Pentas Drama ‘Mega Mega”: ‘Ngeplak Wong-Wong Sing ‘Gak Nduwe Ati’

IMG_2611
Senin (2/5) saat Retno dan Tukijan berselisih di depan Emak.

Yogyakarta – Senin malam (2/05) tepatnya pukul 20.00 WIB sebuah pertunjukkan teater yang bertajuk Mega Mega dimulai. Teater ini disambut riuh tepuk tangan penonton yang walaupun tidak terlalu memenuhi tribun penonton di gedung pertunjukkan Stage Tari Tedjokusuma UNY, tapi mampu meramaikan suasana. Pertunjukkan teater ini dipersembahkan oleh mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang (UM) yang bekerja sama dengan KMSI serta Hijaw. Acara dimulai dengan monolog yang dibawakan oleh Prof. Dr. Maryaeni, M.Pd dengan tajuk Koruptor Budiman. Sebuah monolog yang sangat mengesankan mengenai kehidupan koruptor yang ‘budiman’. Prof. Maryaeni pun berhasil memukau penonton dengan monolognya karena mampu berinteraksi cukup baik dengan para penonton.

Pertunjukkan drama ini disutradarai oleh Muhammad Leo Zaeni. Mega Mega diambil karena memiliki makna dan jiwa yang dalam mengenai bagaimana seorang ibu yang ditinggal anak-anaknya, rasa mereka yang terpinggirkan, dan mereka yang menjadi anak jalanan. “Ini sebenarnya konsep sutradara Leo, jadi ada ruh yang berbeda, karena ini suatu karya sastra yang memiliki rasa sungguh dalam yang mencerminkan kehidupan manusia,” ungkap ketua panitia, Febri Putra Wardana. Febri menambahkan bahwa konsep Mega Mega sendiri bukan mengenai  rumah mewah yang berada di sana sini, tetapi esensinya lebih kepada kebersamaan di dalam rumah itu sendiri.

Relevansi kisah drama ini dengan kehidupan sosial masyarakat terletak pada sikap egois atau individual masing-masing orang yang berusaha mendapatkan apa yang mereka inginkan harus mengorbankan kehidupan dan kebahagiaan orang lain. “Drama ini ditujukan untuk mereka yang egois, istilahnya itu kalau dalam bahasa Malang ngeplak wong-wong sing gak nduwe ati,” terang Febri.

Pemilihan tempat ini sangat berkaitan erat dengan tema drama yang sama-sama berlokasi di Yogyakarta.  Sejarahnya, Kisah Mega Mega berlatar belakang di Alun-alun Kidul Yogyakarta yang kemudian diadaptasi dalam sebuah drama. “Pemilihan tempat di UNY ini karena sejarahnya berasal dari Yogyakarta dan kami menginginkan konsep yang berbeda sehingga kami memutuskan untuk bekerja sama dengan KMSI dan disinilah kami,” lanjut Febri.

Dengan persiapan kurang lebih 3 bulan dari bulan Februari, para mahasiswa UM ini mampu membawakan kisah drama ini dengan baik. Terbukti dengan tawa penonton ketika adegan lucu. Acara sempat tertunda sekitar setengah jam, karena ada beberapa persiapan yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Tentu pentas di Malang dan di Yogyakarta berbeda, terutama terkait dengan persiapan. “Justru persiapan disana lebih ribet. Yang kita inginkan seperti ini tapi kita tidak bisa menyampaikan apa yang kita sampaikan sampai akhirnya mentah banget,” terang Febri. Kesan ‘mentah banget’ itu juga muncul karena properti yang ada tidak terlalu mendukung drama. Mereka biasanya menggunakan banner, sedangkan disini dengan bantuan KMSI disediakan barang atau properti yang mendukung latar drama jadi terkesan nyata.

Dengan adanya pentas ini diharapkan bisa terjalin hubungan yang baik antara UNY, UM, maupun universitas-universitas lain. Pihak UM pun sangat senang ketika nanti UNY berkenan berkunjung ke UM. “Jadi biar ada timbal balik, ini sebenarnya bentuk tagihan kepada UNY,” tutup Febri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous post Pesta Sastra Buka Pintu KMSI
Next post FBS (tidak) Ikut Display Ormawa