Harapan dan Hambatan: Suara Mahasiswa Kampus Mengajar Angkatan 7
LPPM Kreativa – Program Kampus Mengajar (KM) Angkatan 7 yang dilaksanakan mulai 26 Februari hingga 19 Juni 2024, bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan yang memfokuskan pada peningkatan kemampuan literasi dan numerasi siswa.
Penerjunan mahasiswa juga berperan sebagai guru pendamping dengan mewadai berbagai permasalahan iklim sekolah. Implikasinya, kegiatan KM berfungsi sebagai wahana untuk mengatasi berbagai permasalahan sumber daya manusia maupun sumber daya pendukung sekolah.
Berbagai hambatan ditemukan dari proses seleksi peserta KM 7 hingga penerapan program kerja di sekolah penugasan. Situasi tersebut berdampak pada kualitas sumber daya mahasiswa yang kurang optimal saat mengimplementasikan program kerja yang relevan dengan Rencana Aksi Kolaborasi (RAK).
Permasalahan Tes Peserta Kampus Mengajar 7: Aplikasi Ujian Down dan Ketidaktransparan Nilai
Pelaksanaan tes KM 7 diwarnai dengan permasalahan yang menuai kritik dari para peserta. Dua permasalahan utama yang menjadi sorotan adalah server aplikasi ujian yang down karena antusias peserta KM 7 di waktu yang bersamaan dan ketidaktransparanan nilai hasil ujian. Hal ini dirasakan Shanty, mahasiswa Sastra Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang mengikuti pelaksanaan tes KM7.
“Belum siapnya sistem yang digunakan oleh pihak Kampus Mengajar menyebabkan banyak pendaftar harus mengulang tes berkali-kali agar jawaban mereka dapat terinput dengan benar oleh sistem,” ujar Shanty.
Aplikasi ujian mengalami kendala teknis pada pelaksanaan tes yang menyebabkan banyak perserta tidak dapat mengakses halaman ujian. Kejadian tersebut disebabkan antusias peserta yang sangat tinggi dalam waktu bersamaan sehingga server mengalami kendala selama beberapa jam.
Hal ini menimbulkan frustasi dan kekecewaan bagi peserta yang telah mempersiapkan diri dengan matang.
Ketidaktranspraran nilai hasil ujian menjadi permasalahan kedua pasca pelaksanaan tes peserta KM 7. Hingga saat ini, para peserta belum mengetahui score ujian mereka dari laman MBKM. Hal ini menimbulkan rasa curiga dan gelisah terhadap sistem penilaian yang digunakan.
“Dengan tidak adanya transparasi nilai tersebut pendaftar tidak memiliki kesempatan untuk mengevaluasi kinerja mereka dan memahami area yang perlu ditingkatkan ketika mengambil kesempatan selanjutnya,” ujar Shanty.
Permasalahan Bantuan Biaya Hidup (BBH) Kampus Mengajar 7: Ketidaksesuaian dengan Perjanjian Awal
Program KM 7 merembet pada permasalahan terkait Bantuan Biaya Hidup (BBH) yang diterima oleh para peserta.
Permasalahan ini muncul saat penerjunan telah berjalan kurang lebih dua bulan, bahwa informasi BBH yang semula dikonfirmasi 1,8 juta per bulan turun menjadi 1,5 juta per bulan. Pendanaan tersebut menimbulkan kekecewaan bagi para peserta.
Penurunan BBH secara sepihak tanpa adanya sosialisasi dan komunikasi yang jelas kepada peserta merupakan tindakan yang tidak etis dan tidak profesional. Keluhan tersebut dicurahkan oleh para mahasiswa di laman komentar Instagram @kampusmengajar.
“Gimna ga menyerah BBH bnyk PHP nya” @nrliaa.a_
“Mengajar emg g mudah tpi kalian dgn mudahnya menurunkan BBH” @aulia.ptr
“BBH harus kembali jdi 1.8! BBH harus kembali jdi 1.8!” @selembut_moltoo
Permasalahan BBH juga dibenarkan oleh Keisha mahasiswa Kebijakan Pendidikan angkatan 2022, Universitas Negeri Yogyakarta yang mengikuti Kampus Mengajar 7 di Sleman. Komunikasi dari pihak Kampus Mengajar dengan mahasiswa yang tidak transparan menyebabkan kesalahan informasi yang terus berulang.
