
Mengangkat Budaya Lokal Melalui Ransel Panji
Yogyakarta-Terinspirasi dari topeng panji yang dibuat secara massal di Dusun Bobung, Patuk, Gunungkidul, sekelompok mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta menciptakan produk tas ransel kulit serupa topeng panji.
Ransel ini digagas oleh Lilik Nurkhamid (Pendidikan Seni Rupa), Andi Siyam Mawardi (Pendidikan Seni Rupa), Anggi Fatika Sari (Pendidikan Kimia), Najla Ifa Mumtaza (Pendidikan Akuntansi), dan Nadhila Hibatul Nastikaputri (Sastra Indonesia). Tas ransel dengan detail wajah serupa topeng panji itu diberi nama RATOPANJI dan telah diluncurkan bersamaan dengan gelar produk Dies Natalis UNY pada 03 Mei 2019 yang lalu.

Menurut Lilik Nurkhamid, pembuatan produk ransel topeng panji dilatarbelakangi oleh keprihatinannya terhadap eksistensi topeng panji. Lilik menyatakan, topeng panji yang merupakan gambaran tokoh kesatria asli Indonesia kini kian asing di telinga masyarakat. Anggi Fatika menambahkan, berdasarkan hasil survei yang mereka lakukan banyak masyarakat yang masih awam dengan topeng berhidung mancung dan bermata sipit ini.
Cerita panji sendiri adalah karya sastra lisan dari Jawa Timur yang popular di zaman Majapahit dan berkembang di seluruh Nusantara. Cerita ini menjadi sumber inspirasi lahirnya topeng panji. Dilansir dari website event Kemendikbud festivalpanji.id, cerita panji telah diakui sebagai salah satu Memory of The Word oleh UNESCO pada Oktober 2017 silam.
“Sayang, di era ini cerita panji seperti kehilangan nyawa. Kurang mendapat perhatian masyarakat. Banyak yang belum tahu jika topeng panji adalah budaya Indonesia yang diakui dunia. Suatu kondisi yang memprihatinkan mengingat cerita ini telah mendapat pengakuan UNESCO,” tutur Anggi.

Foto: penebar.com
Lilik mengatakan bahwa RATOPANJI hadir sebagai salah satu upaya mengangkat kembali entitas budaya yang kian terpinggirkan. Melalui pengaplikasian detail wajah topeng panji pada tas ransel – jenis tas yang dapat digunakan oleh semua kalangan – diharapkan topeng ini dapat lebih dikenal oleh khalayak luas.
Lebih jauh, ke depan produk ini digadang dapat menjadi kerajinan ikonik kabupaten Gunungkidul. “Ikon yang terkenal di Kabupaten Gunungkidul sendiri saat ini adalah walang dan thiwul. Padahal, masih banyak produk lain yang bisa dieksplor untuk dikembangkan menjadi ikon kabupaten ini, salah satunya topeng panji”, papar Anggi.

Foto: Andi Siyam
RATOPANJI diluncurkan dalam dua varian model, yaitu ransel dan portabel (gabungan ransel serta slingbag). Bahan baku yang digunakan untuk membuat ransel topeng adalah kulit sapi nabati. Lilik memaparkan, dibandingkan dengan kulit perkamen kulit sapi nabati lebih cocok untuk dibuat ransel topeng karena memiliki karakteristik yang lentur dan tebal. Dengan begitu ketika ditatah kulit tak akan mudah tembus.
Untuk membentuk detail wajah topeng pada punggung tas digunakan metode tatah sungging, yaitu teknik penatahan yang disertai dengan pewarnaan. Menurut Lilik, metode ini digunakan agar dihasilkan efek timbul yang mengesan.
Anggi mengungkapkan produk RATOPANJI memiliki peluang untuk dikembangkan dan menjadi brandseller di masyarakat. “Hal ini karena RATOPANJI merupakan produk dengan desain unik yang belum pernah dijumpai di Yogyakarta maupun di Indonesia”, sambungnya.
Agar jangkauan pemasaran produk ini lebih luas, Anggi mengatakan bahwa ke depan pihaknya akan menjalin kerjasama dengan Dinas Pariwisata Gunungkidul serta pusat perbelanjaan cendera mata yang ada di Yogyakarta dan sekitarnya.
(Nadhila Hibatul)
One thought on “Mengangkat Budaya Lokal Melalui Ransel Panji”