
Kelereng Kusut: Piala Dunia yang Surut
Musafir mengawali perjalanan. Menyalakan lampu cemprong dengan pemantik tuanya. Suasana pada saat itu gelap gulita. Sedikit pengap dan lekap. Pandangannya tertuju pada sebuah pintu di ujung lorong. Tepatnya di pintu merah.
Musafir mulai berjalan menyusuri sudut lorong. Dengan jalan sempoyongan, sedikit gugup—suara desiran lowo mengganggu ketenangan. Dia meraih gagang pintu di tepi bagian kiri, dibukanya pelan-pelan. Musafir mulai melangkah.
Di langkah pertama—tepatnya di balik pintu merah—muncul bocah ingusan yang sedang bermain kelereng. Wajahnya imut kumut-kumut, agak kurus, berambut putih. Gano, bocah tengil penyuka badut rodeo.
Di langkah kedua muncul bocah lagi. Jalannya sempoyongan, berambut ikal, mata terkantuk-kantuk—seperti bekas tembakan pelatuk. Kakinya terpincang-pincang. Suhail, bocah ingus berhati tulus. Membawa segenggam kelereng, diberikannya kepada Gano. Suhail datang dari sebelah utara bangsa Ibrani.
Di langkah ketiga, Gano membuat sepetak gambar, kotak dan bergaris tiga. Di bawahnya tergambar segitiga merah. Suhail menyusun kelerengnya mengikuti gambar Gano, lalu dilemparnya pelan-pelan. Satu persatu kelereng mulai berjatuhan. Senyum, gelak, dan tawa menandakan banyak kelereng yang telah gugur. Namun, tak pasti berapa jumlahnya.
Di langkah keempat muncul rombongan bocah—botak tak berambut dari sisi barat—menodongkan nota kesepahaman. Gano menyambut dengan senyuman manis. Diejanya pelan-pelan, seketika ia terkejut. Bocah botak menawarkan kompetisi bermain kelereng. Dengan rasa hormat Gano menjawabnya cermat, diambilnya pena dan ditulisnya bulat-bulat.
Di langkah kelima, Gano mengajak Suhail ikut berkompetisi. Ambisi dalam regionalisasi. Meskipun teman, tetapi tetap saingan. Suhail bukan tandingan Gano. Kepiawaiannya melontarkan kelereng sontak terlukis ribuan anak bedil yang terlontar dari pelatuk. Menewaskan sembilan orang di Jenin, Tepi Barat.
Di langkah keenam muncul rombongan Ibrani mendaftar kompetisi kelereng. Mereka membonceng Paman Sam. Dengan sedikit raut muram, Suhail melirik bocah topi biru. Disodorkannya formulir oleh Gano. Bocah topi biru melirik balik Suhail. Dengan tatapan rancu, Gano bingung melihat gerak-gerik Suhail.
Di langkah ketujuh. Setelah rombongan Ibrani pergi, Suhail berbisik pelan-pelan. Ribuan kata terucap dari mulutnya. Pertama, isu penembakan pengungsi Jenin, menewaskan sembilan orang sipil. Kedua, isu penyerangan rudal Suhail yang dibuat-buat—memojokkannya seolah-olah sebagai orang jahat. Dan, terakhir isu penyerangan kelompok militan jihad yang membuatnya terkurung akibat kabar burung.
Di langkah kedelapan, Gano mengirim surat kepada Paman Sam. Amplop berwarna putih, bertuliskan salam damai. Bocah botak membuka kertas itu. Dibacanya pelan-pelan, intinya pesan ditujukan untuk menolak keberadaan bocah Ibrani di kompetisi kelereng. Gano melontarkan kata-kata pedas yang membuat Suhail cemas.
Di langkah kesembilan muncul rombongan bocah Melayu. Dengan sedikit mata sayu, napas bocah terengah-engah. Sambil menjulurkan segenggam kelereng dan sejumlah kertas bercarik emas. Rombongan Melayu ingin kompetisi kelereng Paman Sam menghasilkan keuntungan besar. Maka, ditambahnya gelontoran dana untuk pembangunan gelanggang kelereng. Namun, mereka sedikit cemas dengan lontaran Gano. Ia menolak kedatangan rombongan Ibrani.
Pintu semakin dekat, dan cahaya lentera semakin meredup. Angin berembus kian-kemari. Menghempas lontaran Gano hingga ke negeri Paman Sam. Ribuan kelereng menumpuk tinggi di gelanggang. Pengundian peserta siap dilakukan. Namun, menunggu aba-aba dari bocah botak.
Langkah semakin kecil. Lentera tak kuat menahan gelapnya malam. Mata terkantuk-kantuk. Musafir mulai melangkah kembali. Di langkah kesepuluh, bentala mendengar sepucuk pesan dari Paman Sam. Jantung berdegup kencang, aliran darah mengalir deras—membasahi seluruh organ. Dibacanya pelan-pelan, Suhail sontak terkejut. Pemilihan lawan kelereng terpaksa ditunda. Ternyata, ulah dari Koster. Lontaran pedas Koster serupa dengan Gano. Embusan angin terlalu kencang—membuat suasana semakin mencekam. Setelah perwakilan dari Gano bertemu bocah botak, pelaksanaan pengundian berhenti di tempat. Dan, nota kesepahaman kompetisi dicabut. Seperti catut mencabut paku.
Setelah sekian lamanya berlatih dan berbenah, kompetisi kelereng resmi dicabut. Sementara, elektabilitas Gano si calon ketua kelompok menurun. Rombongan Melayu enggan berkomentar—memilih menuntut dananya kembali. Tiba-tiba angin berembus sangat kencang. Suasana semakin gelap, lentera tua tak kuasa menahan rasa kantuk. Dan, tongkatnya merasa lelah untuk berdiri.
Digapainya pelan-pelan. Daun pintu mulai tercekik. Cittt … suara engsel pintu memekik dengan keras. Bentuk kekesalannya terkait pencabutan nota kesepahaman kompetisi kelereng. Gano bakal mendapatkan sebuah hukuman. Entah apa, yang jelas lontaran Gano dan Koster membuat bentala malam semakin suram.
Musafir melangkah melewati pintu. Cahaya lentera kian meredup dan tertidur pulas. Bentala gelap gulita. Suara-suara hewan menyihir Musafir. Sontak, aku terkejut ketika melirik ke belakang. Banyak sekali UMKM yang gagal meraih kocek tebal karena segelintir penolakan dari pejabat yang jahat. Perjalanan Musafir berhenti di sini untuk beristirahat sejenak, sambil melipir mengisi lampu minyak.
*Gano: Ganjar Pranowo
Koster: I Wayan Koster
Musafir Pembawa Lentera~Rendy gl
Samirono, 1 April 2023
One thought on “Kelereng Kusut: Piala Dunia yang Surut”
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan
Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.
Di tunggu, perjalanan musafir berikutnya