Taman Kota
Seorang anak laki-laki berjalan menuju taman kecil di sudut kota ini. Hari menjelang sore, tetapi seragam merah putih lengkap masih ia kenakan. Langkahnya terlihat gontai dan wajahnya tampak kuyu. Ia berjalan mendekat, lalu duduk di kursi besi panjang yang berada di sampingku.
Anak laki-laki berwajah sendu itu termenung menekuri ujung sepatunya. Entah, apa yang ia pikirkan aku pun tak tahu. Aku melihatnya beberapa kali dalam seminggu ini di sini. Selalu begitu, menuju taman, berjalan gontai, lalu duduk di kursi dengan wajah sendu.
Ketika anak-anak sebayanya riang bermain ayunan, jungkat-jungkit, perosotan, atau memainkan engklek di seputaran taman, anak itu justru hanya mengamatinya. Ia bergeming, tidak bergabung bersama mereka. Berada di taman ini sepanjang waktu membuatku tahu persis apa yang dilakukan anak itu.
Seandainya bisa, aku ingin mengajaknya bicara. Menanyakan apa yang menjadi sebab kerisauannya. Namun, tentu itu tidak mungkin. Aku hanya dapat memayungi dengan rimbun daunku saat ia duduk di kursi untuk melindunginya dari terik mentari, hanya dapat menjatuhkan buahku yang berwarna merah, kecil, dan ranum agar dapat ia makan untuk sekadar menghilangkan kesedihan, hanya dapat menggugurkan sejumlah daunku di kepalanya agar ia dapat tersenyum sejenak. Hanya itu yang kulakukan setiap kali anak itu datang ke taman ini.
***
Anak itu datang lagi. Masih memakai seragam lengkap dan masih memakai gaya yang sama: berjalan gontai, duduk di kursi, lalu termenung. Sejurus kemudian, ia merogoh ransel hitam kecilnya. Ia keluarkan beberapa buku tulis lalu membuka lembar demi lembar. Gerakan membukanya tidak konstan. Cepat, bertambah cepat, semakin cepat, dan bugg!… buku yang dipegangnya ia lemparkan.
“Aku benci buku! Aku benci buku!” anak itu berdiri menyeru. Tangannya mengepal. Napasnya naik turun.
Aku mengamati lekat-lekat. Barangkali dirinya tengah dirundung masalah. Ya, mungkin saja. Aku hanya mengira-ngira.
Anak itu menjatuhkan kembali badannya di kursi. Ia tertunduk dalam dalam, lalu air matanya mulai berjatuhan. Ada apa denganmu kawan kecilku? Maka seperti biasa, kujatuhkan buahku di kepalanya. Tapi, tangis anak itu malah semakin menjadi.
“Zein! Sudah berapa kali Mbak bilang jangan keluyuran terus! Kamu ini selalu ngeyel saja. Cepat pulang!” seorang perempuan muda mendekati anak itu. Baru aku tahu nama anak laki-laki itu adalah Zein. Nama yang indah.
“Aku tidak mau pulang! Pokoknya tidak mau!”
“Mau sampai kapan di sini terus, Zein! Sebentar lagi azan maghrib. Kamu mau diculik kolong wewe, ya? Mau, hah?!”
Zein mendongakkan kepala, “Biar Mbak, biar! Aku tidak peduli. Yang penting ndak kena pukul Bapak lagi.”Perempuan itu menghela napas. Memandang wajah Zein sebentar dan mengelus rambut anak itu. Ia lalu mengambil posisi duduk di samping Zein. “Kamu menangis? Anak laki-laki tidak boleh cengeng tau, Dek. Mbak rasa Bapak hanya terlalu jengkel tadi pagi. Jadi ia hilang kendali.”
“Tapi, aku benar-benar tidak bisa membaca tulisan-tulisan itu, Mbak. Huruf-huruf yang ada di bukuku seperti menari-nari dan bergerak sendiri. Huruf-huruf itu, bahkan di mataku sering bertukar posisi. Aku ndak bohong Mbak. Benar, aku ndak bohong!”
“Iya, Mbak percaya kamu.”
“Tapi, Bapak tidak. Ia terus memaksaku membaca. Apa aku ini memang bodoh Mbak? Iya, ya?” Zein, anak lak-laki itu terisak kembali.
“Ssstt… sudah, Sayang. Mbak janji kejadian tadi pagi ndak akan terulang lagi. Nanti Mbak akan bilang Bapak agar ia mau mengerti. Sekarang pulang, ya?”
Zein dan wanita muda itu beranjak pergi meninggalkan taman. Meninggalkanku sendiri di sini dengan menyisakan sebuah teka-teki. Bagaimana bisa manusia merasa huruf yang dibacanya bertukar posisi? Bagaimana bisa? Jika bisa, mengapa itu dapat terjadi? Ah, entahlah.
