Peti Mati
“Jangan pernah membukanya atau kau akan merasakan hal terpahit dari kehidupan.”
Tulisan pada selembar kertas itu masih berada di sela-sela jemari Ursa. Ia menemukan kedua benda tersebut ketika hendak mengambil kalung emasnya yang hampir tercebur got. Untung saja ketangkasan yang ia miliki mampu mencegah hal itu, tapi gantinya, malah kakinya yang tersandung kotak kayu dengan sehelai kertas usang di atasnya.
Ursa memperbaiki posisi duduknya. Kedua kakinya menyilang di atas rerumputan. Ia tak memedulikan lagi helaian rambut miliknya yang menyapu sebagian wajahnya. Rasa penasaran membawanya pada rasa ingin membuka kotak tersebut. Tanpa peduli pada konsekuensi yang akan ia hadapi. Kedua tangannya melipat kertas kekuning-kuningan itu. Kemudian, ia menyimpannya di balik saku rok hitamnya. Jemarinya terangkat ke atas kotak kayu yang tampak lusuh dimakan usia. Lagi pula siapa yang akan peduli pada perintah konyol dari kertas usang? Ia hanya ingin tahu.
“Putri Ursa.”
Sontak tangannya turun secepat kilat ketika mendengar panggilan itu. Tubuh rampingnya yang dibalut pakaian khas putri kerajaan berbalik menghadap pelayan yang memanggil.
“Pangeran Musta telah sampai di istana. Beliau ingin menemui Anda, Putri.” Wajah ceria milik Ursa berseri seketika.
“Aku akan menemuinya,” katanya sambil mengangkat kotak kayu tua yang tadi ia temukan.
Gadis dengan rambut merah tua yang bergelombang itu segera bergegas, tampak ia membawa kotak kayu yang memacu rasa penasarannya sedari tadi. Kakinya segera berjalan cepat meninggalkan pelayan yang baru saja membawakan kabar gembira padanya.
“Putri, itu kotak apa?” Alis si pelayan tertaut. Ursa menghentikan langkah besarnya.
“Entahlah, aku pun tak tahu. Tadi, aku menemukannya di pinggiran got itu, ketika ingin mengambil kalungku,” ucap Ursa sambil menunjuk salah satu tempat.
“Kau bisa meminta bantuanku tuan putri. Lagi pula, setiap barang yang tersentuh oleh keluarga kerajaan harus diperiksa terlebih dahulu.”
“Ah, jangan terlalu menganggapku ini anak kecil, Sadefa. Meski begini, aku sudah berusia dua puluh tahun. Seharusnya kau tak melupakan hal itu. Apalagi kau adalah pelayan wanita yang paling senior disini, kan?”
“Tapi, putr–”
“Jangan terlalu banyak protes, Sadefa. Baiklah, aku harus pergi untuk menemui pangeran. Aku tak ingin membuatnya menunggu lebih lama.”
Ursa pun berjalan dengan kecepatan yang cukup cepat. Sedangkan, Sadefa masih berfikir keras di tempat ia berdiri. Kakinya belum bergerak meski hanya satu senti. Ia tak bisa tinggal diam, benda apapun yang ada di kerajaan harus ia selidiki. Apalagi, Tuan Putri Ursa sampai menyentuhnya. Ia harus menyelidikinya. Langkah kaki Sadefa yang terbilang lambat mendekati got yang tadi ditunjuk oleh Tuan Putrinya.
***
“Jadi begitu ceritanya. Mungkin saja isinya adalah cermin ajaib, lalu aku bisa bertanya padanya sepuas hati.”
“Kau ini ada-ada saja, Putri.” Musta tertawa ringan. Ia menggelengkan kepala beberapa kali sebelum akhirnya kembali menggetarkan pita suara.
“Baiklah aku serius. Kau ingin melakukan hal apa pada benda ini?”
“Mungkin kita bisa membukanya bersama. Lalu melihat apa isinya.” Binar mata Ursa menghangatkan bilah-bilah hati Musta.
“Tapi, bukan kah di kertas usang itu terdapat larangan tertulis? Jangan nakal, Tuan Putri.” Tangan Musta mengelus pucuk kepala Ursa yang mengerucutkan bibirnya. Mendapat penolakan dari sang kekasih membuatnya sedikit kesal.
“Ayolah Pangeran! Aku ingin membukanya.”
“Apakah kau sudah memberi tahu hal ini pada Sadefa?”
“Sadefa terlalu cerewet, aku kesal padanya.” Ursa mengalihkan pandangannya dari tatapan teduh Musta.
“Kau sama saja seperti Sadefa ternyata, aku hanya ingin kita membuka kotak itu bersama. Itu saja, tapi kau malah me–”
“Hahaha… Kau selalu tahu apa kelemahanku, Putri. Aku ini tak bisa melihatmu bersedih.”
“Kalau begitu, ayo kita buka kotaknya!” Mata Ursa yang dipenuh rasa penasaran menatap mata Musta dengan tatapan memohon. Ia begitu penasaran.
***
Baca juga: Tujuan dari Setiap Perjalanan Kehidupan
“Jadi, benar bahwa kotak itu adalah kotak kutukan dari Ratu Kejahatan?”
“Iya Sadefa, kau benar.”
“Ini bahaya, hei… ayo ikut aku! Tuan Putri Ursa sedang mengajak Pangeran Musta untuk membuka kotak kayu tua sialan itu bersama.”
Dengan langkah tergesa Sadefa dan rekan sesama pelayannya yang juga merupakan pelayan senior, Adinata, pergi menghampiri Tuan Putri mereka.
Satu yang ada di benak mereka saat ini, Tuan Putri Ursa sedang dalam bahaya.
***
“Aku saja yang membukanya terlebih dahulu, jika ada sesuatu yang bahaya, aku yang akan menjadi korban pertamanya.”
“Ahh… kau manis sekali Musta. Tapi, aku tak rela jika kau harus menjadi korban pertamanya.”
“Tak apa Putri. Kau tutup mata saja ketika aku membukanya, bagaimana?”
“Baiklah.”
Musta mengangkat tanggannya. Digesernya pengganjal kotak kayu tua yang berbentuk mirip dengan kotak harta karun itu. Seketika, Musta kehilangan segalanya.
“Pangeran Musta jangan buka kotak itu!”
Teriakan serentak dari Sadefa dan Adinata terlambat. Ursa membuka kedua matanya. Kotak itu tak berisi cermin ajaib seperti yang diprediksi oleh Ursa. Di dalamnya hanya ada kutukan.
Detik itu juga, Pangeran Musta terkena kutukan dari sang penyihir jahat. Ia kehilangan segalanya. Jati diri, rasa cinta, bahkan nyawa.