Advertisement Section

Laut Bercerita: Sastra Sebagai Pembuka Realitas Politik

Cover buku Laut Bercerita, oleh Leila S. Chudori (Sumber gambar: pinterest)

Sastra memiliki daya untuk menjadi cermin, bahkan kritik tajam terhadap situasi sosial dan politik. Novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori hadir bukan hanya sebagai kisah fiksi, melainkan juga sebagai peringatan sejarah tentang luka bangsa. Melalui tokoh-tokoh yang hidup dalam narasi penuh duka, novel ini menyuarakan tragedi penculikan aktivis pada era Reformasi 1998. Di sinilah Laut Bercerita membuktikan bahwa karya sastra dapat menjadi ruang bagi kebenaran yang kerap dibungkam.

Identitas Buku:

Judul Buku: Laut Bercerita

Pengarang: Leila S. Chudori

Penyunting: Christina M. Udiani

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)

Tahun Terbit: Cetakan pertama, Oktober 2017

Tebal: 379 halaman

Penghargaan: S.E.A. Write Award

Adaptasi: Telah difilmkan dalam bentuk film pendek berdurasi 30 menit yang dibintangi Reza Rahadian

Sinopsis:

Novel ini terbagi menjadi dua bagian utama.

Bagian pertama, “Biru Laut,” menceritakan kisah seorang mahasiswa Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada. Laut adalah pemuda yang haus akan pengetahuan dan kerap membaca buku-buku yang pada saat itu dilarang oleh pemerintah, salah satunya karya Pramoedya Ananta Toer. Dari aktivitas itu, ia kemudian terhubung dengan kelompok aktivis yang tergabung dalam organisasi Winatra dan Wirasena. Bersama sahabat-sahabatnya; Kinan, Sunu, Daniel, Alex, Naratama, hingga Sang Penyair Gala. Laut menjalani kehidupan penuh idealisme dan risiko. Mereka berdiskusi, mengorganisasi aksi, hingga turun langsung dalam gerakan perlawanan terhadap pemerintah.

Salah satu aksi yang mereka lakukan adalah penanaman jagung di Blangguan, sebuah simbol perlawanan rakyat terhadap kekuasaan. Namun, gerakan tersebut tak berjalan mulus. Aparat keamanan membayangi, penangkapan dan interogasi pun terjadi. Ketika aksi gagal, mereka berpindah-pindah, menjadi buronan, dan hanya bisa berhubungan dengan keluarga melalui surat yang diselundupkan. Dari sini pula muncul kisah asmara Laut dengan Anjani, sesama aktivis, yang justru memperkuat sisi manusiawi di tengah tekanan politik.

Baca lainnya: Pres Release Studi Banding LPPM Kreativa FBSB UNY 2025 X Presma Poros UAD

Namun perjuangan itu berakhir pahit. Pada 13 Maret 1998, Laut bersama rekan-rekannya ditangkap di Rumah Susun Klender. Mereka mengalami interogasi, penyiksaan, hingga pengkhianatan dari orang yang pernah mereka percaya. Kisah Laut berakhir tragis, ia menjadi salah satu dari 13 aktivis yang hilang tanpa kepastian.

Bagian kedua, “Asmara Jati,” menggunakan sudut pandang adik Laut, Asmara. Dua tahun setelah hilangnya sang kakak, keluarga Laut masih melakukan ritual makan malam dengan empat piring yang disiapkan, seolah menunggu kepulangannya. Dari kacamata Asmara, kita menyaksikan rasa kehilangan yang tak pernah reda, sekaligus upaya para keluarga korban untuk menuntut keadilan. Mereka mendirikan lembaga pencarian orang hilang, berjuang mengungkap kebenaran di tengah pengabaian negara.

Melalui dua bagian ini, Leila Chudori memperlihatkan bagaimana tragedi politik bukan hanya soal mereka yang diculik, tetapi juga keluarga dan masyarakat yang ditinggalkan.

