JALAN TAK PERNAH BERHENTI
Kadang kita melawan malam dan menerabas dingin. Menerabas bayu dalam sepi dan hening. Terbalur desau, dan sepisau getir di penghujung tetes bening, tetes kerinduan. Bukankah kenangan tak akan datang, seperti pangeran berderap dari kuda warna putih kemudian menjalinmu dengan gelanyut rona-rona dalam jiwa?
Kadang kita menyungkurkan diri pada pagi, pada tetes embun yang dingin dan menggigil. Beku kau terkadang menempel pada ranting-ranting kerisauan. Risau pada siapa, risau pada apa, dan sejuta tanyamu yang masih bergelanyut, kapanpun kau melangkah atau sedikit terdiam menekur keadaan. Kau berselimut kabut, dan terpayungi mega mendung, awang kelabu. Kau masih juga terseok karena di seberang sana ada setapak meski tak rata.
Kadang kita meleleh pada siang. Pada sinarnya yang membakar, pada panasnya yang mengering dan kau tak mengelak. Kita terus berjalan, di waktu debu menerjang bagai badai dan kau tak peduli. Karena kau yakin bagai embun musim kemarau, dia akan menguap. Karena kau yakin daun-daun yang gugur itu pun bukan berarti tak membekas, selalu bersemi, hijau muda, merah merona, dan kau menarik seulas garis di bibirmu.
Kadang kita seakan terseret pada arus, pada deras, dan juga tak ada satu pun mampu kau gapai. Harapan itu tinggal di tanduk duri mawar, atau bahkan seperti kemungkinan matahari yang bersinar di kala malam datang menjemput. Namun harapanmu pun tak tercerabut, bagai akar ilalang yang kau campak dengan kasar. Kau selalu ada tenaga untuk sekedar bergerak maju, meskipun nafasmu tinggal satu satu di detik-detik terakhir. Namun tanganmu tak terus diam, mencoba mengayuh berharap pelepah terambing, dan kau mampu menyentuhnya, bagai kau menyentuh rona merah pipi seorang gadis.
Kadang kau bagai terbang, dipermainkan bayu, atau beliung yang merusak. Namun bukankah itu tak akan lama meski menyakitkan. Kau selalu ada alasan untuk kembangkan sayap meski patah, kau selalu meski memiliki alasan untuk kembangkan parasut meski robek. Kau tak akan peduli, kalau saja nanti kau terjatuh dan kembali terjaring pada ranting-ranting kering. Kau tak akan peduli meski luka tersayat di sekujur. Itu bukan masalah bagimu, bahkan ketika kau harus mendarat pada bongkahan-bongkahan tanah kering musim kemarau. Kau tak akan pernah berpikir, bahwa kau akan mati, bahwa Tuhan akan mencabut nyawamu.
Bukankah di balik matamu yang mengecil dan setajam elang itu, ada bayangan tempat kau merajut harapan? Bukankah di balik telingamu yang mengembang bagai kelopak-kelopak bunga musim semi itu, kau mendengar bisikan, bahwa asamu tak harus berhenti. Bukankah kau juga mengendus bahwa di persimpangan jalan ini, ketika tertutup kau akan mencium wangi taman bunga di baliknya?
Bahwa jalanmu bukanlah jalan dengan banyak lampu merah, yang menyebabkan hidupmu tersendat-sendat. Bukankah waktu pun tak berhenti, sehingga kau pun tak boleh untuk tidak melaju? Kau tahu sebagaimana kau mengetahui bahwa panas hari ini karena matahari menyengat? Hidup bukan hanya semata terdapat satu setapak yang buntu, kemudian kau memilih untuk tak melanjutkan apapun. Namun hidup lebih daripada itu, hidup adalah ketika kau mengetahui bahwa ada banyak sekali lorong yang mungkin membentuk labirin bisa kau jajal. Kau bukanlah orang yang berhenti untuk melangkah meski sayapmu patah, karena kau masih punya kaki.
Harapan itu bukanlah sekerlip kecil cahaya lilin, namun harapan adalah api abadi yang akan membuat hidupmu senantiasa ada. Bahwa kau tahu semangat sepatutnya bukan hanya nyala puntung rokok yang kemudian terdiam, namun bakaran sekam yang selalu membara dan ciptakan panas.
Mungkin mimpimu boleh saja terhapus, bagai tulisan pantai tersapu ombak. Bukan kau salah menuliskan sesuatu, hanya kau menulis di tempat yang salah. Kau mungkin merasa tak berarti, namun bukan itu. Karena sejatinya kau hanya perlu mengukirkan aksara pada sebuah tempat yang benar. Pada batu dan menjadikanya relief. Harapan, dialah nyawa kedua dalam hidup.