
Memang Boleh Sedaring Ini?
Dering tiga alarm yang sudah di-setting pagi tadi rupanya belum berhasil membuat lelaki itu mengakhiri bunga tidurnya. Mohon maklum, mahasiswa semester lima biasanya memang sering begadang demi menyusun setumpuk makalah dari dosen tercinta. Prinsip mereka, ‘lebih baik ngga tidur semalam, daripada ngulang setahun’.
Maka tidak heran jika di Kamis terik ini Wiwit molor sampai jam 1 lebih seperempat. Padahal jam 2 nanti ia harus sudah berada di kampus karena ada kuliah metopen. Kalau dilihat sekilas, waktu sebanyak itu cukup-cukup saja untuk bersiap. Tetapi ya beda cerita bagi warga lokal yang tiap hari nglaju seperti dia.
Kalau ditanya, “Kenapa ngga ngekos aja?”
Ia hanya singkat menjawab, “Nanggung.”
Memang, sebagian mahasiswa agak sensi kalau disinggung perkara jarak rumah ke kampus. Nglaju kejauhan, ngekos kedeketan. Serba salah. Belum lagi kalau sudah terlanjur di kampus, eh dosen malah bilang, “Daring aja ya, Nak! Bapak pusing.” Loh, Pak? Kami bayar UKT bukan buat di-prank gini, hmm.
Struggle tersebut tak luput Wiwit rasakan. Setelah dering terakhir alarm berhenti, akhirnya manusia pecinta Gacoan level lima itu bangun juga. Dengan mata yang masih kiyip-kiyip, Wiwit memaksa dirinya untuk segera mandi lalu berbenah.
Usai mencium tangan emak dan bapak, Wiwit buru-buru ngegas motornya, membelah padatnya jalanan Jogja. Sepanjang perjalanan, lelaki itu tak henti-hentinya merapalkan doa. Bukan. Bukan demi diberi keselamatan berkendara, melainkan demi keselamatan nilainya.
Konon, dosen pengampu matkul metopen terkenal sebagai kulkas sepuluh pintu. Kalimat “telat dikit ngga ngaruh” tidak berlaku di kelas yang diajar beliau. Menurut cerita yang beredar, suatu hari pernah ada seorang mahasiswi yang mendapat nilai D hanya karena ia keduluan dosen itu dua menit. Padahal kalau berpedoman di jadwal matkul, masih ada sisa sepuluh menit sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai.
Cerita horror yang melintas di ingatan Wiwit tadi membuat dirinya ketar-ketir. Bagaimana jika perjuangannya nglaju selama ini sia-sia? Bagaimana jika pengorbanannya menunda nonton One Piece demi bergelut dengan makalah tak ada artinya? Sejuta tanda tanya yang bercokol di kepala membuat perut keroncongannya reda seketika.
Langit bumi bersaksi, laju motor Wiwit saat itu hampir mencapai kecepatan maksimal. Boleh lah diadu dengan Marc Márquez. Sembari menunggu lampu merah beralih ke hijau, Wiwit mengecek jam di pergelangan tangannya. Huft, lima menit lagi.
Ketika memasuki pelataran kampus, degup jantungnya kian tak beraturan. Diparkirnya si motor secara asal. Bodo amat misal nanti bannya dikempes paksa, yang penting gue kagak ngulang matkul aja, batinnya.
Kelas metopen berada di lantai tiga, ruang paling pojok. Niat hati ingin naik lift, tapi apa boleh buat kalau yang ditemuinya justru palang bertuliskan ‘Maaf, lift sedang dalam perbaikan.’
Hadehh. Mau tidak mau ia harus menapaki puluhan anak tangga. “Ayo, Wit! Iso ra iso hal su isseo!”, lirihnya menyemangati diri sendiri.
Dari ujung tangga, nampak pintu ruang kelas metopen tertutup rapat. Perasaan ganjil memenuhi benak Wiwit. Tangannya sudah berada di gagang pintu, lisannya berdoa, “Bismillahirrohmanirrohim. Dengan kekuatan doa emak, akan kuhadapi semua cobaan dunia.”
Pintu berdecit. Saat sudah sepenuhnya terbuka ….
Taraa mak jrenggg. Ngga ada orang. Ada sih, cuma lima termasuk dirinya. Apa-apaan? Lha yang lain mana? Pindah ruangan kah?
Perasaannya makin tidak enak. Lantas ia bertanya pada Yanto, teman yang duduk di bangku pojok, “Jamkos ya, To?”
Yang ditanya menyahut, “Oi, Wit. Kagak, cuma geser jam aja. Cek wasaf Lu coba!”
Wiwit baru ingat kalau sejak bangun tidur siang tadi ia belum sempat membuka ponsel sama sekali. Jarinya sibuk meng-scroll. Dibacanya pesan yang ia cari.
“Siang. Metopen B daring jam 7 ya. Ba’da Isya’. Trims.”
Bjirr kata gue teh, umpat Wiwit dalam hati.
Alih-alih langsung pulang atau cari makan, Wiwit menuju bangku paling belakang, mengistirahatkan dirinya sejenak. Sebelum jatuh tertidur, ia sempat bergumam “Hidup itu kadang di atas, kadang digidaw.”
Penulis: Fadia Ababil Luna
Editor: Febrina Rahma Kusumaningrum