
Kirab Saparan Bekakak Ambarketawang: Melestarikan Tradisi
Yogyakarta — Warga tumpah ruah di Jalan Raya Wates dan Ring Road Barat pada Jumat Pahing (3/11/2017) setelah salat Jumat. Pertigaan Pasar Gamping ditutup dari arah timur dan lalu lintas diarahkan ke selatan. Di arah barat, polisi menutup perempatan Depok.
Penutupan jalan ini dilakukan untuk menyambut upacara adat Kirab Saparan Bekakak. Upacara adat ini sudah menjadi agenda tahunan nasional dan termasuk dalam Primbon Sastra Jawa Keraton. Upacara ini dilaksanakan setiap bulan Sapar di Desa Ambarketawang, Gamping.

Pak Danang, panitia Saparan Bekakak yang tinggal di Dusun Tlogo, menjelaskan, “Acara ini dilaksanakan hari Jumat mendekati lima belas Sapar dengan pasarannya yang tidak tentu.”
Kata “Bekakak” sendiri memiliki arti dua pasang boneka pengantin yang terbuat dari tepung ketan atau beras berisi gula merah (juruh abang) ibarat darah hasil sembelihan.
Makna upacara adat Bekakak secara keseluruhan adalah untuk memperingati hilangnya Ki Wirasuto dan Nyi Wirasuto di Gunung Gamping, dan untuk memperoleh keslametan (keselamatan) bagi penduduk Ambarketawang. Pada zaman dahulu, warga di wilayah Ambarketawang mencari penghasilan untuk menghidupi keluarga dengan menambang batu gampang.
Menurut Pak Danang, Ki Wirasuto merupakan kerabat keraton yang menjabat sebagai abdi dalem. Wirasuto dipercaya hilang di sebuah telaga di dekat Gunung Gamping.
“Supaya mendapatkan berkah, tidak ada suatu hal yang menghambat, dan berhubung di situ juga ada kerabat keraton yang hilang, maka orang-orang memberikan istilahnya sesaji biar diberikan keselamatan, yang diwujudkan dengan acara Bekakak ini. Ki Wirasuto itu belum beristri, baru akan beristri. Berdasarkan mitos tersebut, pengantin yang muspra atau hilang itu adalah Ki Wirasuto dan Nyai Wirasuto,” papar Pak Danang.
Pasar malam digelar untuk menyambut acara puncak Kirab Saparan Bekakak ini. Pasar malam tersebut digelar mulai tiga minggu menjelang hari-H. Menurut Pak Danang, pasar malam ini bertujuan sebagai promosi atau penanda bahwa akan digelar Saparan Bekakak.
Masih dalam rangkaian acara Saparan Bekakak, ada acara midodareni. Midodareni dilaksanakan pada malam Jumat menjelang acara puncak. Di dalam acara ini, dilakukan serah-terima dua pasang Bekakak, dan boneka Genderuwo juga sudah siap.
Orang Jawa yang memiliki kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa juga memohon agar acara kirab esok harinya berjalan lancar, terutama agar tidak turun hujan. Jadi, acara midodareni itu intinya adalah nyenyuwun atau memohon agar seluruh rangkaian acara berlangsung sukses.
Pak Danang menceritakan, “Pada saat midodareni, dua pasang Bekakak diarak dari Gamping Kidul menuju Kelurahan Ambarketawang. Pagelaran wayang kulit juga digelar bersamaan dengan malam midodareni tersebut.”
Upacara Kirab Saparan Bekakak dimulai pukul tiga sore bertempat di Lapangan Ambarketawang. Dalam acara ini, selain display oleh kelompok kesenian masyarakat, juga terdapat prosesi pemecahan kendi dan pelepasan burung merpati. Pelepasan burung merpati itu memiliki makna tersendiri.

“Pelepasan burung ini sebagai simbol acara dimulai,” terang Pak Danang. Selain itu, pelepasan burung ini memiliki makna khusus yang berkaitan dengan sawangan.
Dahulu kala, di petilasan Gunung Gamping, setiap malam midodareni, terdengar bunyi sawangan. Sawangan adalah alat kecil yang biasanya dipasang di bagian belakang merpati dan mengeluarkan bunyi mendengung panjang saat burung itu terbang.

Peserta Kirab Saparan Bekakak berasal dari beberapa pedukuhan di Ambarketawang dan sekitarnya. Pada tahun 2017, terdapat 40 Bergada atau kesatuan seni keprajuritan tradisional Yogyakarta.


Para pedagang sayur dan buah di Pasar Sentral Gemah Ripah juga ikut serta memeriahkan Kirab Saparan Bekakak ini. Mereka membawa gunungan sebagai simbol rasa syukur bidang pertanian.

Dua pasang Bekakak merupakan ikon utama acara Kirab Saparan Bekakak. Dua pasang Bekakak diarak menuju tempat penyembelihan. Penyembelihan pertama di Gumuk dan penyembelihan kedua di Pesanggrahan Gunung Gamping.

Genderuwo juga dikenal sebagai maskot acara Kirab Saparan Bekakak. Boneka raksasa yang mirip ogoh-ogoh di Bali ini harus disangga oleh orang karena ukurannya besar.

Alasan adanya Genderuwo adalah bahwa dahulu kala penduduk sekitar Gunung Gamping percaya bahwa Genderuwo merupakan penunggu Pesanggrahan Gunung Gamping.
“Zaman dahulu, masyarakat memiliki kepercayaan bahwa orang penyangga Genderuwo tersebut tidak boleh berubah. Sesuai perkembangan zaman, kepercayaan tersebut mulai tidak digunakan,” tutur Pak Danang.
Beliau menambahkan bahwa orang penyangga Genderuwo diwajibkan untuk berpuasa, akan tetapi peraturannya sudah berbeda dengan zaman sekarang.
Menurut cerita Pak Danang, dahulu rangkaian adat kirab murni hanya terdiri dari dua pasang Bekakak, Genderuwo, Bergada Prajurit Keraton, dan Ampilan Dalem. Ampilan Dalem tersebut berupa binatang landak, burung gemak (puyuh), dan burung merpati.
Mitos Bekakak ini dapat digunakan sebagai pengembangan kreativitas masyarakat di Ambarketawang. Salah satunya adalah di Dusun Delingsari yang memunculkan cerita Nyi Poleng.
“Nyi Poleng merupakan musuh dari Ki Wirasuto. Dia tidak memiliki suami, tetapi memiliki banyak anak. Ambarsari salah satu anak dari Nyi Poleng,” terang Tono Kencing selaku anak dari sesepuh di Ambarketawang.

Acara Kirab Saparan Bekakak itu mengakibatkan kemacetan total di Jalan Raya Wates. Acara ini membutuhkan koordinasi dengan pihak kepolisian dari Kulonprogo, Sleman, dan Kota Yogyakarta berkaitan dengan penutupan jalan.
“Kami selaku pihak keamanan dan juga pihak kepolisian kuwalahan mengatasi kemacetan tersebut. Saat Bekakak sudah siap diarak, kemacetan belum bisa diatasi. Kami memerlukan banyak waktu dalam penutupan jalan, akan tetapi masalah itu bisa teratasi,” ungkap Pak Kahono dari seksi keamanan.
Pak Kahono menambahkan, kemacetan itu sudah hal biasa saat acara Kirab Saparan Bekakak tersebut. Pasalnya, ribuan penonton memadati Jalan Wates dan Ring Road Barat yang menjadi rute kirab.***