Kritik Sosial dan Lingkungan lewat Pementasan “Nabastala”
Minggu, (15/12/19) KMSI melaksakan Malam Puncak Bulan Bahasa di Laboratorium Karawitan FBS UNY. Selain memberikan kabar gembira untuk para pemenang lomba, KMSI juga menyuguhkan teater surealis berjudul “Nabastala” karya Chikma yang sarat akan makna dan dekat dengan kehidupan sosial.
Nabastala sendiri merupakan naskah drama yang awalnya ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Menulis Drama di prodi Sastra Indonesia. Chikma, selaku penulis naskah, mengaku merasa kaget ketika naskahnya diminta untuk dipentaskan.
“Aku nulis [naskah Nabastala] itu satu tahun lalu, ketika ada tugas kuliah yang namanya Menulis Drama,” ungkap Chikma saat ditanya seusai pementasan.
Ia menambahkan, “Mulai dari itu [mata kuliah Menulis Drama], aku coba mulai nulis drama. Ternyata satu tahun kemudian ada orang yang meminta naskahku. Padahal naskah itu belum aku publish ke mana pun.”
Galang, salah satu pemeran Nabastala mengaku, bahwa persiapan yang mereka lakukan untuk latihan hanya sekitar satu bulan. Selama proses tersebut, terdapat tiga kali bedah naskah dilakukan untuk mencapai kesepakatan bersama.
“Pas latihan tuh jarak sih sebenernya [yang menjadi kendala]. Rumah saya kan bantul, jadi hampir setengah jam lebih kalo mau ke kampus. Terus sekarang kan udah Desember, musim hujan, jadi kendalanya lebih ke cuaca,” Ujar Galang.
Chikma menjelaskan bahwa poin utama yang ingin ia sampaikan ialah tentang kritik sosial dan lingkungan. Beruntung, semua itu tersampaikan kepada para penonton. Salah satunya Ahmad Mahfudi, mahasiswa PBSI.
“Seperti yang dibilang penulis naskahnya tadi, ini kan tentang kritik lingkungan, kritik sosial juga. Pesan dari pementasannya sendiri sudah bisa aku tangkap dari kritik sosialnya, soalnya udah bisa kita lihat kan orang-orang sekarang,” ujar Mahfud.
“Untuk masalah sampah kan memang menjadi problem masyarakat secara umum gitu. Nah menurutku dari pementasan ini seperti diingatkan kembali bahwa masalah sampah juga masalah kita semuanya,” tambahnya.
Dari segi pementasan sendiri, Ahmad menyukai bagian kostum yang menurutnya terlihat mencolok. “Mungkin ketika dari segi persiapan mereka punya waktu yang cukup, dan dari temen-temen juga ada support. Dari produksi dan artistik [seharusnya] mungkin bisa lebih memikat lagi,” Jelasnya.
Seusai pentas, Chikma berpesan kepada penonton, “Sebelum mulai keseluruhan [membersihkan lingkungan], mulailah dari diri sendiri. Untuk mengurangi [penggunaan] apa yang ada di sekitar kita, yang menjadi masalah itu dikurangi. Salah satu caranya dengan menggunakan sedotan besi ketika minum atau mengenakan totebag ketika berbelanja untuk mengurangi sampah plastik yang tak mudah terurai meskipun sudah berusia ratusan tahun.
(Desti/Sandy)