MAHASISWAKU SAYANG, MAHASISWAKU MALANG
Apa yang menjadi tugas utama seorang mahasiswa? Pertanyaan itu dilontarkan oleh seorang kakek tua asal kampung dengan pakaian lusuh, entahlah dia orang yang punya rumah tetap, atau hanya seorang gelandangan yang tak pernah dipedulikan oleh siap
Dengan lagak angkuh sok keturunan aristrokat, gaya petentang petenteng menaikan kerah baju dengan tidak sopan, berdehem-dehem sebentar seperti seorang proklamator hendak memulai orasi, lagaknya saja seperti orator ulung. Baju tak dimasukkan, ada yang sobek sana-sini entah tersangkut dimana. Celana jeans sobek di bagian dengkulnya yang menghitam, kasihan sekali tak punya uang untuk beli yang baru mungkin. Rambutnya kusut, tak keramas berapa tahun entahlah, seperti orang perempuan saja sebahu, lebih baik tersisir rapi, kalau model satu ini awut-awutan.
“Tentu saja bela rakyat seperti aki ini” jawabnya sok mantap, dan meyakinkan, kakek tadi hanya melengos, menatap tak percaya, kemudian sedikit menyindir, beliau bertanya apakah anak muda di depannya itu betul-betul mahasiswa atau bukan. Lha wong punya sebutan maha yang artinya besar begini kok, nggak kaya orang berpendidikan saja. Menghisap rokok sembarangan klepas klepus sesekali terbatuk.
“Kamu ini mahasiswa bukan?”
“Ya mahasiswa lah ki, ini bukti ktp saya di kampus”
“Lha terus kamu bilang membela aki ini apa? Kapan kamu pernah bela aki, kapan?” sampai terbatuk-batuk aki memprotes. Tubuhnya ikut terguncang-guncang. Dalam hatinya menggerutu kepada pemuda di depannya itu. Dia anggap kalau anak sekarang itu sama saja dengan para petinggi negara ini yang hanya bisa ngomong tanpa menyelesaikan masalah.
“Aduh, aki ini bagaimana sih, yang terus-terusan mengawasi pemerintah itu siapa, ki? Ya kita-kita ini?” tiba-tiba dari arah seberang jalan, seorang pemuda lainnya memanggil pemuda di depan aki sambil mengibar-kibarkan spanduk bekas penutup warung mungkin. Anak itu kembali lagi bicara.
“Kalau aki mau bukti, ni lihat saja” katanya sambil berlari.
Aki mencak-mencak juga, sudah tua begini kok diajak ngomongin politik, setengah mengusir dia menyuruh anak itu pergi, dongkol juga dia bahkan sempat menyumpah-nyumpah segala, bukti gudhulmu itu, bisanya cuman mengawasi thok, memang situ mandor apa? Lha mbok ya kerja yang lebih intelek sedikit, daripada hanya sebagai pengawas.
Kakek terus menatap ke arah jalanan itu, ratusan anak muda ter blok menjadi dua, ada yang pro dengan keputusan pemerintah, namun ada juga yang kontra. Suara mereka berbaur bercampur jadi satu tenggelam bersama tuntutan mereka yang entah darimana sumbernya. Mereka membela orang yang entah salah atau tidak, toh kalau pun orang yang di bela tidak bersalah apa untungnya bagi mereka? Apakah para petinggi itu juga akan peduli dengan rakyat seperti kita-kita ini? Dan kenapa juga ada yang menghujat toh belum tentu salah, memangnya para mahasiswa itu tahu sebab musababnya hanya terpancing koar-koar provokator yang tidak beranggung jawab.
“Orang bisanya kok ikut-ikutan, mau-maunya mereka turun ke jalanan yang panas. Memangnya ada yang bayar? Kalau pun di bayar paling dibayar dengan nasi kucing seharga seribu lima ratus rupiah. Orang kok bisanya ngritik, kaya dia itu bisa saja menggantikan tugas orang yang dikritik, lha mbok yo’o jadi orang itu intropeksi sebelum menginterupsi orang lain…!” cerocosnya pada seorang pemulung yang tengah istirahat. Pemulung tadi hanya mengangguk, takut dianggap durhaka kalau menyangkal. Lagian takut juga dia kalau sampai dikutuk batu seperti Malin Kundang di Sumatera Barat.
