Sebuah Kritik: Upaya Membangun atau Menjatuhkan
“Mengapa kamu berhenti menulis, Dinar?”
“Aku takut, Ray. Takut menulis lagi.”
“Hah? Kenapa takut?”
“Puisiku jelek, aku malu.”
“Kok begitu? Siapa bilang puisimu jelek?”
“Apa kamu tidak dengar apa yang disampaikan Wangsa minggu lalu di depan teman-teman tentang puisiku?”
“Dengar. Dia bilang puisimu nonsens.”
“Ya. Dan itu membuatku tersungkur, sakit, dan sulit untuk bangkit.”
Barangkali sekali waktu apa yang dialami Dinar pernah terjadi pada diri kita: sakit hati karena mendapat kritikan. Memang tidak dapat disangkal, ketika mendapat komentar yang menunjuk kekurangan, seseorang sering merasa harga dirinya terancam. Mereka cenderung merasa identitas dirinya terkoyak. Bahkan mengalami krisis kepercayaan diri.
Hal itu pun akhirnya menumbuhkan pertanyaan. Sebenarnya kritik itu membangun atau menjatuhkan? Pernah beberapa kawan bercerita, jika tulisannya dikritik semangat menulis mereka hilang. Pun demikian dengan saya. Suatu ketika seseorang membaca sebuah tulisan saya. Selesai membaca, ia sampaikan seluruh kekurangan tulisan tersebut. Dan, hasilnya! Apa yang disampaikannya itu sukses membuat saya tidak berani menulis selama tiga hari. Bahkan, sekadar mengetik beberapa rangkaian kata saja merasa terbebani.
Agaknya wajar apabila respon pertama seseorang ketika mendapat kritik adalah memasang tameng perlindungan. Ini merupakan tanggapan defensif untuk membuat perasaan kita menjadi lebih baik, atau lebih tepatnya melindungi ego kita. Respon alamiah ini dapat berbagai macam bentuk, salah satunya adalah mencari kesalahan orang yang memberikan kritik. Dikutip dari bbn.com, akademisi Douglas Stone dan Sheila Heen dalam buku Thanks for the Feedback menjelaskan, “Ketika kami memberi masukan, kami menyadari si penerima tidak pandai menerimanya. Ketika kami menerima masukan, kami menyadari si pemberi masukan tidak pandai memberikannya.”
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah “Apakah kritik dibutuhkan?” Menengok ke belakang, Indonesia memiliki H. B. Jassin sebagai seorang kritikus sastra ternama. Jassin mengatakan jika kritik ialah penerangan sekaligus penghakiman. Dalam hal ini yang dimaksud penerangan adalah kritik menunjukkan kekuatan, keindahan, nilai-nilai, arti, dan tempat sebuah kesusastraan dalam masyarakat.
Lebih jauh, kritik memiliki tempat yang khusus dalam dunia sastra. Rene Wellek dan Austin Warren menyatakan bahwa ilmu sastra mencakup tiga bidang, yaitu teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra. Pada hakikatnya, menurut Pradopo kritik berguna untuk perkembangan kesusastraan. Meski acapkali terdengar menyakitkan, namun bagi seorang pengarang kritik dapat menjadi lecutan untuk meningkatkan kualitas tulisan.
Pendapat Wellek, Warren, dan Pradopo memberi gambaran bahwa sebuah kritik, khususnya kritik pada karya sastra memang sangat dibutuhkan. Namun, bagaimana cara kita menyampaikannya perlu mendapat perhatian. Perlu hati-hati agar penerima kritik mau mengerti dan tidak tersakiti.