Advertisement Section

Menyoal Kasta Melalui Fiksi: Tarian Bumi

Seperti yang kita ketahui, sebagian besar masyarakat Bali memeluk agama Hindu. Oleh karena itu, sampai sekarang sistem kasta masih dijumpai di Bali. Kasta merupakan sistem peninggalan nenek moyang orang Hindu di Bali yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Pada zaman dahulu, kasta dibuat berdasarkan profesi masyarakat. Sampai saat ini, di Bali ada empat kasta yaitu Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra.

Dalam perkembangannya, masyarakat yang berasal dari kasta triwangsa, yakni dari kasta brahmana, ksatria, dan waisya, memegang peranan sangat penting dalam masyarakat Bali. Bahkan, peranan kasta triwangsa juga berperan penting dalam pelaksanaan pilkada (Salma Luna dalam blog, 2015/11).

Dalam pergaulan sehari-hari, masyarakat berkasta Sudra berkedudukan sangat rendah. Misalnya, seseorang yang berasal dari kasta Sudra harus menggunakan sor singgih basa (bahasa yang sopan) untuk menghormati kasta-kasta yang lebih tinggi.

Budaya masyarakat Bali zaman sekarang tersebut di atas dan budaya yang menjadi latar dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini memiliki berbagai  persamaan, tetapi juga memiliki perbedaan.

Persamaan itu misalnya orang Bali cenderung permisif, tidak tegas-tegas menolak atau melarang keberadaan perempuan atau laki-laki yang menggunakan pakaian terbuka (istilah mereka: “pamer aurat”). Hal itu digambarkan di dalam cerita Tarian Bumi (Oka Rusmini, 2017: 104).

Orang Bali juga cenderung permisif terhadap keberadaan segelintir orang yang menjalankan kehidupan secara “samen-leven” (hubungan tanpa status, kumpul kebo) di tempat-tempat kost atau rumah-rumah kontrakan. Selain itu, masyarakat Bali nyaris tak pernah melakukan razia-razia dengan inisiatif sendiri untuk menolak keberadaan perilaku tersebut.

Di samping itu, masyarakat Bali menerima keberadaan masyarakat yang menyukai sesama jenis. Istilah yang digunakan sekarang “LGBT”. Hubungan sesama jenis sudah menjadi pemandangan yang wajar di daerah Bali. Masyarakat Bali menerima hal tersebut meskipun di tempat-tempat lain hal itu dianggap tabu.

Dalam tradisi Hindu Bali, sistem kasta merupakan lapisan-lapisan sosial yang bersifat turun-temurun. Sistem kasta di Bali merupakan budaya Hindu yang masuk sejak zaman kerajaan Majapahit dan sampai sekarang masih dilestarikan oleh masyarakat Bali. Biasanya, hal ini terlihat dari nama yang diawali dengan sebutan atau gelar tingkat kastanya.

Kasta yang tertinggi dan selalu dihormati ialah Brahmana. Brahmana merupakan kasta dari masyarakat yang mempunyai profesi bergerak di bidang religi. Untuk kasta ini, sampai sekarang mereka menggunakan gelar Ida Bagus (laki-laki) dan Ida Ayu (perempuan).

Perbedaan budaya Bali dunia nyata dan latar dalam Tarian Bumi yakni masyarakat Bali memberlakukan larangan pernikahan antarkasta yang dianggap akan menyebabkan kesialan. Dalam Tarian Bumi, disebutkan: “Luh Sekar bangga diangkat sebagai keluarga besar griya (Brahmana). Dia merasa dengan menjadi keluarga besar griya derajatnya lebih tinggi dibanding dengan perempuan-perempuan Sudra yang lain” (Oka Rusmini, 2017: 26).

Selain itu, di Bali terdapat salah satu adat yang masih lestari hingga saat ini. Mereka menyebutnya ‘Tabuh Rah”. Tradisi “Tabuh Rah” dilaksanakan pada upacara tertentu sebagai bagian dari pelaksanaan “Butha Yadnya” (pengorbanan suci bagi para Butha, agar mereka tidak menganggu keharmonisan alam sekala dan niskala, atau alam material dan immaterial).

