Advertisement Section

Uang Mengorupsi Hubungan Kami

Selamat! Hari ini adalah perayaan. Hari ini akan dipenuhi ucapan selamat. Hari ini banyak kompetisi-kompetisi bergengsi yang dicanangkan sebagai, sekali lagi, perayaan. Tentu saja, agenda ini hanya diadakan, dilangsungkan, dan terjadi di lingkup Kementrian Keuangan, Direktorat Jenderal Pajak, dan barangkali pejabat-pejabat negara yang lain. 

Mengapa demikian? Ya, karena hari ini memang Hari Keuangan. Hari uang yang jatuh pada tanggal 30 Oktober, sejak 71 tahun yang lalu. Suatu hal yang memang sudah banyak mencuri hatimu,  mencuri hati kita, mencuri pikiran kita tak kenal waktu.

Bagaimana Hari Uang ini akan kita respon? Kita rayakan dengan apa? Aku baru saja menulis di buku harian, begini judulnya Catatan Hari Uang: Lapar, Haus, Konflik, dan Segala Penderitaan. Sebenarnya, mau tak jadikan judul tulisan ini, tapi kedengarannya sangat problematik, semakin memusingkan.

Tempo hari, rakyat di daerahku dengan mulus berhasil diadu domba oleh uang. Ada banyak fenomenanya.

Pertama, penggusuran lahan pertanian di Temon, Kulonprogo untuk lahan bandar udara New Yogyakarta International Airport. Jadi begini, penduduk yang merelakan tanahnya dan menjualnya merasa bahwa mereka mendapat banyak untung. Tanahnya yang cuman berapa, diganti dengan bergepok-gepok uang ratusan. Hmmmm.. menggiurkan.

Akan tetapi, penduduk lainnya menolak dan bersikukuh mempertahankan lahan miliknya. Bagaimanapun, kami tetap ingin menanam lahan kami terus menerus sampai tua, sampai cucuku lahir, cicitku, udeg-udeg siwur, dan pokoknya semua turunanku akan terus menanam. Begitulah kalimat yang sangat puitis kudengar dari seorang renta yang masih mempertahankan tanahnya.

Lppmkreativa
Foto: Apriliasa

Meskipun sangat seru, tapi aku tidak akan membahas soal bandara NYIA itu ya. Di sini mari kita lihat, pengaruh uangnya. Hal yang terjadi adalah ejekan antar penduduk itu. Mereka awalnya merupakan tetangga yang saling membantu dan akrab. Tapi kemudian, datanglah komentar pedas dari mereka sendiri bahwa para penolak bandara itu munafik, sok nggak butuh uang.

Semakin lama waktu berjalan, mereka yang tidak dapat mempertahankan tanahnya lagi pun terpaksa menjual tanahnya. Dengan harga yang berbeda dari yang langsung menjual tanahnya dari awal. Ini sejauh yang saya dengar dari banyak orang yang bersangkutan.

Kasus kedua, begitu besarnya peran uang di kehidupan kita bahwa uang menjadi penentu hubungan sosial. Di kota-kota di Jerman, salah satunya adalah Kota Berlin. Pada awal abad 20an, peran uang menjadi sangat penting. Uang menentukan bagaimana hubungan seseorang dengan orang lainnya.

Fenomena ini tentu saja terjadi di negara kita. Coba lihat, seberapa banyak orang miskin yang kumal, pakaiannya belepotan lumpur, sobek di sana sini, memanggul cangkul, memanggul karung berisi rumput. Di sisi lain, orang mengendarai mobil dengan berpakaian rapi dan bersih, memakai sepatu bermerk, tas yang berharga mahal, dan rumahnya dilindungi gerbang, bahkan beteng.

Hubungan mereka sangat tidak akrab. Meskipun tidak ada hubungan struktural yang jelas, si miskin akan menghormati si kaya. Si kaya belum tentu menghargai si miskin.

Lppmkreativa
Foto: Apriliasa

Kasus berikutya adalah kenyataan bahwa uang memang telah menggerogoti kehidupan manusia. Siang malam orang akan memikirkan uang dan uang. Kamu bisa bayangkan, atau pertanyakan, jika orang tua modern saat ini pergi bekerja untuk mencari uang. Mereka memercayakan bayi mungilnya yang manis pada babysitternya-yang rela meninggalkan anaknya juga—karena dibayar.

Namun demikian, jika mereka mempunyai uang dalam koper sejumlah satu milyar saja, apakah mereka bisa memercayakan itu pada asisten rumah tangganya? Setelah itu, kamu akan temukan kesimpulannya sendiri.

Lppmkreativa
Foto: Apriliasa

Demikianlah, uang menjadi sesuatu yang mengaburkan nilai berharga, memelintirkan nilai kehidupan manusia. Pada akhirnya, manusia kembali pada sesuatu yang amat purba: kenikmatan “sesaat”.

Banyak orang yang menjadikan uang sebagai tolok ukur, pembanding, penentu, pendorong, dan yang paling parah menjadikannya sebagai tujuan. Oleh karena itu, yang terjadi adalah kesenjangan sosial yang kemudian berimbas pada konflik di masyarakat.

Teman saya meminta bantuan pada saya. Bantuan saya ini pasti akan menjadi sesuatu yang berharga. Tapi saya sangat tersinggung ketika dia memberi saya uang. Dengan begini, bantuan saya menjadi sesuatu yang tidak bernilai lagi, ini berubah menjadi nilai ekonomi yang terbayarkan dengan nominal.

Saat ini, manusia sudah kehilangan akalnya, barangkali, karena uang. Seharusnya kan uang jadi alat saja, bukan merupakan tujuan hidup. Tujuam hidup kan tetap bahagia to?

Lppkreativa
Foto: Apriliasa

Kalaupun memang dengan uang kita bisa memeroleh kebahagiaan, tetap, peran uang di sini hanya sejauh “sebagai alat”. Maka, kebahagiaan yang kita peroleh harus lebih besar dari uang yang kita bayarkan. Jangan sebaliknya!

Jadi, saya sangat sepakat dengan masyarakat yang memilih kedamaian dan kesejukan dengan terus menanam. Di samping itu, uang juga tidak bisa membeli kenangan masa lalu yang terlanjur tertoreh di lahan yang dipaksa untuk digusur.

Aku tetap sepakat dengan masyarakat yang tinggal di tumah sederhana. Mungkin, orang kaya punya gerbang, tapi orang miskin punya teman.

Dan ibu-ibu yang rela menghabiskan waktunya demi mengasuh anaknya, meskipun ekonomi pas-pasan. Dan orang-orang yang masih mementingkan berharganya suatu nilai kehidupan, solidaritas, kebersamaan, kasih sayang, dibandingkan lembaran kertas bertuliskan nominal, apalagi sesuatu yang sangat abstrak, yang hanya digit-digit angka di layar komputer. ***

One thought on “Uang Mengorupsi Hubungan Kami

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous post Hari Stroke Sedunia: Pelukan Keluarga untuk Mereka
Next post Oka Rusmini Wujud Pemahat Kisah Perempuan Bali