***
Terhitung seminggu sudah kursi besi di sampingku tidak diduduki Zein. Anak itu tidak datang lagi. Aku mulai merasa sepi. Beberapa orang yang sempat duduk di kursi ini hanya asyik dengan dirinya sendiri. Apa mungkin anak itu sudah bosan merenung di taman ini? Apa mungkin ia tidak merasa nyaman lagi duduk di sini? Apa mungkin ia mencari tempat lain?
Taman ini beranjak sepi. Hanya menyisakan satu dua orang saja yang sepertinya sebentar lagi juga akan pergi. Seperti biasa bila petang menjelang taman kota ini akan bersih dari lalu lalang orang. Tapi, tunggu, aku melihat perempuan muda itu lagi. Aku tidak asing dengan wajahnya, bukankah itu perempuan yang minggu lalu bersama Zein?
Ia duduk di di kursi besi dekatku. Sesekali kepalanya ditengokkan memerhatikan sekeliling. Lalu berganti memerhatikan jam tangan di pergelangan tangan kirinya.
Seorang laki-laki jangkung berkemeja tosca mendekati perempuan itu. “Maaf terlambat.”
“Kamu pasti sibuk mengurusi pasienmu. Terimakasih sudah datang. Kali ini aku benar-benar membutuhkan bantuan.”
“Bilang saja, selama aku bisa akan kubantu”
“Kamu tahu Zein-adikku?”
“Iya, dia anak yang lucu”
“Adikku sekarang sudah kelas tiga SD. Tapi, dia berbeda dengan anak-anak seusianya. Zein selalu kesulitan bila disuruh membaca. Susah sekali mengajarinya. Aku takut di akan tinggal kelas lagi dan…,” suara perempuan itu bergetar, ia berhenti sejenak. “Aku…, aku lebih takut jika Bapak mengikuti saran guru Zein memindahkan adikku ke sekolah luar biasa.”
“Astaga! Tidak itu tidak benar jika orang tuamu benar-benar memindahkannya.”
“Bisakah kamu membantu adikku? Sebagai seorang psikiater kamu pasti lebih tahu.”
“Sulit membaca? Maksudmu dia kesulitan memahami tulisan?”
Perempuan itu merogoh ransel kecil yang sedari tadi dibawanya. Ia keluarkan sebuah buku tulis lalu menyerahkan pada lelaki itu. “Ini buku Zein. Coba kamu periksa. Aku sendiri selalu bingung membaca tulisan anak itu. Ini lebih mirip coretan daripada tulisan”
Laki-laki itu diam sejenak, membalik lembar demi lembar, dan memerhatikan buku yang dipegangnya dengan saksama. “Apakah orangtuamu juga sulit membaca?”
“Setahuku tidak. Mendiang ibuku suka sekali membaca novel dan Bapak hampir setiap pagi membaca koran.”
“Adikmu pernah jatuh atau kecelakaan mungkin?”
“Jatuh?” perempuan itu mengernyitkan dahi, “Oh iya, pernah. Tapi, sudah lama sekali. Kalau tidak salah saat Zein berusia tiga tahun, saat itu Zein berlari dan terpeleset ompolnya sendiri. Kepalanya terbentur.”
“Disleksia,” laki-laki itu berkata lirih
“Apa kamu bilang?”
“Disleksia. Lihatlah pola tulisan adikmu. Ia sering terbalik saat menulis huruf b dengan d, huruf m dengan w, dan juga huruf p dengan q. Di beberapa lembar kutemukan pola kesalahan yang sama. Kamu katakan juga bila adikmu pernah terbentur kepalanya. Kurasa ia menunjukkan gejala acquired disleksia.”
“Penyakit macam apa itu?”
“Kesulitan membaca, menulis, dan menghitung. Kemungkinan saat kepalanya terbentur dulu, bagian otak sebelah kiri mengalami cedera.”
“Tapi, tapi, adikku bisa sembuh, kan? Dia akan bisa membaca, kan?”
“Tidak ada yang tidak mungkin selama Tuhan berkehendak. Beberapa kasus yang pernah kubaca si penderita akhirnya bisa membaca dengan terapi dan metode khusus untuk mengajari mereka. Yang paling penting telaten dan dan sabar.”
Perempuan itu melenguh, menyandarkan badannya ke kursi. “Lalu aku harus bagaimana? Adikku suka sekali menggambar tapi ia benci belajar.”
“Bawalah adikmu setiap sore ke taman ini. Aku akan datang meski sebentar untuk membantunya belajar. Setuju?”
Perempuan itu tersenyum mengangguk. Lelaki itu juga tersenyum memandang perempuan di dekatnya. Aku pun juga tersenyum. Berarti laki-laki kecil itu akan ke sini lagi ***
Karangmalang, 2017