Advertisement Section

CERPEN KBE TERPILIH: YANG SOSIAL, KELUARGA, INTERTEKS DAN SENI RUPA

Harga: Rp.20.000
Oleh An. Ismanto
Ignas Kleden pernah menyatakan bahwa sebuah karya sastra bisa mencerminkan realitas sosial di sekelilingnya, tetapi bukan berarti harus. Para cerpenis yang menerbitkan karya mereka di jurnal kreatif Kreativa – kategori media yang aneh sekali – sadar atau tidak sadar membuktikan bahwa Kleden memang benar.

Kurator disodori 15 cerita pendek yang terbit di edisi-edisi Kreativa dalam rentang waktu 2008 sampai 2012. Setiap edisi berisi tiga cerpen. Dari ke-15 cerpen itu, kurator dipersilakan memilih sembilan cerpen – entah dengan alasan apa (mungkin karena sembilan adalah angka ultim yang keramat).
Dari kesembilan cerpen yang terpilih, terlihat keragaman tema dan gaya tutur yang berbeda-beda. Empat di antaranya memiliki kadar sosial sangat pekat, dua judul bernuansa drama keluarga, satu judul bermain-main dengan kemungkinan interteks bahasa, dan dua judul mengangkat tema seni rupa. Karya sastra yang enak dibaca, dengan demikian, memang tidak harus mencerminkan realitas sosial di sekitarnya, secara langsung maupun tidak langsung.
***
Bila suatu karya sastra memang diniatkan sebagai cerminan lingkungan sosial – dan barangkali juga menyiratkan keinginan untuk menggugat (baca: melawan) lingkungan sosial yang tercerminkan itu – maka cerminan itu harus dilakukan sedemikian rupa sehingga komposisi cerpen terbedakan dari propaganda.
Untuk itu, sang cerpenis harus mampu menyajikan persoalan sosial sebagai sebuah dunia tersendiri dengan menggunakan perangkat-perangkat sastra, dalam hal ini perangkat-perangkat penceritaan. Cerpen-cerpen bertema sosial dalam kumpulan ini, syukur sekali, disusun bukan sebagai propaganda, melainkan sebagai cerpen, sehingga tetap memberikan kenikmatan membaca sebuah cerita meskipun “amanat” sosial pengarang terlihat jelas.
Emma Haven adalah karya salah satu penulis cerpen prolifik yang begitu lihai dalam bercerita. Pinto Anugerah mengungkapkan apa yang terjadi pada masa lalu namun terlihat jelas memiliki relevansi dengan persoalan masa kini. Berlatar waktu zaman kolonial, cerpen ini mengisahkan tentang seorang Belanda totok yang menikahi seorang perempuan pribumi di Padang. Karena tugas, suami istri ini berpisah dan tidak pernah bertemu kembali.
Kita bisa menduga-duga maksud Pinto di dalam cerpen ini. Apakah Pinto sedang menggambarkan relasi timpang antara pengkoloni (Belanda) dan yang-dikoloni (Siti Kalaya)? Ataukah Pinto justru hendak menggugat stereotip bahwa Belanda-laki-laki-pengkoloni selalu jahat terhadap pribumi-perempuan-yang-dikoloni?
Dugaan yang terakhir ini masuk akal karena tokoh van Schrik dilukiskan berbeda dari stereotip pengkoloni-Belanda. Dia memiliki perasaan sebagaimana laki-laki dari bangsa lain. Kesalahannya barangkali hanya satu: dia terlahir sebagai seorang Belanda totok, yang mengimplikasikan “tanggung jawab” dan tugas-tugas seorang Belanda totok atas yang-dikoloni.
Tentu, dugaan-dugaan lain sah untuk diungkapkan. Sementara pesan sosial Pinto tersaput dalam lapis-lapis penandaan yang menantang pembaca untuk berpikir lebih jauh, Rachem Siyaeza, Niduparas Erlang dan Mugya S Santoesa cenderung melukiskan persoalan sosial dengan lebih jelas.