Dalam tradisi “Tabuh Rah”, ayam jago diadu, tetapi seharusnya tanpa diiringi perjudian. Tapi, dalam kenyataannya, kemudian biasanya berkembang menjadi perjudian.

Di sisi lain, dalam cerita Tarian Bumi diceritakan: “Laki-laki yang memiliki ibu adalah laki-laki yang paling aneh. Dia bisa berbulan-bulan tidak pulang. Kalau di rumah kerjanya hanya metajen, adu ayam, atau duduk-duduk dekat perempatan bersama para berandalan minum tuak (minuman keras). Laki-laki itu juga sering membuat ulah yang sangat memalukan nenek, ibunya sendiri” (Oka Rusmini, 2017: 12).

Kasta juga sangat sering menjadi pro dan kontra, terutama dalam masalah pernikahan. Pada zaman dahulu, masyarakat Bali tidak diperbolehkan menikah dengan kasta yang berbeda, layaknya pernikahan beda agama dalam Islam. Seiring perkembangan zaman, aturan tersebut seharusnya sudah tidak berlaku lagi. Namun, sebagian penduduk Bali masih ada yang mempermasalahkan pernikahan beda kasta.

Pernikahan dengan kasta yang berbeda dibolehkan dengan syarat, yakni perempuan harus mengikuti kasta laki-laki. Jika si perempuan berasal dari kasta yang tinggi, lalu menikah dengan lelaki yang berkasta lebih rendah, maka kasta si perempuan akan turun mengikuti suaminya atau sering disebut “nyerod”. Begitu juga sebaliknya. Intinya, laki-laki di Bali-lah yang menjadi ahli waris dari generasi sebelumnya.

Pernikahan beda kasta di Bali ada dua macam. Pertama, kasta istri lebih rendah dari kasta suami. Pernikahan beda kasta ini sering terjadi di Bali. Pernikahan semacam ini biasanya memberikan kebanggaan tersendiri bagi keluarga perempuan, karena putri mereka berhasil mendapatkan pria dari kasta yang lebih tinggi.

Maka secara otomatis kasta sang istri juga akan naik mengikuti kasta suami. Tetapi, sang istri harus siap mendapatkan perlakuan yang tidak sejajar dari keluarga suami. Misalnya, saat upacara pernikahan, biasanya bantenan untuk mempelai wanita diletakkan terpisah, atau di bawah. Bahkan, di beberapa daerah, sang istri harus rela melayani para ipar dan keluarga suami yang memiliki kasta lebih tinggi.

Kedua, kasta istri lebih tinggi dari kasta suami. Pernikahan beda kasta seperti ini sangat dihindari oleh penduduk Bali. Pihak perempuan biasanya tidak akan mengizinkan putri mereka menikah dengan lelaki yang memiliki kasta lebih rendah.

Oleh karena itu, biasanya pernikahan ini terjadi secara sembunyi-sembunyi atau biasa disebut sebagai “ngemaling” atau kawin lari. Menurut sebagian besar penduduk Bali, mereka lebih menyukai dan lebih menerima laki-laki yang bukan orang Bali sebagai menantu, daripada menikah dengan laki-laki berkasta lebih rendah dan mengalami penurunan kasta.

Jadi, perbandingan antara budaya dalam Tarian Bumi dengan budaya masyarakat Bali ternyata dapat diketahui dari berbagai hal. Terutama pada kutipan-kutipan cerita yang telah dianalisis dengan budaya masyarakat Bali. Karya sastra yang dilukiskan dari dunia nyata ternyata bisa dimodifikasi dengan sangat apik.

Selain itu, ada banyak hal yang perlu kita ketahui dan pelajari untuk menjalani kehidupan bermasyarakat, mulai dari cara kita berperilaku, berinteraksi sesama individu, bahkan bagaimana kita berbaur dengan sesama mahluk hidup dalam berbudaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Previous post Kesenian: Antara Aku dan Kau #1
Next post Kesenian: Antara Aku dan Kau #2