Belum lagi sempat melanjutkan omelan, dari arah seberang sana terdengar teriakan provokator-provokator kacangan yang saling ejek. Ah itu sudah biasa di Indonesia, gampang sekali terpecah belah. Ada yang jadi kompor bodhol saja, semuanya bisa meledak, lebih hebat dari ledakan tabung elpij ukuran 3 kilogram.
Kakek tua itu hanya mengelus dada. Belum sampai elusan dadanya sampai ke bawah, para mahasiswa yang entahlah kerasukan setan dari mana asalnya itu pontang-panting lari ke sana kemari saling lempar batu sembunyi tangan, saling pukul. Astaghfirullah, sekali lagi sang kakek mengurut dadanya.
Belum hilang keterkejutan kakek tadi, tiba-tiba di jalan, depan dia duduk-duduk sekarang ini mahasiswa-mahasiswa tersebut membakar macam-macam poster, terlibat bentrok dengan aparat, merusak fasilitas publik disekitarnya ketika menolak dibubarkan, beberapa mobil di bakar, kantor pengadilan dilempari menggunakan batu-batu, sebagian lagi menggunakan bom molotov untuk lebih menjadikan suasana. Wah…kakek ini hanya dapat memaki-maki dari tempat dia beristirahat, kemudian teriaknya lantang.
“Woe anak muda edan, tidak eling lagi. Itu katamu yang disebut membela kami? Cih…” dia mulai meludah umpatan-umpatannya sudah tak terkontrol lagi, dia sudah kepalang jengkel dengan para mahasiswa yang seumuran dengan cucunya tersebut. Pemulung yang tadi di dekatnya hanya mampu geleng-geleng kepala “Kalian benar-benar tidak menghargai pendahulu kalian, Bapak seperti ini, itu veteran, jangan main-main”
Lantas saja dia marah. Bagaimana dia tak marah, melihat dengan mata kepala sendiri kalau generasi penerusnya adalah generasi ondel-ondel yang tak punya kemampuan babar pisan. Bagaimana dia tak jengkel, mendengar langsung umpatan-umpatan mereka yang justru memperlihatkan kebodohan dan ketololan mereka? Pakai acara anarkis, merusak fasilitas umum. Apa itu tugas utama seorang mahasiswa? Kemana saja pelajaran yang mereka peroleh dari bangku kuliah, sama saja jadi bedebah.
Benar-benar merasa ngenes, dulu dia dan kawan-kawan berjuang mati-matian hanya untuk mempertahankan kemerdekaan, mempertaruhkan segalanya, harta, nyawa. Tapi apa yang di dapat sekarang, hanya kotoran yang di lempar ke muka sendiri. Anak turunnya justru hanya mampu menjajah bangsa mereka sendiri, dengan dalih demokrasi, revolusi. Apa itu? Bukan begitu demokrasi dan revolusi, itu cermin orang yang tak pernah makan bangku sekolah.
Keringatnya mengucur deras, dari tadi mengacung-acungkan tongkat yang menyangga bentuk tubuh tambunnya. Dia berpikir, tentu akan bangga sekali kalau sampai mampu melihat generasi muda Indonesia membangun negara ini menjadi negara yang lebih maju dan bermartabat, membuat Indonesia setidaknya dikagumi negara-negara sekitar. Dan betapa bangganya juga kalau generasi muda ini mampu berpikir menggunakan otak dan mempertimbangkannya menggunakan hati, daripada mereka-mereka yang berpikir menggunakan dengkul dan mempertimbangkan menggunakan otot. Apaan itu, ini bukan jaman perang bung.
Kalau memang mereka anggap negara ini sudah bobrok, ya pikir bagaimana solusinya agar negara ini kembali menjadi negara yang lurus, bukan malah menambah bobrok dan menyalahkan pemerintah. Apa-apa kok menyalahkan pemerintah, padahal kadang warganya sendiri yang susah diatur. Oh cucuku tersayang, cucu-cucuku yang malang begitu batinnya dalam hati
Oleh: Okta Adetya Kadiv.Litbang dan Jaringan LPPM Kreativa