Mungkin kebetulan belaka jika cerpen ketiga penulis tersebut memusatkan cerita pada satu tema yang sama: seksualitas. Namun, ini tidak mengherankan karena sistem sosial di mana pun disusun salah satunya untuk mengatur dan menertibkan soal-soal yang terkait dengan seksualitas. Dalam ketiga cerpen ini, para protagonis diceritakan menabrak norma seksualitas yang “benar” dan terancam mendapatkan aib atau sudah mendapatkan aib.
Dalam Keringnya Sawah Surti, Rachem Siyaeza menggunakan simbol agraris berupa sawah kering untuk melukiskan bahwa istri Lukantab mandul. Karena istrinya mandul, Lukantab berslingkuh dengan Misna. Kemudian, karena Misna hamil, Lukantab mengantar Misna menemui seorang dukun untuk menggugurkan kandungan. Di akhir cerita, dilukiskan bahwa Lukantab hendak membunuh dukun itu walaupun tidak jelas sebabnya: apakah disebabkan marah kepada cara dukun itu menggugurkan kandungan, ataukah dia marah karena menyadari kesalahannya sendiri dan mencari pelampiasan.
Niduparas Erlang dalam Seruncing Hangat Cengkeh mengisahkan tentang sebuah perselingkuhan yang terjadi dalam masyarakat petani cengkeh. Tokoh utama diceritakan terjatuh sehingga tidak bisa bekerja lagi. Dalam keadaan lumpuh, dia ditinggalkan oleh istrinya. Pada saat harus menahan kebutuhan seksnya sendiri, dia menyaksikan perselingkuhan antara adiknya sendiri dengan kakak iparnya. Perselingkuhan itu akhirnya diketahui masyarakat dan si adik “di-massa”.
Pelukan Setengah Abad lebih lembut dalam menceritakan kisah perselingkuhan. Dengan bahasa yang berkelit-kelit, Mugya S Santoesa melukiskan tentang pasangan yang bertemu kembali setelah masing-masing memiliki pasangan. Tentu, pertemuan itu berlanjut ke tempat tidur. Menariknya, cerita diakhiri adegan yang menyiratkan kemungkinan bahwa suami tokoh “aku” memiliki anak dengan perempuan lain: sang suami juga berselingkuh.
Dengan gaya bertutur yang lembut dan narasi yang hampir-hampir datar, Lubis Grafura dan Ricardo Marbun mengungkapkan dua kisah yang berpusat pada keluarga (inti). Namun, drama keluarga dalam Surga di Telapak Kaki Bapak dan Melepasmu menyajikan kenikmatan ketika dibaca karena akhiran cerita disingkapkan dengan sangat perlahan.
Dalam Surga di Telapak Kaki Bapak, baru di akhir cerita terungkap mengapa tokoh Bapak selalu menjawab bahwa ibu tokoh “aku” telah meninggal dan mengapa tokoh “aku” tidak menyukai pelajaran sejarah. Cerita yang klise ini, syukur sekali, diungkapkan dengan menempatkan urut-urutan adegan yang bukan klise.
Dalam Melepasmu, Ricardo Marbun melukiskan tokoh bernama Rindu sebagai sentral dalam cerita. Rindu adalah putri semata wayang tokoh “aku” yang lahir setelah “aku” dan istrinya menunggu begitu lama. Dididik dan dipersiapkan dengan baik, Rindu bernasib buruk karena menikah dengan laki-laki yang tidak bisa “mencintai”-nya seperti “Ayah” (aku).
Ada tiga kekurangan dalam komposisi cerita Melepasmu. Pertama, tokoh “Arini” tiba-tiba saja muncul di akhir cerita. Siapakah dia? Anak Rindu? Lalu, pelukisan watak Arie sangat klise: laki-laki yang kejam kepada istri. Ketiga, apa sebenarnya penyebab kematian Rindu? Terlepas dari kekurangan-kekurangan itu, dan minimnya drama, cerpen ini istimewa karena begitu menyentuh dalam melukiskan kasih sayang “Ayah” (aku) kepada Rindu.
Karya sastra prosa, sebagaimana tulisan-tulisan lain dengan genreprosa, cenderung hendak menerang-jelaskan suatu pokok dengan menggunakan bahasa. Dengan demikian, bagi cerpen, bahasa adalah suatu “alat” untuk mencapai suatu tujuan, yaitu menyampaikan pengertian. Namun, bagi Rozi Kembara dalam Perempuan Asing Berajah Anjing, bahasa juga bisa menjadi “alat’ sekaligus “tujuan”.
