Garin Mencumbu Kebebasan yang Indah
Wahyu Juno, tokoh utama dalam film Kucumbu Tubuh Indahku mendapati dirinya nyaman saat menari lengger. Ia melihat sisi lain dari tubuhnya yang maskulin dalam bentuk tarian feminim.
Selanjutnya adalah pertentangan. Paradoks yang muncul dari luar diri Juno, sebagai gambaran paling universal dari masyarakat Indonesia. Cerita yang semula berpusat pada tradisi, menjadi semacam memoar dari orang-orang yang terpinggirkan.
“Ada ide besar: tubuh itu medium terbesar manusia. Delapan puluh persen kita bicara dengan tubuh. Lewat tubuh kita lahir dan dibawa mati. Setiap tubuh punya trauma,” tutur Garin Nugroho, sutradara yang menggarap film Kucumbu Tubuh Indahku.
“Saya mengisahkan tubuh dan trauma. Di situ juga bicara tentang maskulin, feminin, dan homoseksual. Orang-orang yang mengalami hal-hal itu rata-rata dari kalangan kelas atas, misalnya di kalangan musik populer. Saya [mencoba] melihat maskulin, feminin, dan homoseksual dari sejarah tari,” tambah Garin.
Namun, apa yang ingin disampaikan oleh Garin Nugroho, tidak sepenuhnya diterima oleh masyarakat Indonesia. Banyak kontroversi dan penolakan yang membuat Kucumbu Tubuh Indahku dilorot dari pasar karena tekanan dari banyak pihak, terutama organisasi masyarakat (Ormas) keagamaan.
Kucumbu Tubuh Indahku sendiri bukan film pertama Garin Nugroho yang menuai kontroversi. Sebelumnya, dua film Garin Nugroho, Opera Jawa (2005), dan Soegija (2012), juga sempat ditentang oleh beberapa kelompok masyarakat.
Sebagai sutradara, Garin, jelas ingin karyanya diterima oleh masyarakat dan dapat memberi sesuatu. Namun, di tengah masyarakat yang beragam, dia memahami banyak hal yang dapat terjadi. Ia pun menuturkan bahwa menjadi filmaker bukan pekerjaan yang sepele. Setiap orang, seperti sutradara harus memiliki pengetahuan yang cukup terhadap ide yang dikerjakan, serta risiko yang ditimbulkan oleh karyanya.
“[menjadi pekerja film] Harus seiring dengan pengetahuan, keterampilan, dan pencapaian. Harus memahami dan mengetahui risiko, dan [risiko itu] harus diterima, risiko diukur dari pencapaiannya,” jelas Garin Nugroho.
Hal itu pun kerap menjadi batasan seorang pekerja film, kendati mengamini setiap filmaker harus memiliki kebebasan dalam berkarya. Garin, menggarisbawahi bahwa mereka juga harus memerhitungkan risiko yang dapat timbul.
“Kebebasan mengangkat ide jadi film itu ada timbal baliknya, tidak ada kebebasan yang sempurna [dalam membuat film],” tutur sutradara terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 2019 tersebut.
Risiko dalam berkarya pun sudah diperhitungkan oleh Garin Nugroho, saat menggarap film Kucumbu Tubuh Indahku, yang kemudian jadi kontroversi. Dalam pembuatannya, Kucumbu Tubuh Indahku telah melewati proses panjang sampai menjadi sebuah film yang beredar di masyarakat, termasuk sensor mandiri.
Garin Nugroho, pun menjelaskan alasannya mengangkat tema-tema sensitif dalam karya-karyanya. Selain karena dirinya lebih nyaman menggarap isu-isu yang dia anggap penting, Garin, menyebut dirinya lebih pas mengerjakan film-film alternatif. Pasalnya, film alternatif memberi dirinya lebih banyak ruang untuk bicara hal-hal yang sensitif, yang tabu untuk dibicarakan. Hal itu terutama yang menyangkut masalah kemanusiaan dan kebebasan personal setiap orang.
“[bagi saya] Penting untuk mengangkat isu penting yang tidak diperhatikan tetapi mengandung sensitivitas [di masyarakat]. Membaca persoalan, dan merasa marah pada hal sederhana yang menyangkut kemanusiaan,”
Dengan prinsip yang seperti itu, lelaki asal Yogyakarta tersebut menyadari filmnya akan sulit bersaing di pasaran. Bahkan, untuk film Kucumbu Tubuh Indahku yang menjadi film terbaik FFI 2019, dan masuk nominasi di Venice International Film Festival, bisa dikatakan tidak laku di Indonesia.
Berdasarkan data Film Indonesia, jumlah tiket yang dijual untuk Kucumbu Tubuh Indahku sebelum dilarang tayang kurang dari 10.000 penonton bioskop. Saat film tersebut akhirnya dinobatkan sebagai film terbaik FFI dan kembali tayang di bioskop pun, peredarannya di pasar komersil tidak terlalu sukses.
“Ada pasar [segmentasi penonton] yang beragam. Misal film yang targetnya ditayangkan di sekolah-sekolah, sudah tayang di sekolah-sekolah, itu saja cukup,” tutur Garin Nugroho.
