Advertisement Section

Seminar Reorientasi Pers Mahasiswa: Menyuarakan yang Terpinggirkan

Sausana Seminar Nasional Reorientasi Pers Mahasiswa di Auditorium FISIPOL UGM.

Hari ulang tahun Badan Pers dan Penerbitan Mahasiswa Balairung Universitas Gajah Mada Ke-40 telah dimeriahkan dengan beragam rangkaian agenda. Berbagai agenda yang telah dilakukan bertujuan untuk menyemarakkan “Nafas Intelektualitas Mahasiswa”. Agenda-agenda yang telah terlaksana adalah lomba meme, pameran arsip, Seminar Nasional Reorientasi Pers Mahasiswa, dan tilik bareng B21. Seminar Nasional Reorientasi Pers Mahasiswa dilaksanakan pada Sabtu, 1 November 2025 di Auditorium FISIPOL UGM dan diikuti lebih dari 100 mahasiswa dari UGM serta mahasiswa  dari luar UGM. 

 Salah satu pemateri hebat dalam kegiatan ini adalah Evi Mariani,  beliau adalah seorang pendiri Project Multatuli. Evi Mariani menyorot mengenai pers mahasiswa dalam marabencana. Maksudnya adalah jurnalisme pada masa ini semuanya tidak terlihat objektif, tapi menjadi subjektif dari para penguasa. Kapitalisme adalah biang yang menyebabkan jurnalisme disetir pasar dan media yang seharusnya netral lama-lama menjadi subjektif hanya untuk melayani yang punya uang. Beliau juga menyorot situasi nasional saat ini di mana aparat menormalisasikan kekerasan serta ironi mengenai media Indonesia yang banyak tetapi dikuasai sedikit grup  atau hanya dimiliki politisi . Di sini pers mahasiswa dapat berperan sebagai media alternatif yang bisa menjadi “counter hegemony” dari kekuasaan yang ugal-ugalan.

Baca lainnya: Transformasi Nilai Tradisional ke Dunia Digital: “Sangkan Paraning Dumadi” Ajak Gen-Z Mengenali Diri melalui Virtual Reality

Pemateri selanjutnya adalah Taufik Rahzen, beliau adalah seorang sejarawan dan budayawan yang dulunya pernah berkontribusi dalam berdirinya koperasi UGM. Salah satu karya beliau yang fenomenal adalah tulisan mengenai jurnalisme Indonesia dengan judul “Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia”.  Beliau mengatakan bahwa pers mahasiswa diperbolehkan melakukan sesuatu kesalahan, dalam artian tidak disengaja, karena dengan kesalahan tersebut mahasiswa mendapatkan kesempatan untuk melihat suatu goresan. Kata Goresan yang dimaksud adalah  agar lembaga pers mendukung mahasiswa agar berpikir kritis dan mampu melihat kenyataan dalam sesuatu yang baru. 

Pemateri yang terakhir dan tidak kalah menginspirasi adalah Francisca Christy Rosana. Beliau adalah seorang jurnalis Tempo yang hadir di seminar ini untuk berbagi ilmu mengenai jurnalisme. Media di era otoritarianisme adalah sebuah kalimat yang mengacu pada keadaan media saat ini yang mulai tertekan. Sebagai contoh, beberapa penyelenggara negara menganggap bahwa media dan orang-orang yang berpikir kritis termasuk sebagai pengganggu stabilitas negara dan antek-antek asing. Padahal media dan orang-orang yang berpikir kritis ini bertujuan untuk mengawasi serta mengontrol penyelenggara negara (agar tidak melenceng). 

Baca lainnya: Press Release Dialog Dekanat dan Mahasiswa FBSB UNY 2025

Menjadi seorang jurnalis dan wartawan tidak mudah, karena saat menjalani profesi yang berjasa ini harus dihadapkan oleh banyak tantangan seperti berhadapan dengan hukum,  korporasi, dan tekanan sosial. Ada salah seorang wartawan yang pernah diminta untuk menginvestigasi suatu kasus,  tambang misalnya, ia ternyata tertekan dan takut. Mau bagaimana lagi, profesi ini sangat menantang dan berbahaya karena harus berhadapan dengan penegak hukum.

Ada beberapa situasi sulit yang dihadapi oleh industri media, di antaranya adalah doxing, intimidasi, intervensi bisnis, dan akses arus informasi yang kian dibatasi. Pada seminar ini dijelaskan mengenai bahaya swasensor (pembatasan suatu berita), yaitu pemodal bisa menentukan berita mana yang akan terbit, berita yang tidak variatif dan menyerupai lembaga humas (tidak memberikan informasi yang sebenarnya, mengikuti agenda pemerintah), informasi masyarakat terbatas, dan kualitas media yang turun. Maka, dengan adanya seminar Reorientasi Pers Mahasiswa ini diharapkan menjadi tombak guna perkembangan jurnalisme kampus ke arah yang lebih baik dan lebih vokal untuk menyuarakan apa yang sedang terjadi, baik di lingkungan kampus maupun lingkup negara.

Penulis: Voleta Marshaniswah A. B.

Editor: Nabila Rizqi Laila Azzahra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous post Transformasi Nilai Tradisional ke Dunia Digital: “Sangkan Paraning Dumadi” Ajak Gen-Z Mengenali Diri melalui Virtual Reality