
Masalah Klasik Filmmaker: Dari Sensor hingga Pembajakan
Berdasarkan laporan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), yang terbit dalam buku “Wacana Sinema Menonton Penonton: Khalayak Film Bioskop di Tiga Kota,” jumlah penonton bioskop Indonesia pada tahun 2016 berada di angka 37,2 juta penonton. Jumlah tersebut terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, dan tahun 2018 jumlah penonton bioskop di Indonesia mencapai 52 juta penonton, atau meningkat 15,2 juta penonton. Hal ini menjadi angin segar dalam perkembangan industri film nasional di tengah maraknya layanan streaming film ilegal, yang menawarkan akses gratis dan banyak digandrungi penonton. Streaming ilegal maupun pembajakan pun menjadi masalah usang yang terus dihadapi industri kreatif di tanah air, termasuk film.
Di saat bersamaan, kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia juga kurang berpihak pada pekerja film. Upaya pemblokiran layanan streaming ilegal yang dilakukan melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), tidak dapat mengatasi masalah. Kendati kebijakan tersebut sudah diterapkan sejak penghujung tahun 2019, masih banyak layanan streaming ilegal yang tetap eksis hingga saat ini. Pemblokiran yang dilakukan Kominfo, hanya dilakukan kepada situs-situs populer dan sudah diketahui banyak orang.
Di saat bersamaan, banyak situs streaming ilegal baru yang muncul dan seolah dibiarkan. Belakangan, situs-situs yang sudah diblokir dapat diakses kembali oleh pemirsa. Penonton yang mengakses layanan streaming ilegal pun tidak dapat sepenuhnya disalahkan. Pasalnya, akses untuk menikmati film secara legal hanya bersahabat dengan sebagian kalangan saja.
Fasilitas publik pendukung, seperti bioskop yang tidak merata di tanah air, menjadi salah satu sebabnya. Berdasarkan rilis resmi Cineplexx XXI pada tahun 2016 jumlah layar bioskop di Indonesia mencapai 1.200. Jumlah tersebut sebetulnya terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Namun, jumlah layar bioskop masih belum sebanding dengan rataan penduduk di Indonesia. Terlebih, bioskop-bioskop di tanah air kebanyakan berada di kota-kota besar, seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya. Kebanyakan bioskop, yakni sekitar 80% yang ada di Indonesia pun berada di Pulau Jawa.
Baca Juga : Eksistensi dan Peran Komunitas Film Jogja
Ketimpangan fasilitas publik itu membuat masyarakat di daerah kesulitan untuk mengakses film-film bioskop. Ditambah dengan jaringan internet yang masih bermasalah untuk sejumlah daerah di luar pulau Jawa, dan sebagian kecil wilayah di Jawa, juga menjadi soal lain.
Jaringan internet pun memengaruhi peluang masyarakat untuk mengakses layanan streaming secara legal. Pasalnya, untuk beberapa wilayah di Indonesia, jaringan komunikasi dimonopoli oleh salah satu peruasahaan pelat merah. Di sisi lain, pemerintah Indonesia melakukan pemblokiran terhadap sejumlah layanan streaming, meski belakangan mulai dibuka kembali. Hal ini pun meningkatkan peluang masyarakat untuk mengakses layanan streaming ilegal.
Satu-satunya alternatif yang dimiliki oleh masyarakat di daerah untuk mengakses film secara legal adalah melalui saluran televisi. Itu pun di dominasi oleh sinema layar kaca yang selalu menghias waktu prime time, menonton film untuk masyarakat. Sementara untuk film-film yang memiliki kualitas bagus, ditayangkan di waktu yang kurang bersahabat. Hal ini dikarenakan kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia mengenai rataan usia penonton film. Untuk film action, misalnya hanya diizinkan untuk ditonton oleh masyarakat berusia 17 tahun ke atas. Oleh sebab itu, alih-alih menonton film di waktu yang kurang mendukung, kebanyakan pemirsa lebih memilih mengakses layanan streaming ilegal.
Masalah lainnya, untuk mengakses layanan streaming yang legal, juga bukan perkara mudah. Penonton harus melalui proses pendaftaran yang rumit (belakangan sudah dipermudah), di luar biaya langganan yang memberatkan bagi sebagian orang.
Kemampuan masyarakat untuk membeli tiket bioskop juga jadi catatan lain. Begitupula dengan biaya berlangganan layanan streaming legal, yang ditambah dengan biaya akses internet yang harus ditanggung. Dalam hal ini, kondisi ekonomi turut mempengaruhi daya beli masyarakat untuk mengakses film secara legal. Alih-alih menggunakan uang untuk membeli tiket bioskop atau membayar biaya langganan streaming, masyarakat lebih memilih layanan streaming ilegal.
Di Yogyakarta, misalnya harga tiket bioskop lebih mahal dari harga 3 Kg beras (Rp30.000). Oleh karenanya, untuk kalangan menengah ke bawah, menonton film bukan perkara boleh atau tidak boleh secara hukum, tetapi juga menyoal hajat hidup mereka.
Biaya lebih mahal harus dikeluarkan untuk penonton yang berada di wilayah ibukota Jakarta, dan sekitarnya. Film bioskop pun lebih banyak diakses oleh kalangan menengah ke atas, sementara untuk kalangan masyarakat menengah ke bawah, hanya menonton film di bioskop di waktu-waktu tertentu. Hal ini pun memengaruhi pendapatan yang diperoleh oleh pekerja film. Pasalnya, pendapatan utama yang mereka dapat dari pemasaran film komersil adalah jumlah tiket bioskop yang berhasil terjual.
Di sisi lain, seorang filmaker harus membuat karyanya sesuai dengan ketentuan yang diinginkan oleh pemerintah. Adegan-adegan kekerasan, seks, serta hal-hal tabu menjadi masalah yang kerap jadi perdebatan. Semua itu harus dilewati oleh filmaker, untuk menembus pasar komersil. Tidak jarang, sebuah film yang sudah menghabiskan banyak biaya produksi tidak dapat diputar di bioskop karena tidak lulus tahapan tersebut, terutama dari lembaga sensor. Bahkan, untuk film-film yang sudah lulus sensor juga masih berpeluang untuk turun layar lebih cepat.
Selain itu, layanan streaming ilegal jelas merugikan bagi filmmaker. Pasalnya, mereka telah melakukan banyak hal demi menghasilkan karya yang terbaik, namun mendapat timbal balik yang kurang.
Ditambah dengan situasi pandemi yang tengah melanda dunia saat ini, membuat industri film di seluruh dunia mengalami penurunan drastis. Sejak, pertangahan Maret-Mei 2020, misalnya produksi film hampir di seluruh dunia dihentikan, tidak terkecuali di Indonesia. Dari laporan CNBC, pada Mei 2020 setidaknya 120 judul film di Indonesia berhenti proses produksinya akibat pandemi Corona. Hal ini pun menjadikan masalah tersendiri bagi orang-orang yang terlibat, karena harus merinci ulang biaya produksi yang harus dikeluarkan.
Hal itu belum termasuk biaya promosi yang sudah dikeluarkan sejak film mulai diproduksi hingga ke bioskop. Dengan rentang waktu yang relatif lebih panjang, biaya produksi yang dikeluarkan juga bakal mengalami penambahan yang cukup signifikan.
Hal itu belum termasuk risiko yang mungkin di dapat pasca produksi, seperti tidak lulus sensor dan hal lain-lain. Di tahun 2020, pekerja film harus menghadapi masalah yang lebih kompleks, di luar masalah-masalah konvensional yang kerap terjadi dalam industri film tanah air.