Hidup Mati Industri Film Indonesia
Tahun ini, Indonesia merayakan Hari Film Nasional dengan keadaan bioskop-bioskop yang sedang terkunci. Diikuti dengan ditundanya jadwal penayangan, serta kegiatan perfilman yang melibatkan proses di luar ruangan. Seolah-olah, keadaan ini membuat perfilman Indonesia (bahkan dunia) seperti “mati”.
Bicara soal mati, industri film Indonesia pernah ada pada masa itu, namun kita berhasil bangkit. Mari kita tilik kembali perkembangan industi film Indonesia dari waktu ke waktu.
Bangkitnya Perfilman Indonesia dari Mati Suri
Mari kita lihat jauh ke belakang. Lotoeng Kasaroeng, film pertama yang dibuat di Indonesia. Tahun 1900-an, era di mana film Indonesia masih diproduksi dan disutradarai oleh orang asing (Belanda pada masa itu). Sedang di masa penjajahan Jepang, film dijadikan alat poraganda politik.
Hingga tahun 1950, tepat hari ini, 70 tahun yang lalu film Darah & Doa memulai produksinya. Ialah Usmar Ismail, tokoh di balik lahirnya film Indonesia pertama yang benar-benar diproduksi dan disutradarai oleh orang Indonesia. Pada era ini, perfilman tampak gemilang. Bioskop Metrolope mulai berdiri, Perfini dan Persari pun terbentuk, serta ajang Festival Film Indonesia menggelar acara perdananya.
Namun sayang, era ini harus berakhir seiring dengan memanasnya situasi politik tahun 60an. Inflasi besar-besaran melumpuhkan industri film. Kemudian disusul dengan datangnya era pertelevisian yang cukup menarik animo masyarakat. Ditambah lagi dengan maraknya DVD serta VCD yang membuat persaingan semakin ketat.
Dititik inilah perfilman kita mulai mati. Periode di mana industri perfilman kita hanya mampu memproduksi dua hingga tiga film per tahun, itupun didominasi oleh tema seks. UU No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman yang mengatur tentang peniadaan izin produksi pun turut menyurutkan produksi film.
Barulah di awal tahun 1998, perfilman Indonesia mulai mengeluarkan taringya kembali. Garin Nugroho, dengan Cinta dalam Sepotong Roti-nya seakan mengajak insan-insan film di Indonesia untuk bangkit kembali. Terbukti, disusul dengan menetasnya Jelangkung, Ada Apa Dengan Cinta, serta Petualangan Sherina. Hingga kini, perfilman tanah air terus mengalami perkembangan.
Genre yang Berkembang
Telah disebutkan di awal, ada masa di mana film Indonesia didominasi oleh tema-tema yang vulgar, berbau seks, 21 tahun ke atas. Ini terjadi di era 70-an, yang sebetulnya merupakan suatu bentuk protes untuk pemerintah mengenai sensor film yang ketat.
Film horor dan komedi juga pernah menjadi tren. Era 80-an, eranya film-film Warkop DKI, serta sang legenda film horor, Suzanna. Barulah di era bangkitnya industri film, genre drama romantic mendominasi. Film AADC semacam menjadi tren setter film drama romantis kala itu, disusul Eiffel I’m In Love, Cinta Pertama, dan lainnya.
Meskipun di tahun 2000-an Indonesia sempat kembali ke formula film horor erotis, namun bioskop lebih ramai dengan genre yang berbeda-beda. Mulai dari action hingga fiksi sejarah.
Beragamnya genre film di Indonesia tak semudah yang terdengar. Sebab perkembangan ini juga dibarengi dengan protes sana-sini oleh beberapa kelompok. Sebut saja film Kucumbu Tubuh Indahku, yang mendapat seruan boikot dari banyak ormas agama. Juga Dua Garis Biru, yang mendapat protes serupa. “Mengajarkan moral yang buruk” katanya.
