Industri Film Indonesia Terpapar Corona
Industri film Indonesia sebelum pandemi sedang ditimpa durian runtuh. Tiga film Indonesia menembus angka satu juta penonton di bioskop pada dua bulan pertama tahun 2020. Milea: Suara dari Dilan yang rilis pada 13 Februari 2020 bahkan sukses meraup lebih dari tiga juta penonton usai menghias layar bioskop Indonesia selama hampir satu bulan.
Meski tidak sesukses dua film pendahulunya Dilan 1990 dan Dilan 1991 yang mampu menyedot lebih dari enam juta dan lima juta penonton, Milea: Suara dari Dilan setidaknya memberi optimisme industri film Indonesia di tahun 2020 yang ditargetkan mampu menarik lebih banyak penonton bioskop dibanding tahun 2019.
Berdasarkan data dari Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Kementrian Pariwisata Republik Indonesia, jumlah pengunjung bioskop di Indonesia tahun 2019 mencapai 60 juta penonton. Angka tersebut naik 15,4% dari tahun sebelumnya yang berada di angka 52 juta penonton, dan memiliki tren peningkatan sejak 2016.
Tren peningkatan tersebut terjadi setelah pemerintah Indonesia menghapus industri film dari Daftar Negatif Investasi (DNI). Hal itu memungkinkan perusahaan asing melakukan investasi besar-besaran dan ikut campur dalam pembuatan film.
Kebijakan pemerintah yang menghapus industri film dari Daftar Negatif Investasi memungkinkan pelaku film di Indonesia mendapat suntikan dana tak terbatas dari pihak asing yang sebelumnya dibatasi 51% saja dari total produksi. Hal itu pun disebut Angga Sasongko, — salah satu Sineas Indonesia yang mendukung pencabutan DNI dari industri film — , sebagai dampak positif dari masuknya investasi asing.
“Jika asing bebas menanamkan investasi, sektor usaha perfilman bisa jadi salah satu industri andalan baru ketimbang melulu kita mengandalkan sumber daya alam dan manufaktur,” ujar Angga Sasongko, pada 2016 silam dikutip dari Beritagar.
Tak ayal keputusan pemerintah Indonesia merevisi DNI membuat industri film Indonesia menjadi ladang menarik bagi sejumlah perusahaan besar dari luar untuk menginvestasikan dana mereka dalam sejumlah projek film di Indonesia. Salah satunya adalah 20th Century Studios, anak perusahaan Fox International yang bekerjasama dengan Lifelike Pictures dalam penggarapan film Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 (selanjutnya Wiro Sableng).
Kolaborasi perusahaan lokal dan asing dalam pelbagai hal memengaruhi penggarapan film, baik secara cerita dan tampilan visual. Dari segi cerita, film-film lokal seperti Wiro Sableng disesuaikan dengan pasar film asing, yang dibuat sesederhana mungkin sehingga mudah dicerna oleh penonton.
Hal itu diamini oleh Leila S Chudori dalam ulasannya di Majalah Tempo edisi 8 September 2018 mengenai Wiro Sableng. Menurut Leila, Ifa Ifansyah selaku sutradara tak hanya berhasil membuat cerita Wiro Sableng menjadi lebih sederhana, tetapi juga menghadirkan semesta martial art atau seni bela diri Indonesia yang gelap, sekaligus mengawinkannya dengan elemen superhero Hollywood yang selalu punya alasan untuk jadi pahlawan.
Tidak hanya dalam proses produksi, pencabutan status DNI dari industri film Indonesia turut membuat film-film Indonesia lebih mudah menembus pasar mancanegara. Jika sebelumnya, film-film Indonesia rata-rata hanya beredar di beberapa negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia dan Philipina, pasca pencabutan DNI mulai mampu menembus beberapa Festival Internasional dengan lebih mudah, terutama karena kehadiran promotor asing.
Film-film garapan Joko Anwar, misalnya mampu menembus sejumlah Festival Internasional, berkat pemasaran yang dilakukan oleh CJ Entertainment (rumah produksi asal Korea Selatan yang juga menangani Parasite). Dua film Joko Anwar yang dibuat pada tahun 2019 sukses masuk festival film Internasional antara lain Perempuan Tanah Jahanam (Sundance Film Festival 2020) dan Gundala: Negeri Ini Butuh Patriot (Toronto International Festival 2019).
Sepanjang 2019, Joko Anwar telah merilis tiga judul film yang ia sutradarai sendiri dan dua film sebagai penulis skenario. Dua filmnya yakni Perempuan Tanah Jahanam, dan Gundala sukses menarik penonton lebih dari satu juta. Sementara Ratu Ilmu Hitam mendapat lebih dari 900 ribu penonton.
Lebih Banyak Eksperimen
Tidak hanya sukses dalam hal pemasaran dan membuat film-film Indonesia menjadi lebih baik secara visual, kehadiran investor asing juga membuat sineas Indonesia lebih berani untuk melakukan eksperimen dan menghadirkan kebaruan dalam cerita.
Dalam Laporan Majalah Tempo edisi 14 Desember 2019, industri film tanah air disebut memiliki perkembangan yang cukup pesat. Tidak hanya peningkatan jumlah penonton bioskop, atau visual yang lebih memikat, para sineas Indonesia juga mampu menawarkan kebaruan dalam penyajian ide cerita.
