
Bangkit dari Luka
Duduk di tengah panggung dan melihat para penonton sedang menikmati musik biola dengan irama yang membuat mereka terkesima, seketika gedung itu dipenuhi oleh tepuk tangan pujian dan kekaguman untuk sang violinis. Sang violinis berdiri membungkuk dan memberikan hormatnya kepada penonton, kelopak bunga pun berhamburan mengelilingi sang violinis. Violinis itu adalah aku.
***
Aku memiliki bakat bermain biola dan menjadi seorang violinis terkenal di dunia adalah mimpiku. Aku telah menghabiskan waktu dan tenaga untuk berlatih dengan tekun dan aku selalu menginginkan untuk menjadi yang terbaik. Saat aku melewati koridor kelas, aku melihat wall magazine yang ada di sekolahku. Aku tertarik untuk mengikuti lomba biola tingkat nasional tersebut dan aku berharap ini adalah kesempatanku untuk menjadi violinis terkenal di dunia.
Aku terus belajar dan menguasai teknik yang akan aku mainkan saat kompetisi. Bermain biola dan menikmati irama yang aku mainkan membuat jemariku ikut menari di atas senar. Aku merasa yakin bahwa mimpiku akan segera terwujud. Aku merasa bangga dengan diriku sendiri. Hari yang aku tunggu pun datang. Aku meminta doa kepada kedua orangtuaku sebelum aku naik ke atas panggung. Lampu dimatikan dan tirai merah terbuka, meninggalkanku sendirian di tengah panggung. Lampu sorot menemaniku bermain dengan biolaku. Jariku mulai menari, mataku terpejam, dan aku sangat menikmati nada yang keluar dari biolaku.
Aku duduk di kursi belakang panggung dengan hati dan pikiran yang penuh harapan. Pengumuman pemenang pun tiba. Aku memejamkan mataku dengan penuh harapan. Juara harapan satu diumumkan, tapi namaku tidak terpanggil. Dengan penuh harap, aku berharap akulah pemenang pertama itu. Juara ketiga dan kedua pun sudah diumumkan, lagi-lagi namaku belum juga terpanggil. Detik ini adalah detik yang sangat menegangkan karena di dalamnya terdapat harapan yang dinantikan. Ketika juara satu diumumkan, seketika aku merasa tersambar petir. Semua yang kulihat terasa seperti semu. Hatiku mulai tergores oleh harapan yang tidak terwujud. Ya, aku gagal.
Aku merenung tentang apa yang terjadi. Aku merasa frustrasi dan meragukan bakatku. Aku merasa semua upaya dan pengorbananku sia-sia. Pikiranku dipenuhi dengan kekecewaan dan kegagalan. Kompetisi biola tingkat nasional yang sangat penting bagiku untuk mengawali karirku, tetapi hasilnya sangat mengecewakan. Aku gagal meraih tempat pertama, bahkan tidak masuk ke dalam jajaran pemenang.
Langit biru tertutup awan kelam, suara angin mulai ribut di luar sana. Aku diam, merenungi pikiran yang dihantui oleh harapan dan luka yang semakin menusuk ditambah air mata yang tak hentinya mengalir. Isak tangisku pecah ditemani air hujan yang turun dengan derasnya, seakan alam pun ikut bersedih dengan semua ini. Aku mulai memejamkan mataku.
Dalam keheningan taman yang sunyi, aku melihat seorang kakek yang duduk di bangku dekatku. Kakek itu memperhatikanku dengan bijaksana. Kemudian, kakek itu menyapaku dengan lembut.
“Maafkan saya jika sepertinya saya mengganggu Anda, tetapi saya dapat melihat kesedihan dan kekecewaan di wajah Anda. Apa yang terjadi, Nak?”
Aku menatap kakek itu dengan mata yang penuh air mata. Aku menceritakan tentang mimpiku menjadi seorang violinis terkenal dan bagaimana kegagalan di kompetisi itu membuatku merasa hancur. Kakek itu mendengarkan dengan penuh perhatian dan kemudian berkata,
“Kegagalan adalah bagian alami dari perjalanan hidup, Nak. Bahkan orang-orang terhebat di dunia pun pernah mengalami kegagalan. Namun, apa yang membedakan mereka adalah bagaimana mereka bangkit kembali setelah kegagalan. Nak, pahamilah jika sesuatu yang direncanakan tidak berjalan sesuai rencana, itu tidak apa-apa. Artinya ini bukan cara yang tepat, masih banyak cara lain untuk mewujudkannya. Hanya perlu sedikit lebih banyak waktu untuk membangun kembali rencana tersebut. Jangan pernah menyerah, hidup harus terus berjalan. Jika hari ini tidak berjalan dengan baik, kamu masih punya banyak waktu. Berdoa saja untuk kabar baik besok.”
Aku memperhatikan kata-kata bijak dari kakek itu. Aku mulai menyadari bahwa kegagalan bukan akhir dari segalanya, tetapi hanya titik awal untuk tumbuh dan belajar. Kakek itu melanjutkan,
“Penting untuk merenung dan mengambil hikmah dari kegagalanmu. Tanyakan pada dirimu sendiri apa yang bisa kamu pelajari dari pengalaman ini? Bagaimana kamu bisa menjadi lebih baik dan lebih kuat di masa depan?”
Seketika aku terbangun dari mimpi itu. Aku merasa mimpi itu nyata dan apa yang dikatakan kakek itu benar. Aku mengambil hikmah bahwa kegagalan adalah bagian dari hidup. Jangan biarkan mereka mengalahkanmu, tapi jadikanlah mereka batu loncatan menuju kesuksesanmu. Aku berterima kasih kepada kakek itu dan berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menyerah pada mimpiku.
Penulis: Siti Nur Muthoharoh
Editor: Salma Najihah