Advertisement Section

Monolog “Pralambang” Mengajak Kontemplasi

Yogyakarta — Pementasan monolog berjudul “Pralambang” diselenggarakan pada Rabu (25/10/2017) di Gedung Laboratorium Karawitan FBS UNY.

Pementasan ini merupakan hasil kerja sama tiga organisasi, yaitu KMSI, Sangkala, dan Lumbung Artema, dan dibuka dengan pembacaan puisi oleh Allya dan Sodiq.

Menurut Ali Hasan Djimbe, acara ini merupakan sebuah eksperimen untuk perkembangan. “Kita menciptakan sesuatu lagi untuk berkarya,” tutur Djimbe.

Djimbe juga menjelaskan bahwa inti dari pementasan tersebut merupakan ajakan untuk melakukan kontemplasi tentang cara yang tepat untuk menjadi manusia. “Seperti apa sih manusia itu, dan seperti apa pribadi kita,” imbuhnya.

Monolog-Pralambang-Mengajak-Kontemplasi-3
Foto: Cheri Fernisa/Kreativa.

Secara teaterikal, kontemplasi tersebut diwujudkan pertama-tama melalui suasana panggung pementasan yang bertempat di Laboratorium Karawitan, FBS, UNY.

Penataan cahaya yang mampu menciptakan kontemplatif sekaligus sedih. Namun, yang tentu jelas lebih mendukung adalah monolog yang disampaikan tokoh Radiyah (diperankan oleh Rini). Radiyah adalah seorang janda berumur 75 tahun yang hidup kesepian tanpa suami dan anak-anak.

Misalnya, baris ini: “Urip-uripe manungsa pancen aneh, aku ora tau njaluk urip nanging ujug-ujug lair awakku sing tetenger Radiyah liwat palakramane Bapa Biyung.”

Nalar Barat akan mencium nada eksistensialisme dalam frasa “ujug-ujug lair” itu. Terlepas dari kebetulan atau tidak, yang jelas ini adalah salah satu kearifan lokal yang sudah lama dikenal orang Jawa.

Monolog-Pralambang-Mengajak-Kontemplasi-2
Allya membuka pementasan dengan membaca puisi. Foto: Cheri Fernisa/Kreativa.

Selain itu, suara gemericik hujan buatan yang muncul sejak awal mampu menciptakan suasana muram.

“Ini seperti (pertunjukan) realis magis spiritual. Di situ ada interaksi tokoh dengan hujan,” ungkap Sodiq selaku moderator sarasehan yang digelar usai pementasan.

Menurut Sodiq, Rini sebagai pemeran utama mampu membawakan peran Radiyah dengan baik.

“Ia memiliki pengalaman batin dan penokohan sehingga mampu membawa ke dalam setting yang natural,” ungkap Sodiq.

Rini sebagai aktor monolog menceritakan bahwa untuk mencapai suasana sepi yang mendukung pementasan tersebut, ia melakukan observasi terhadap neneknya. “Sedikit-sedikit, melihat ketika Simbah ongkang-ongkang di rumah, ngeteh, gitu,” ujarnya.

Tanggapan penonton cukup baik atas pertunjukan ini. Andiko, seorang mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Jawa, mengatakan, “Teater ini cukup menarik, dan tokohnya sudah menjiwai.” (Nofi Andriyani/Yesi Amalia/Cheri Fernisa)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous post Surat Marteen kepada Ursula di Tahun 1965
Next post Puisi-Puisi Desvandi