Analisis Isi:

Meski berangkat dari peristiwa sejarah, Laut Bercerita dikemas dengan bahasa yang sederhana dan menyentuh. Leila Chudori menulis novel ini setelah riset panjang, termasuk wawancara dengan Nezar Patria, salah satu aktivis yang diculik dan kemudian dikembalikan. Pengalaman nyata itu memperkuat detail kisah, menjadikan novel ini lebih dari sekadar fiksi, melainkan sebuah perlawanan dalam bentuk sastra.

Tema besar novel ini adalah perlawanan terhadap ketidakadilan. Melalui tokoh Laut, kita diajak menyelami bagaimana seorang mahasiswa sederhana bisa tumbuh menjadi simbol perjuangan. Sementara Asmara mewakili suara keluarga korban, suara yang kerap diabaikan negara. Kehadiran tokoh-tokoh aktivis lain, dengan karakter yang detail, menambah warna pada perjuangan kolektif tersebut.

Baca lainnya: Lampu kuning

Leila menggunakan alur maju-mundur yang menegangkan sekaligus emosional. Kadang pembaca diajak larut dalam diskusi intelektual para aktivis, kadang dicekam dalam suasana penyiksaan dan interogasi, lalu tiba-tiba hanyut dalam kesunyian keluarga yang menunggu kepulangan anaknya. Kombinasi ini membuat novel tak hanya menceritakan tragedi politik, tetapi juga menghidupkan sisi manusiawi yang universal, seperti cinta, persahabatan, pengkhianatan, dan kehilangan.

Kelebihan dan Kekurangan:

Kekuatan utama novel ini terletak pada keberhasilannya menyampaikan tragedi sejarah dengan bahasa yang tetap mudah dicerna. Setiap tokoh diperkenalkan secara detail, sehingga pembaca bisa memahami dan merasakan pergulatan batin mereka. Latar yang menegangkan, alur maju-mundur, dan suasana emosional berhasil membangun keterhubungan antara pembaca dengan kisah.

Namun, teknik alur bolak-balik yang dipakai Chudori bisa menjadi tantangan tersendiri. Pembaca yang tidak terbiasa dengan gaya narasi seperti ini mungkin akan merasa bingung. Meski begitu, justru dari teknik inilah lahir keunikan novel yang membuatnya berbeda dari sekadar catatan sejarah.

Amanat

Novel Laut Bercerita mengingatkan pembaca untuk bersyukur bahwa hari ini kita bisa hidup di Indonesia yang lebih terbuka dan demokratis. Namun, ia juga menegaskan bahwa kebebasan itu dibayar mahal oleh generasi sebelumnya. Seperti kutipan dalam novel: “Matilah engkau mati. Kau akan lahir berkali-kali.” Pesan ini menekankan bahwa perjuangan dan pengorbanan para aktivis akan terus hidup dalam semangat generasi berikutnya.

Novel ini juga memberi pelajaran penting agar kita tidak terjebak dalam kegelapan masa lalu, melainkan berani bangkit dan menyalakan harapan, sekecil apa pun.

Penutup

Laut Bercerita adalah novel fiksi sejarah yang kuat, menyatukan riset panjang, kepiawaian bahasa, serta sensitivitas terhadap luka bangsa. Ia adalah kritik terhadap politik represif, penghormatan bagi para aktivis yang hilang, dan pengingat bagi generasi muda untuk menjaga suara kebenaran. Membaca novel ini bukan hanya perjalanan emosional, tetapi juga bentuk refleksi: bahwa sastra mampu menyuarakan hal-hal yang tak lagi terucapkan.

Bagi siapa pun yang ingin memahami bagaimana sastra berperan sebagai kritik politik sekaligus penjaga ingatan sejarah, Laut Bercerita adalah bacaan wajib yang menyentuh, mencerahkan, sekaligus menggugah nurani.

Baca lainnya: The Hole Named Loneliness.

Penulis: Aulia Mahdini

Editor: Nabila Rizqi Laila Azzahr

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous post Pres Release Studi Banding LPPM Kreativa FBSB UNY 2025 X Presma Poros UAD
Next post Titik Seimbang Mahasiswa: Mengapa Mahasiswa Harus Cerdas Mengelola Diri di Ruang Digital dan Dunia Nyata?