Advertisement Section

Kazuo Ishiguro, Peraih Nobel Sastra 2017

“Kazuo Ishiguro menulis sebuah prosa untuk memprovokasi keseimbangan. Seperti permukaan laut yang datar. Dengan irama yang tidak memperlihatkan sesuatu yang ada di bawahnya,” tulis James Wood, dalam ulasan mengenai novel terbaru Ishiguro, The Buried Giant, pada 2015 lalu.

Dan pagi itu (5/10/17), berkat karyanya tersebut, Kazuo Ishiguro diumumkan sebagai penerima Nobel Prize in Literature 2017.

Kazuo Ishiguro,  lahir di Nagasaki, Jepang, pada tahun 1954. Kemudian pindah ke Inggris saat berusia lima tahun. Ia adalah pengarang tujuh novel, serta koleksi Nocturnes: Five Stories of Music and Nightfall.

Pada tahun 2001, ia menerbitkan sebuah cerita di The New Yorker, dengan judul A Village After Dark.

Mengambil latar di Inggris, A Village After Dark mengisahkan seorang laki-laki bernama Fletcher yang kembali ke sebuah desa masa kecilnya. Dia selalu teringat dengan desa masa kecilnya itu dan berkata, “Saya telah hidup dan mulai menggunakan pengaruh dari masa lalu.”

Seperti tulisan Ishiguro lainnya, banyak hal yang mungkin ingin diketahui oleh pembaca, tetapi ditahan oleh pengarangnya. Atau, ada hal yang disimpan di bawah permukaan.

Ben Marcus mendiskusikan karya Ishiguro dengan editor fiksi majalah The New Yorker, Deborah Treisman, di The New Yorker’s Fiction Podcast, pada tahun 2011. “Saya sangat gatal untuk mengetahui maksud dari cerita itu. Saya terus berpikir, apa yang menarik tentang ceritanya.”

Itulah sebabnya karya Ishiguro dianggap seperti permukaan laut yang datar. Dengan irama yang tidak memperlihatkan sesuatu yang ada di bawahnya

Mungkin Ishiguro lebih dikenal dengan novelnya The Remains of the Day (1989), yang mengisahkan seorang kepala pelayan Inggris bernama Stevens. Setelah mendapatkan sepucuk surat dari seorang kenalan lama, dia kemudian mengingat kembali hidupnya di tahun-tahun sebelum Perang Dunia Kedua. Buku itu diulas di The New Yorker oleh Terrence Rafferty.

Dua novel sebelumnya dari Ishiguro ditinjau di bagian Briefly Noted majalah The New Yorker. “Sederhana dalam nada, ironis, reflektif, dan sangat tepat dalam pengaruhnya,” tulis Rafferty. Rafferty memberi tanggapan yang tidak seperti banyak pengulas The Remains of the Day, dia menyebut Ishiguro sebagai “Master yang terlalu dewasa sebelum waktunya.”

Setelah mendapat pengakuan atas The Remains of the Day, banyak kritikus menerima novel Ishiguro dari tahun 1995. The Unconsoled, misalnya. Buku yang mengisahkan seorang pianis di sebuah kota Eropa Tengah yang tidak disebutkan namanya. “Penyimpangan,” tulis Francis Wyndham dalam review buku itu untuk The New Yorker.

Pada tahun 2000, novel kelima Kazuo Ishiguro, When We Were Orphans, diulas di majalah The New Yorker oleh Joan Acocella. “Seperti pada semua novel Ishiguro sebelumnya,” tulis Acocella, “kita memiliki narator orang pertama yang melihat ke belakang. Dan seperti kebanyakan novel itu, yang kita lihat kembali adalah sebuah cerita tentang kerja sama dengan imperialisme.”

Akan tetapi dalam hal ini, novel dia berargumen, “Ishiguro, yang terkenal dengan pengekangannya, hal-hal yang tak terkatakan. — harus berbahasa Inggris! — menjadi orang Jepang! — mengeluarkan semacam cri de coeur (ungkapan yang ada di dalam hatinya).”

Ishiguro juga sukses dengan novelnya Never Let Me Go, yang seperti The Remains of the Day, kemudian dijadikan sebuah film. Louis Menand yang menelaah buku Ishiguro antara lain menyebut, rasa humor yang tidak dihargai oleh Ishiguro. “Novel-novel Ishiguro, selalu penuh dengan kejadian yang pedih, kekecewaan dan kekejaman. Kadang juga aneh, lucu, tetapi bukan humor,” tulis Menand.

Dua tahun yang lalu, Cody Delistraty minum teh bersama Ishiguro. Mereka membicarakan karya Ishiguro, termasuk eksperimennya dengan unsur fiksi genre — aspek sci-fi dari Never Let Me Go dan ornamen fantasi The Buried Giant.

“Genre,” kata Ishiguro, “Pada dasarnya adalah label pemasaran yang diletakkan secara retrospektif oleh industri buku untuk membantu pasar menerbitkan demografi tertentu.”

Dia menjelaskan gagasan di buku pertamanya. Bahwa kemudian Ishiguro memutuskan untuk mengaturnya, mengubah dan seterusnya. “Nanti,” kata Ishiguro, “yang penting, membuat cerita terbang.”

 

Artikel ini pertamakali terbit dalam bahasa Inggris di The New Yorker, 05 Oktober 2017 (oleh David Haglund).

Sumber gambar: WBUR

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous post Intervensi Penutur Asing: Bentuk Eksistensi atau Kolonialisme Masa Kini?
Next post Nyeni: Babe, Penjaga Parkir GK 1 FBS, Menghias Pos Jaganya