Advertisement Section

Film Bumi Manusia Diputar pada Layar yang Terlalu Lebar

lppmkreativa.com– Ketika membaca pernyataan Hanung Bramantyo, yang dilansir laman CNN Indonesia, ekspektasi saya terhadap film Bumi Manusia, langsung surut. Pasalnya, ia menyebut Bumi Manusia, sebagai kisah cinta Minke dan Anelies, alih-alih mengutip kalimat Pramodya Ananta Toer, dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 2, “Saya Ingin menulis tentang bumi manusia dan segala persoalan yang ada di dalamnya.”

Kendati demikian, bukan berarti keinginan untuk melihat kisah cinta Minke dan Anelies, langsung hilang sama sekali. Kisah cinta remaja, bukanlah ide yang buruk untuk menggambarkan Minke, pada bagian awal tetralogi Buru, sambil berharap yang disuguhkan tak melulu soal itu. Singkatnya, saya tetap menantikannya dengan harap-harap cemas dan bersiap akan kecewa.

Minke pada bagian awal Bumi Manusia, memang bukan seorang pribumi yang sadar akan penderitaan nasib bangsanya, sebagaimana melekat pada tokoh tersebut di kalangan pembaca sastra. Ia adalah seorang pribumi yang lahir dari keluarga bangsawan, dan memiliki kesempatan untuk hidup layak sebagai manusia, dan mengenyam pendidikan Eropa, sebagai bagian dari politik ethiek kolonial.

Sederhananya, Minke, di bagian awal buku Bumi Manusia, adalah remaja pada umumnya di zaman itu, yang mengagumi kecantikan perempuan, dan silau akan hal-hal yang berbau Eropa. Ia kemudian digambarkan dalam buku yang ditulis oleh Pramodya, melalui proses yang panjang dan memiliki sebab yang jelas, untuk menjadi sadar dan peduli akan penderitaan nasib pribumi bangsanya, yang kebanyakan tidak seberuntung dirinya.

Sementara di dalam film, segala perubahan yang terjadi berlangsung dengan sim salabim, semuanya terjadi begitu saja.

Kisah Cintanya Pun Kedodoran

Menyebut Bumi Manusia, sebagai kisah cinta Minke dan Anelies pun saya kira kurang tepat. Pasalnya, di dalam cerita percintaan Minke dan Anelies, segalanya terjadi dengan serta merta, tanpa ada alasan yang kuat. Misalnya, pada bagian Minke mencium Anelies, pertama kali yang tanpa tedeng aling-aling, ujuk-ujuk dicium.

Sementara di bagian sebelumnya, tidak ada adegan yang melatar belakangi tindakan itu dilakukan oleh Minke. Tiba-tiba ada adegan ciuman, yang lebih mirip 2 anak balita yang berciuman karena disuruh mencim oleh orang tuanya.

Dalam ulasan Bumi Manusia, Cukup Bersetia dengan Novel, Tapi Kedodoran yang dimuat laman tirto.id, Indira Ardanareswari, menulis bahwa satu-satunya hal yang digarap serius dalam film tersebt memang kisah cinta Minke dan Anelies.

Akan tetapi, menurut saya bagian percintaan antara Minke dan Anelies, juga tak kalah kedodorannya dengan bagian-bagian yang lain. Selain adegan-adegan keduanya yang serba ujuk-ujuk, bagian-bagian yang mestinya dapat memnculkan keromantisan, justru tak dimunculkan. Padahal, Hanung telah mendeklarasikan, seperti disebut di awal, bahwa Bumi Manusia adalah kisah cinta Minke dan Anelies.

Tidak ada kalimat seperti Bunga Pentup Abad, yang merupakan satu bagian palinng romantis dalam buku, sebagai deskripsi cinta kasih dan kekaguman Minke, akan kecantikan Anelies. Kendati ada bagian yang dapat dicurigai sebagai penyampaian simbolis, ‘bunga pentup abad’ ketika Anelies berjalan dan meletakkan setangkai bunga ke dalam vas, hal itu tak dapat mewakili Bunga Penutup Abad. Selain tidak romantis, hal tersebut tidak menggambarkan kekaguman Minke, kepada Anelies.

Seandainya Hanung, kembali membuat film dari novel berikutnya dari tetralogi Buru, bagaimana dia akan memulai bagian awal Jejak Langkah. Barangkali, ia akan mengabaikan Bunga Penutup Abad, sebagaimana ia lakukan dalam Bumi Manusia. Atau Hanung, akan menggunakan jurus ujuk-ujuk.

Jean Marais Hanya Jadi Pelengkap

Selain kehilangan Bunga Penutup Abad, Bumi Manusia, juga kehilangan sosok Jean Marais, yang di kalangan pembaca sastra sering dianggap sebagai ruh cerita di dalam Bumi Manusia versi novel. Pemilihan aktor yang hanya mempertimbangkan bentuk fisik bule [Hans de Kraker], yang belepotan dalam berbicara membuat petuah yang diutarakannya kerap membuat dahi mengkerut.

Alih-alih menjadi ruh cerita, Jean Marais, justru sekadar pemanis untuk membuat cerita berjalan sesuai alur di dalam buku. Nestapa Jean Marais, pun turut membuat anaknya, yakni Maysaroh Marais, atau May turut merasakan kekosongan peran sang bapak.

Jika di dalam Bumi Manusia, versi novel, May digambarkan sangat dekat dengan Minke, bahkan kemudian juga dengan Anelies, di dalam Bumi Manusia versi film, tak lebih dari sekadar anak kecil yang tak punya peran apa-apa. Padahal, dalam semesta Pram, May adalah gadis kecil yang mampu berpikir laiknya orang dewasa, yang disebabkan oleh keadaan hidup.

Singkatnya, Bumi Manusia dalam versi novel dengan Bumi Manusia versi film adalah 2 cerita yang sama sekali berbeda. Jika di dalam novel, Pramodya ingin menggambarkan Bumi Manusia dengan segala persoalan yang ada di dalamnya, Hanung Bramantyo, membuat Bumi Manusia, dengan segala kisah cinta dan segenap keajaiban di dalamnya.

Jika oleh sejumlah kalangan, kekurangan di dalam Bumi Manusia versi film, dapat dimaklumi karena kesetiaan pada alur, sehingga tak mungkin mengadaptasi buku setebal lebih dari 600 halaman ke dalam satu cerita yang dapat dinikmati dengan sekali duduk. Maka, tak seharusnya Hanung, memaksakannya ke dalam satu film saja.

Kendati begitu, ia telah terlanjur menciptakan film laris di pasaran dan penonton sudah terlanjur pula mencintai Bumi Manusia, dengan segala kisah cinta dan segenap keajaiban di dalamnya. Satu hal yang melegakan adalah, lewat film Hanung, banyak remaja yang kemudian membeli dan membaca buku Bumi Manusia, yang dalam beberapa dekade lalu tak bisa dibaca oleh sembarang orang.

Akan tetapi, mengutip pernyataan Joko Anwar, salah satu sutradara ternama di tanah air, dalam sebuah talk show di salah satu televisi swasta, “Seharusnya, sebuah film ditonton dan diapresiasi karena kualitasnya,” bukan karena embel-embel yang melingkar di sekitarnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous post Tulisan Mengenai PKKMB Ini Tidak Memiliki Gagasan!
Next post Gundala: Memporak-Porandakan Komik, Setia Pada Nilai