Polisi dan Heroisme yang Dibuat-buat
Ada yang menarik ketika sekumpulan orang berseragam coklat muncul di televisi. Ya, polisi. Mereka memang sudah memasuki layar kaca kita sejak lama, terutama di acara sinema elektronik. Dalam setiap konflik yang muncul dalam sinema tersebut, sebagian dihiasi oleh peran polisi. Mereka kerap muncul apabila salah satu tokoh sedang mengalami atau melakukan tindakan kriminal, atau paling tidak, mereka muncul sebagai penegak lalu lintas. Peran yang terakhir biasanya terdapat di sinema-sinema komedi.
Dalam sinetron, peran polisi kerap dikesampingkan dan dianggap sebelah mata. Mereka sering terlambat mengatasi sebuah kasus kriminal atau kejahatan. Mereka sering berada di bawah bayang-bayang tokoh utama yang kuat, berparas tampan, body goals, dan segala hal yang tidak dimiliki oleh para polisi. Tentu hal ini akan membawa stigma buruk di masyarakat, khususnya di mata penikmat sinetron. Para ibu-ibu dan anak kecil yang menonton tayangan sinetron akan dengan mudah menganggap polisi itu tak lebih dari manusia yang lemah.
Dari beberapa kasus di atas, tentu mereka tidak duduk diam di warung kopi. Masalah ini adalah masalah serius bagi mereka. Mereka bahkan sudah membangun narasi-narasi baru di televisi untuk melawan sinetron. Narasi perlawanan polisi sudah lahir sejak muncul tayangan 86 atau The Police, dua tayangan polisi yang paling populer di Indonesia. Kedua tayangan tersebut sama-sama getol membangun citra polisi yang heroik, tegas, dan disegani oleh masyarakat. Mulai dari penampilan fisik yang menarik, hingga proses pengambilan gambar yang dikemas seperti adegan-adegan di film action.
Selain itu, tak jarang mereka sering mengutarakan himbauan, kata-kata motivasi, hingga ceramah. Mereka dengan luwes memposisikan dirinya sebagai orang bijak dan peduli, sehingga saat kita menontonnya seolah-olah polisi telah melakukan hal yang baik dan benar. Mereka benar-benar membangun heroisme yang kuat dengan harapan mematahkan persepsi buruk yang timbul di masyarakat.
Tentu, ini akan menjadi pertarungan yang seru ketika kita berbicara soal citra mana yang akan dipercaya masyarakat. Saya sedikit menghubungkan kedua persepsi di atas dengan kasus-kasus yang terjadi di masyarakat. Kita tahu bahwa tugas polisi adalah melakukan penegakan apabila terjadi pelanggaran hukum di masyarakat. Dari sini kedua persepsi di atas sama-sama mencerminkan polisi sebagai aparat penegak hukum. Dan hal ini wajar-wajar saja, karena memang seharusnya begitu.
Akan tetapi, ada beberapa kasus di atas, baik di sinetron maupun acara 86 itu benar-benar terjadi. Dan di antaranya merupakan citra buruk dari aparat kepolisian. Sudah bukan rahasia umum apabila aparat kepolisian sering dianggap lamban dalam merespon suatu laporan dari warga. Entah urusan prioritas sampai adanya pungutan liar. Ciri ini nampak jelas di dalam sinema elektronik, bahkan sering menjadi adegan kunci dalam satu episode.
Selain di dalam sinetron, citra buruk ini juga cukup nampak dalam program 86. Di dalam program tersebut, polisi seolah-olah juga berperan sebagai aparat moral bagi masyarakat. Mereka sering menghakimi masyarakat yang menurut persepsi mereka adalah hal yang salah. Misalnya, mereka kerap menghampiri perempuan-perempuan yang sedang keluar malam dan menasihatinya. “Perempuan kalau sudah malam harusnya di rumah.” atau “Kamu ngapain malam-malam di sini? Sudah bilang ortu belum?” Tentu tindakan ini justru membuat masyarakat menjadi terganggu karena menyalahi hak-hak privasi warga. Di sini polisi yang seharusnya menjadi pengayom, justru menjadi pihak yang dianggap mengganggu masyarakat.
Selain itu, polisi dalam program 86 juga sangat memposisikan dirinya sebagai ‘pahlawan’. Namun, menurut saya, itu agak berlebihan. Jika dilihat adegan per adegan secara saksama, mereka kerap mempermalukan siapapun yang dianggap salah olehnya. Hukuman yang tidak manusiawi dan irasional seperti menyanyi lagu-lagu aneh, push up, yang diberikan menurut saya kurang etis apabila ditampilkan di program televisi. Memang betul, dalam rangka kontrol sosial hal tersebut perlu dilakukan. Namun, hal ini juga akan membangkitkan narasi bahwa polisi akan selalu berada di pihak yang benar dan dapat melakukan apapun dengan alasan penegakan hukum. Hal inilah yang justru menjadi hal yang paling berbahaya untuk identitas mereka sendiri. Mereka halal melakukan apapun selama mereka merasa benar.
Hal-hal di atas sebenarnya tak perlu terjadi apabila polisi benar-benar melakukan tugasnya secara jujur. Masyarakat Indonesia masih sangat percaya bahwa polisi adalah pengayom dan pelindung masyarakat. Saya masih yakin dengan itu. Jadi, tak perlu repot-repot membuat suatu narasi yang sebenarnya tidak jujur. Toh, masyarakat juga tahu mana yang harus kami percayai, antara hiburan atau kenyataan. Kami masih percaya polisi adalah orang baik, tetaplah berlaku jujur. Polisi tidak butuh iklan.
Baca lebih banyak tulisan-tulisan Opini dan juga tulisan-tulisan Musthafa.