Untungnya kedua film ini berhasil membuktikan kehebatannya di ajang film. Piala Citra berhasil disabet oleh Garin, menunjukkan bahwa filmnya layak beredar dan ditonton, serta sebagai wujud potret kebudayaan Indonesia yang harus diingat.
Wabah di Era Digital
Perfilman Indonesia sedang di puncak-puncaknya, menurut saya. Mulai dari genre yang makin beragam, film Indonesia yang masuk berbagai festival film internasional, hingga kembalinya kepercayaan masyarakat Indonesia akan film lokal yang dibuktikan dengan perolehan jumlah penonton yang meraih angka jutaan.
Sayang, wabah datang di saat Industri film justru sedang kembali produktif. Bagi saya, perfilman pada masa wabah ini lebih tepat dikatakan sedang “istirahat”. Sebab, berhentinya segala aktifitas terjadi bukan tanpa alasan, bukan? Bahkan, beberapa waktu lalu kegiatan syuting yang masih berlangsung dihentikan paksa.
Meskipun industri film sedang beristirahat, namun bukan berarti segala kegiatan yang berkaitan dengan film ikut terhenti. Justru, dengan digalakkannya gerakan #dirumahaja membuat dunia maya semakin ramai.
Situasi “mati suri” beberada dekade lalu jelas berbeda apabila dibandingkan dengan situasi masa kini. Meski di tengah bencana wabah, situasi politik serta perekonomian masih terkendali. Ditambah era teknologi digital yang membuat keadaan jauh lebih baik dibandingkan dahulu.
Persamaannya ialah persaingan industri film dengan pertelevisian swasta. Meski data jumlah film penonton Indonesia menunjukkan kenaikan, tak sedikit orang-orang memilih untuk menunggu film ditayangkan di televisi.
“Mending ke bioskop nonton film luar (Holywood). Paling bentar lagi (film Indonesia) juga tayang di tv” kira-kira seperti itu tanggapan mereka. Tentunya ini menjadi peer besar bagi insan perfilman Indonesia.
Pada era digital, persaingan ditambah dengan menjamurnya platform Over The Top (OTT), yakni platform streaming yang makin membuat film mudah diakses kapan pun dan di mana pun (tentunya berbayar).
Beberapa waktu lalu, website ilegal yang menayangkan film secara gratis menjadi salah satu pesaing (sebab aksesnya gratis). Namun kini, diblokirnya website-website tersebut cukup membuat persaingan menjadi lebih longgar.
Dalam situasi ini, harus diakui bahwa platform OTT ini sangat memudahkan akses orang-orang yang haus akan tontonan film. Sebagai reaksi dari physical distancing dan #dirumahaja, beberapa platform OTT ini memberikan akses gratis menonton film. Sebut saja contohnya GoPlay yang memberi akses gratis mulai taggal 23 Maret hingga 29 Maret lalu. Iflix bahkan memberi akses gratis hingga 24 April mendatang.
Tak hanya itu, beberapa kanal Youtube milik production house, komunitas film, hingga filmmaker Indonesia juga tak ketinggalan mengunggah film-film produksi mereka untuk dapat ditonton secara gratis. Tentu saja cara ini merupakan cara yang baik dalam menangani keadaan dengan memanfaatkan teknologi.
Beberapa waktu lalu dilaksanakan konser live streaming, diskusi-diskusi film melalui live streaming pun juga dilakukan. Beberapa tokoh perfilman Indonesia turut meramaikan diskusi.
* * *
Perkembangan ini tentu merupakan sebuah prestasi. Namun bukan berarti pegiat film dapat merasa puas. Persaingan film lokal dengan Holywood masih terus berlanjut. Masih banyak yang menganggap bahwa perolehan jutaan penonton belum dapat dikatakan sebagai keberhasilan.
Semoga waktu isolasi diri ini, mampu dijadikan sebagai bahan refleksi, mengatur strategi, serta introspeksi untuk membuat industri film semakin maju. Semoga pula “istirahat” ini tak berlangsung lama. Selamat Hari Film Nasional! [redaksi/Nursaid]
– – – – –