Dalam cerpennya itu, Rozi menggunakan bahasa untuk menyampaikan sebuah kisah tentang tokoh “aku” yang bersetubuh dengan seorang perempuan yang baru saja dikenalnya dan untuk bermain-main dengan teks-teks yang lebih dulu ada dibanding teks cerpen ini. Adegan-adegan dalam narasi cerpen ini cenderung lambat sehingga terancam menjadi membosankan. Namun, kebosanan itu bisa dihindari dengan permainan interteks.
Rozi memasukkan berbagai teks yang pernah muncul dalam karya-karya sastra lain yang ditulis oleh para penulis lain yang merupakan nama sehari-hari dalam khasanah kesusastraan Indonesia. Misalnya, “Mangsa aku dalam cakarmu,” kata tokoh “aku”, yang merujuk pada salah satu baris sajak Amir Hamzah. Lalu ada lagi alusi kepada Suno Gumira Ajidarma dalam narasi tentang senja yang dipotong dan dikirimkan kepada seorang pujaan hati.
Komposisi cerpen Rozi pada dasarnya adalah sebuah permainan dengan artefak-artefak bahasa yang, sebagaimana sebuah permainan, diniatkan untuk menghasilkan kenikmatan membaca cerpen yang tidak melulu mengandalkan diri pada alat-alat bercerita seperti plot, penokohan dan semacamnya.
Dua cerpen lain dalam kumpulan ini menarik karena “melintas-batas” – membahas bidang seni rupa, yang dekat dengan bidang sastra. Asuransi untuk Pelukis karya Wayan Sunarta dan Pernikahan Tuan Mensen yang Mengejutkan karya Eko Triono sama-sama bercerita tentang dunia seni rupa dengan bidikan yang berbeda. Pada Sunarta, cerita ditulis dengan gaya realis dari awal sampai akhir dengan memusatkan perhatian pada perjalanan seorang pelukis.
Tokoh “aku” adalah seorang penjual polis asuransi. Dia menawarkan polis kepada seorang temannya, seorang pelukis yang kaya raya. Tawaran itu ditolak karena si pelukis merasa tidak memerlukan asuransi. Ketika karir si pelukis anjlok, dia baru menyadari pentingnya asuransi. Inti ceritanya bukan pada polis itu, melainkan pada naik-turunnya karir seorang seniman di dunia seni rupa yang “kejam” – menurut istilah si pelukis.
Pada Eko, gaya bertutur realis yang dibangun sejak awal dikejutkan dengan akhiran cerita yang absurd dan memberikan nuansa surealis. Di akhir cerita, terungkap bahwa sang pelukis dalam cerpen ini dikisahkan menikah dengan perempuan yang dilukisnya sendiri. Namun, sebelum tiba di akhiran itu, pembaca disuguhi narasi-narasi percintaan sang pelukis dengan “kekasih”-nya yang disajikan secara menarik.
***
Antologi cerpen ini memperlihatkan variasi dalam pilihan tema, gaya bercerita dan pengolahan bahasa. Keragaman ini tentu penting untuk diperhatikan karena semakin memperjelas bahwa cerpen sebagai sebuah karya sastra, sebagaimana karya-karya sastra dan seni yang lain – memiliki “kepribadian”: sebuah karya adalah hasil persepsi penciptanya yang unik. Dengan demikian, berbagai “pribadi” yang berbeda dapat ditemui di dalam antologi ini.
Dibaca secara lebih jauh, cerpen-cerpen ini membentangkan sebuah ruang pertemuan bagi pembaca dan pengarang: sebuah ruang kreatif di mana pembaca menyusun ulang kode-kode bahasa untuk menciptakan makna dan dalam aktivitas itu merasakan kenikmatan membaca – yang belakangan ini semakin tergerus oleh kenikmatan menonton.
Piyungan, November 2012

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Previous post KREATIVA, MUSYANG DAN PARANGTRITIS
Next post LAUTAN SASTRA DAN PERAHU YANG TENGGELAM