Yosep Anggi Noen, misalnya menggunakan meta-sejarah untuk menawarkan sejarah alternatif dalam The Science of Fiction. Sejarah alternatif yang sebelumnya hadir dalam industri film Indonesia dalam bentuk yang kaku dan cenderung menggurui secara impresif digubah Yosep menjadi lebih cair.
Ia pun di anggap berhasil membuat hal tabu dalam masyarakat Indonesia, hadir dalam bentuk yang elegan dan bisa diterima banyak orang. Dalam prosesnya, Yosep, menggunakan pendekatan yang tak kalah nyeleneh dengan filmnya, ‘teori konspirasi’.
Teori konspirasi pendaratan manusia pertama di bulan dielaborasikan dengan peristiwa sejarah di Indonesia, untuk menyangkal hegemoni dalam sains, yang menjadi simbol pengetahuan. Siman, yang merupakan saksi sejarah dari kebohongan Neil Amstrong, dibuat tidak bisa bicara dalam pengertian yang sebenarnya. Ia juga diidentifikasikan sebagai orang gila.
Dalam hal ini, Yosep, sukses mereprentasikan sejarah Indonesia modern, tanpa menyinggung satu pun peristiwa sejarah. Alih-alih menggunakan cerita sejarah, dia justru menggunakan sains sebagai media bercerita di dalam filmnya.
Membuat hal tabu jadi diterima oleh masyarakat juga dilakukan Ginatri S. Noer, dalam filmnya Dua Garis Biru. Film yang berkisah asmara dua remaja yang belum cukup umur yang hamil diluar nikah.
Cerita yang ditawarkan Gina, banyak dikritik karena dianggap klise, dan memiliki kesamaan karakter dan alur dengan Buah Terlarang (1979). Namun, dalam prosesnya ia dianggap mampu membuat filmnya bermetamorfosa dan menyesuaikan cerita dengan zaman.
Pesan yang ingin disampaikan pun tidak serta merta dihadirkan dengan cara yang sadis, laiknya gambar peringatan dalam bungkus rokok. Lewat simbol dan sentuhan ilmu biologi dasar mengenai reproduksi, Dua Garis Biru yang menitik beratkan pada pendidikan seks tersebut mampu akrab dengan masyarakat.
Meski, dalam banyak bagian penting, pesan-pesan yang ingin ditekankan seperti cerita janin-buah strowberi-jus, justru tak sampai. Dua Garis Biru adalah eksperimen sineas Indonesia bermain dengan simbol yang cukup berhasil, – dari segi konten dan pasar -.
Dampak Virus Corona dalam Industri Film Indonesia di Tahun 2020 dan 2021
Sejumlah project eksperimental di industri film diprediksi berlanjut pada tahun 2020 bahkan mungkin hingga 2021. Tapi, hal tersebut tidak dapat dilakukan terkait krisis kesehatan yang melanda dunia.
Tidak hanya projek film eksperimental yang tidak dapat dilakukan, sejumlah produksi film lain yang sudah disiapkan cukup lama pun tidak dapat dilakukan. Bumi Langit Universe, misalnya berencana memproduksi dua film superhero Indonesia, Sri Asih dan Virgo and The Sparkling.
Rencana tersebut tidak terlepas dari sukses fim pertama mereka, Gundala: Negeri Ini Butuh Patriot (2019), yang disutradai Joko Anwar. Namun, proses produksinya dipastikan mundur setelah pandemi virus Corona, membuat akses di sejumlah tempat dibatasi.
Joko Anwar, sendiri disebut bakal mengerjakan dua film yang bekerjasama dengan Ivanhoe Pictures, sebuah rumah produksi asal Los Angeles, Amerika Serikat. Dua film yang rencananya bakal digarap oleh Joko Anwar, adalah The Vow dan Ghost in the Cell, yang bergenre sama dengan film sebelumnya Impetigore atau dalam bahasa Indoesia Perempuan Tanah Jahanam.
Namun, projek film Joko Anwar tersebut terancam batal direalisasikan pada tahun 2020 karena krisis kesehatan yang melanda dunia, termasuk Indonesia. Begitupula dengan film-film lain yang dijadwalkan rilis pada tahun 2020.
Satu film yang sudah terdampak virus Corona adalah KKN di Desa Penari yang semula dijadwalkan rilis pada 19 Maret 2020. Film yang sempat merajai trending twitter saat masih dalam rencana produksi itu ditunda perilisannya.
Dalam wawancara dengan CNBC Indonesia, Anggy Umbara, menyebut tidak kurang dari 100 judul film ditunda proses produksinya. Hal itu pun membuat industri film di tanah air ditaksir mengalami kerugian mencapai 500 miliar.
Hal tersebut diamini oleh Hanung Bramantyo, yang juga hadir dalam wawancara dengan CNBC Indonesia. Dia menyebut dalam sekali produksi, film Indonesia bisa mencapai keuntungan mencapai 10 miliar, meski tidak sedikit pula yang mengalami kerugian.
“Dalam sekali produksi, rata-rata film box office Indonesia mencapai keuntungan sekitar lima miliar sampai sepuluh miliar. Kalikan saja dengan seratus dua puluh film yang batal diproduksi tahun ini,” kata Hanung Bramantyo.
Baca selengkapnya tulisan Teras, atau tulisan milik Permadi Suntama lainnya.