya, Tuhan…”  Air muka perempuan itu berubah seketika. “Saya gagal Pak. Saya gagal menjalankan tugas saya di desa ini.”

“Tidak, tidak. Bukan begitu, Dokter. Njenengan sudah tidak kurang-kurang memberi pengertian pada warga desa.”

Perempuan itu terdiam. Pikirannya kini bercabang-cabang. Mendadak matanya terasa panas, ada bulir air yang kemudian merembes di pipinya. Buru-buru ia usap air itu.

“Dokter, tapi tidak seburuk yang njenengan kira. Alhamdulillah ada beberapa petugas puskesmas yang melayat. Mereka yang akhirnya memandikan jenazah Hanti.”

Dada perempuan itu mendadak terasa sesak. Ada sesuatu yang tiba-tiba menindih pikirannya. Tapi, kemudian buru-buru ia berlari ke lobi. Ia ingin segera mememukan apa yang yang ia cari. Seraya berlari perempuan itu bergumam perlahan, “Anak laki-laki yang kemarin kuperiksa tidak boleh memiliki nasib yang sama dengan ibunya.”

(Logandeng, 2018)

“Tulisan ini terinspirasi dari kisah nyata yang dialami penderita AIDS di Kabupaten Gunungkidul.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous post Generasi Menunduk
lppmkreativa.com/hima-jawa Next post Hijau (Hima Jawa) Gelar Pentas Kolaborasi Sebagai Wujud Apresiasi Seni