“Awalnya juga dibilang BBH nya 1,8 juta per bulan, dipotong jadi 1,5 juta per bulan. Nah 1,5 kalo dua bulan harusnya 3 juta, tapi yang 600 ribunya dibayar nanti, tapi ga tahu kapan,” ujar Keisha.
Keterlambatan Penyaluran Dana Berkesinambungan dengan Banyaknya Program Kerja yang Harus Terealisasikan
Para peserta KM 7 dibebani dengan banyaknya program kerja yang mereka rancang dan disetujui oleh Dosen Pembimbing Lapangan (DPL), guru pamong dan seluruh guru di sekolah dasar yang menjadi tempat penugasan, serta dewan pegawas sekolah.
Hal ini disebabkan program telah berlangsung mulai awal Maret, tetapi penyaluran dana dari pusat mulai terealisasi pada pertengahan April.
Keterlambatan penyaluran dana ini mengakibatkan para peserta KM 7 harus melaksanakan program kerja dengan alternatif pendanaan lainnya seperti kas mingguan maupun sumbangan dari dpl.
Permasalahan tersebut berimbas pada dana kas yang membengkak sehingga pelaksanaan program kerja menjadi terhambat dan belum terealisasikan sesuai rancangan.
“Awalnya (termin 1) orang-orang udah dapat duluan sekitar awal April, tapi dapetnya pertengahan Mei,” ujar Keisha mahasiswa Kampus Mengajar 7.
Jangka Penyaluran Dana yang Tidak Bersamaan: Peserta KM 7 Tidak Dapat Mengoptimalkan Anggaran Dana
Sosiaslisasi yang diadakan oleh Kampus Mengajar, mengatakan bahwa proses pencairan BBH akan dilakukan dua termin. Proses tersebut dilakukan secara berkala yang menyebabkan tidak seluruh peserta KM 7 mendapatkan pencairan dana saat waktu yang bersamaan.
“Untuk pelaksanaan prokernya lumayan bikin macet juga karena hampir semuanya dilimpahkan ke mahasiswa,” ujar Keisha.
Anggaran dana yang belum sampai ke setiap mahasiswa KM berdampak pada terkendalanya program kerja yang akan direalisasikan sesuai matriks. Selain itu, mahasiswa secara mandiri membuat sebuah terobosan tanpa adanya pendampingan dari pihak sekolah sebagai fasilitator tempat KM selama kurang lebih empat bulan.
Transparasi menjadi Akar Penggerak Kampus Mengajar: Harapan Mahasiswa KM 7 untuk Kampus Mengajar Selanjutnya.
Transparasi diperlukan dalam menjamin kebenaran jalannya Kampus Mengajar, mengingat program ini telah berjalan hingga batch ke-7. Alur pendaftaran hingga pelaksanaan program seharunya memiliki akses terhadap informasi yang lengkap dan akurat. Kepercayaan publik terhadap program pun dapat terbangun dengan baik, jika informasi disampaikan secara terbuka dan mudah dipahami.
“Dari awal tuh dipastiin gitu, di platfornya udah dibilang 1,2 juta doang, tapi aslinya 1,8 jt. Ditanyain ke admin Kmnya semua misinformasi,” ujar Keisha.
“Pihak Kampus Merdeka sama universitanya juga harus bagus (menjalin) komunikasinya biar semuanya (program) bisa terlaksana,” sambung Keisha.
Pendapat tersebut juga selaras dengan Shanty yang mengungkapkan adanya peningkatan kualitas program. Transparasi dibutuhkan untuk mencegah terjadinya diskriminasi dan ketidakadilan dalam proses seleksi agar meningkatkan kepercayaan pendaftar terhadap program Kampus Mengajar.
“Pihak penyelenggara bisa memberikan transparasi nilai kepada pendaftar mengenai hasil tes dan performa mereka. Hal tersebut yang dapat membantu pendaftar memahami di mana mereka dapat meningkatkan diri sehingga bisa lebih baik ketika mengikuti tes selanjutnya,” ujar Shanty.
Penulis: Yasminun Ardine Issudibyo
Editor: Salma Najihah