Advertisement Section

Eden Junjung : Film Pendek Saya Pernah Dipotong Enam Scene

Sensor film, masih menjadi masalah yang harus dihadapi oleh banyak sineas di Indonesia, baik pemula hingga yang sudah kondang sekalipun. Walaupun kebebasan berekspresi telah dijamin oleh Undang-Undang, dalam prakteknya masih banyak karya seni yang dilarang, salah satunya film.
Reporter Kreativa, menghubungi salah satu sineas muda Indonesia, Eden Junjung, untuk membahas beberapa hal di dalam industri film Indonesia. Beberapa topik yang kami bicarakan antara lain mengenai sensor film, kebebasan berekspresi dalam film, hingga fasilitas publik di Indonesia yang kurang mendukung.

Berikut ini wawancara Reporter Kreativa, Lufi Afita Kardina, dengan Eden Junjung, yang dilakukan melalui sambungan telepon pada 29 April 2020.

Bagaimana menurut Mas Eden, tentang kebebasan berekspresi dalam pengangkatan sebuah tema dalam film? Misalnya seperti film Kucumbu Tubuh Indahku.

Menurut saya hak seorang pembuat film untuk berekspresi dan berkreasi melalui karyanya, hak penonton adalah untuk menilai karya itu. Selama semuanya dilakukan dengan kesadaran dan bertanggung jawab saya rasa semua akan baik-baik saja dan menjadi hubungan yang harmonis.

Harapan saya hal itu bisa disadari bersama antara pembuat karya dengan penontonnya. Momentum menangnya film “Kucumbu Tubuh Indahku” sebagai film terbaik di FFI tahun lalu meyakinkan saya bahwa penonton Indonesia sudah mulai bisa menerima film dengan tema yang beragam.

Menurut Mas Eden film-film Indonesia sekarang bisa dikatakan lebih “berani” (mengangkat tema sensitif) dibandingkan dulu?

Kalau kita bicara dulu sebelum era reformasi berkarya tidak sebebas saat ini. Tidak hanya di film saja namun banyak juga seniman yang mencoba bersuara melalui karya-karyanya.
Namun, karya yang dianggap bertentangan dengan kebijakan rezim kala itu akan susah mendapatkan tempat dan bertemu penontonnya, begitu juga dengan film.
Jadi, menurut saya tidak adil untuk membandingkan mana yang lebih berani karena kondisinya berbeda dan tidak sebanding.

Bagaimana pengaruh visi misi, ideologi, kondisi psikologis, dan kondisi sosial Mas Eden sebagai sutradara dalam pembuatan film?

Sebuah karya yang jujur adalah cerminan dari penciptanya sendiri baik itu secara sosial, psikologis juga ideologis. Justru dari situlah visi dan misi seorang sutradara atas karya-karyanya dapat terlihat, hal itu yang saya rasakan selama ini dalam film-film saya.

Apakah seorang Filmmaker harus idealis dalam membuat film?

Tidak harus, idealis itu tentang pilihan. Jika dianalogikan pada seekor kuda, itu pilihanmu untuk mau menjadi kuda pacuan atau kuda penarik delman. Mana yang lebih baik?

Apa yang mempengaruhi Mas Eden masuk ke dunia perfilman?

Saya suka seni musik, saya suka seni pertunjukan saya juga suka seni rupa, dalam prosesnya semua keilmuan itu saling mempengaruhi di dalam kekaryaan saya dan ketiganya bisa terakomodir dalam sebuah medium yaitu film yang saya tekuni saat ini.

Bagaimana menurut Mas tentang sensor film di Indonesia? Apa ini juga ikut mempengaruhi cara berekspresi?

Saya mencoba untuk tidak mau ambil pusing tentang sensor di Indonesia pada saat saya berkarya, kalaupun akhirnya nanti kena sensor seperti film saya Happy Family pada waktu tayang di sebuah televisi lokal yang ada di Jogja. Saat itu kurang lebih 6 scene film saya kena pangkas, bisa dibayangkan film pendek yang hampir separuh scene nya terpangkas sensor jadinya seperti apa?
Tapi dengan begitu saya malah yakin penonton yang penasaran dan benar-benar ingin melihat film saya pasti akan mencari film itu di ruang-ruang pemutaran alternatif atau film festival untuk dapat melihat filmnya secara utuh.

Bagaimana pendapat Mas mengenai apresiasi masyarakat terhadap film Indonesia saat ini?
Hal itu menjadi wajar (apresiasi film Indonesia masih relatif rendah) menurut saya karena film masih menjadi kebutuhan kesekian bagi masyarakat di negara kita. Mereka masih mempertimbangkan mengunakan uangnya untuk membeli beras atau membeli tiket bioskop.
Dapat menonton film-film Indonesia atau Hollywood secara gratis di rumah sambil tetap bisa makan nasi mungkin adalah suatu pilihan yang ideal bagi sebagian masyarakat kita saat ini dan televisi adalah media yang dapat memfasilitasi itu.

Bagaimana tanggapan Mas Eden mengenai banyaknya komunitas film dan festival-festival film saat ini, terutama di Yogyakarta?

Banyaknya komunitas dan festival film yang bermunculan saat ini baik dalam lingkup kampus atau umum di Yogyakarta, khususnya menurut saya adalah indikasi bahwa semakin meningkat juga antusias dan gairah masyarakat untuk menonton dan membuat sebuah film.

Walaupun dulu keberadaan komunitas-komunitas film tidak sebanyak hari ini tapi kita bisa lihat mereka sanggup bertahan dan konsisten hingga saat ini. Lalu bagaimana dengan komunitas-komunitas film yang baru bermunculan saat ini (beberapa tahun terakhir)? Berapa banyak di antaranya yang bisa konsisten dan terus bertahan? Menarik untuk kita lihat besok.

Seberapa penting menurut Mas Eden tentang eksistensi dari komunitas komunitas film ini untuk industri film sendiri?

Saya sendiri bukan berasal dari suatu komunitas film tertentu yang ada di Jogja namun saya mencoba untuk mengenal dan berhubungan baik dengan tiap-tiap komunitas yang ada.

Komunitas mendukung proses untuk belajar menjadi seorang pembuat film dan membuka jaringan baru. Hal itu sangat membantu untuk membuka peluang menjadi profesional di dunia film.

Namun begitu, tidak harus semua filmmaker melalui komunitas untuk bisa eksis, yakinlah dengan dirimu dulu sebelum kamu yakin dengan siapapun.

Perfilman Indonesia sendiri sudah bisa dikatakan maju?

Kalau dibanding dengan negara-negara di Eropa atau Asia lain, perfilman Indonesia belum bisa dikatakan lebih maju, salah satu tolak ukurnya adalah infrastruktur. Di Korea Selatan misalnya pada saat saya pergi ke Busan, di sana saya melihat bahwa mereka memiliki Busan Cinema Center yang besarnya kurang lebih sebesar stadion sepakbola, itu adalah tempat yang disediakan pemerintah Korea Selatan untuk penyelengaraan Busan Internasional Film Festival tiap tahunya.

Di sana pembuat film, penikmat film juga masyarakat umum bisa mengakses infrastruktur yang begitu memadai dan eksklusif. Hal itu dengan serius dipersiapkan oleh pemerintahnya untuk menunjang kemajuan film. Namun, hal seperti itu belum bisa kita dapatkan di Indonesia.

Reporter: Lufi Afita Kardina, Pandan Ayu P.

Baca tulisan TERAS yang lainnya di sini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Previous post Industri Film Indonesia Terpapar Corona
Next post Polisi dan Heroisme yang Dibuat-buat