“Setiap ide punya target penonton utama. Selalu ada pasar umum, kita harus hormati. Tapi harus tahu juga pasar khusus, pasar personal,” tambahnya.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Agni Tirta, Ketua Paguyuban Filmmaker Jogja. Lebih spesifik, Agni, menjelaskan bahwa ide pembuat film harus diselaraskan dengan tujuan film diproduksi.
“Misal, untuk mengikuti kompetisi yang diadakan Danais [milik pemerintah daerah Yogyakarta], tentunya ada batasan-batasan dan temanya. Kalau film Danais dilihat dari berbagai perspektif, sangat luas,” ujar Agni Tirta.
Ide yang ditawarkan, menurut Agni Tirta, pun akan berbeda jika film yang diproduksi ditujukan untuk kebutuhan komersil. Begitupula untuk film yang targetnya menembus festival film, baik nasional maupun internasional.
“Kalau mau bikin untuk bioskop, berarti kan harus ada batasan, batasannya adalah lembaga sensor film, kan ada kategori usia, pornografi, SARA, dan lain-lain,” teranganya.
Imam Syafii, memiliki pendapat sedikit berbeda. Sutradara yang sudah malang melintang menggarap film pendek dan karyanya banyak diputar di berbagai festival film nasional itu menganggap aturan dapat diakali.
Dengan demikian, setiap ide dapat disampaikan tetapi dalam bentuk yang lebih implisit. Dalam hal ini, setiap filmaker diminta lebih jeli untuk memanfaatkan setiap ruang yang ada dalam cerita untuk membuat pesan yang dibawa sampai dan diterima oleh penonton.
“Sebenarnya kita harus membingkai dalam sebuah seni, kita bebas menyuarakan aspirasi atau argumen kita untuk mendukung kemerdekaan khususnya tentang kemanusiaan, tentang kaum minoritas yang tidak dilihat atau yang dianggap tabu di masyakarakat,” kata Imam Syafii.
“Misal, kayak Kucumbu Tubuh Indahku yang ngomongin tentang transgender, perjalanan tubuh, seperti di Indonesia kita itu mengakui ada lho perjalanan tubuh manusia yang mengalami bebas psikologis,” tambah dia.
“Aku menanggapi kebebasan berekspresi itu penting untuk kita. Karena, kalau tidak bebas, nanti karya kita kedikte. Kita terkekang dalam sebuah ideologi yang tidak benar menurut kita.”
Imam Syafii, pun menyebut Kucumbu Tubuh Indahku sudah cukup halus dalam menyampaikan pesan mengenai kemanusiaan. Perjalanan tubuh seorang transgender, yang di dalam masyarakat Indonesia masih tabu untuk dibicarakan dan belum diterima sepenuhnya keberadaannya.
Meski sudah dibuat cukup halus, Kucumbu Tubuh Indahku tetap mengalami sensor di bebeberap bagian. Hal itu membuat penikmat film di Indonesia mengaku terganggu, dengan kebijakan yang diberlakukan Lembaga Sensor Indonesia.
“Memang ada beberapa aturan-aturan di Indonesia itu lumayan ketat. Sampai kemarin film Kucumbu Tubuh Indahku tidak diizinkan muter [tayang] di beberapa tempat, dan kalau pun muter pun ada bagian-bagian yang dipotong,” ujar Bias Cahaya Lazuardi dari Kamisinema ISI Yogyakarta.
Lazuardi, pun mengaku kesal dengan kebijakan sensor film di Indonesia. Menurutnya, beberapa tindakan yang dilakukan terlalu berlebihan. Bahkan, ia menilai banyak tayangan di Indonesia yang seharusnya disensor justru tidak disensor, sementara yang tidak perlu disensor justru di sensor.
Sementara itu, sutradara film pendek “Sowan”, Bobby Prasetya, mencoba untuk berpikir lebih positif menanggapi kebijakan sensor film di Indonesia. Menurutnya, lembaga sensor memang bertugas untuk memfilter adegan-adegan yang mengandung hal negatif. Namun, dalam praktiknya, latar belakang orang-orang yang bekerja di balik layar turut memengaruhi keputusan yang diambil. Hal inilah yang membuat lembaga sensor terkesan tidak kompeten di mata penikmat film di Indonesia.
Baca Juga : Masalah Klasik Filmmaker: Dari Sensor hingga Pembajakan
“Saya yakin mereka [lembaga sensor] pasti punya niat yang baik untuk memfilter tayangan yang sampai ke para penonton. Tapi soal bagaimana menciptakan sebuah standard, itu yang menurut saya penting untuk dibicarakan lebih jauh,” tutur Bobby Prasetya.
“Jangan sampai sensor justru seolah menutup-nutupi orang untuk berpikir progresif dan melihat kenyataan hidup yang sebenarnya,” terang Bobby, saat dihubungi reporter Kreativa.
Sebagai contoh, Kucumbu Tubuh Indahku mendapat izin dari Lembaga Sensor Indonesia, sebelum tayang perdana di bioskop. Namun, setelah film tersebut menuai polemik dan banyak ditentang oleh banyak kelompok masyarakat izin tersebut dicabut.