NIRMALA
I
“AKU tak ingin menunda kematian lebih lama lagi.” Suaranya berdahak. Kulit di seluruh tubuhnya gosong, retak-retak, dan bau amis menunggangi setiap asap yang keluar dari sana. Dengan disertai erangan, lelaki tua yang tidak diketahui berapa umurnya itu melanjutkan, “Matikan radionya! Lalu sumpal mulut dan kupingku. Lalu keluarlah kau. Biarkan aku sendiri.”
Ni Mangkus mematuhi perintah suaminya yang ingin lekas mati itu, lalu beranjak. Tak ada lagi yang bisa diseka dari matanya. Kering dan merah. Mungkin embun di luar sana bisa meminjamkan air untuk matanya.
Sebagaimana yang kita duga, ia pun membuka pintu, hendak keluar, mencari kesejukan untuk mata dan perasaannya. Tetapi tidak hanya itu yang ia dapatkan. Seretan langkah Ni Mangkus terhenti oleh sebuah dus mi instan di bawah kusen pintu. Ada gerakan-gerakan kecil dari dalamnya. Ni Mangkus merasakan adanya kehidupan. Buru-buru ia buka dus. Ia temukan bayi berwajah merah menangis tanpa suara.
Ni Mangkus mengangkat bayi itu, menularkan sedikit kehangatan dari dadanya yang kempes sambil meneliti sekitar. Tak ada siapa pun di luar, selain angin yang menyeret daun-daun kering di jalan aspal dekat rumahnya. Tak tahulah ia—dari mana asalnya bayi perempuan itu, siapa orang tuanya, atau sejak kapan Tuhan disponsori perusahaan mi instan dalam mengabulkan permohonan hamba-Nya. Yang Ni Mangkus tahu hanyalah—ia kini punya anak.
Ia pandangi mata bayi itu dalam-dalam. Lalu si bayi berhenti menangis—malahan, balas menatapnya. Seolah-olah mereka pernah saling mengenal sebelumnya. Dan ini semakin membuat Ni Mangkus yakin, bahwa anak itu memang dikirimkan Tuhan untuknya. Maka, ia pun buru-buru memilah nama-nama yang tertumpuk dalam pikirannya, nama-nama yang puluhan tahun lalu pernah ia idam-idamkan untuk calon anak.
Ketika Ni Mangkus temukan nama terbaik untuk bayinya, tiba-tiba ia dengar suara dari dalam rumah. Semacam suara orang tersedak, sekali saja. Ia pun masuk sambil menggendong anaknya, memeriksa keadaan suaminya dengan penuh keikhlasan. Dan mengertilah ia, bahwa suara sepele yang ia dengar tadi adalah penutup segala kerumitan derita suaminya yang sebelum-sebelumnya susah mati itu.
II
BERITA duka tersebar lewat megaphone balai dusun. Kita tahu, setelah beberapa jam berlalu, tibalah saat ketika jenazah dikuburkan di kebun belakang rumah Ni Mangkus.
Di sana hanya terlihat dua lelaki penggali kubur yang belepotan, Ni Mangkus, dan seorang bayi dengan senyum mungil di wajahnya. Sepi. Mungkin karena orang-orang di sana rata-rata pendatang, rata-rata masih umur empat puluhan, rata-rata tidak mengenal sepak terjang dukun senior itu pada masa silam. Mungkin juga karena mereka bingung, suami Ni Mangkus agamanya apa. Soalnya tak ada yang pernah lihat dia pergi ke masjid, gereja, atau tempat ibadah lainnya. Padahal, setahu mereka, orang mati harus dimakamkan sesuai agamanya.
Sepinya pemakaman sang suami justru melegakan perasaan Ni Mangkus. Dengan begitu, pikirnya, tidak akan ada yang menggosip tentang jenazah suaminya yang penuh luka bakar, juga tentang bayi perempuan yang digendongnya saat pemakaman. Tapi, Pak Kadus datang kemudian, mengucap bela sungkawa, memohon maaf karena terlambat tiba, lalu memberondongkan pertanyaan ini dan itu. Ni Mangkus baru sempat melontarkan empat patah kata, “Ini anak saya, Nirmala.” Lalu hujan turun, menutup ritual pemakaman itu dengan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Dan semua kembali kepada kehidupan dan kesibukan masing-masing.
III
MULA-MULA dari curhatan Pak Kadus kepada istrinya. Lalu istrinya menularkan ke ibu-ibu pengajian (tentu dengan taburan bumbu tambahan). Maka, banyak ibu-ibu kemudian ikut curiga: kalau bayi yang tak jelas muasalnya itu akan dijadikan tumbal ilmu hitam Ni Mangkus.
Pada malam hari, jika kita benar-benar memperhatikan, sering kali terdengar kidung dari rumah Ni Mangkus. Kidung dengan suara perempuan, tapi, kadang suara lelakilah yang melantunkannya. Sedangkan suara bayi malah tidak pernah kedengaran. Ada yang percaya kalau suami Ni Mangkus tidak pernah benar-benar mati. Ada yang menganggap nyawa suami Ni Mangkus telah ditebus dengan nyawa bayi. Ada juga orang mengaku pernah dengar Ni Mangkus menirukan suara binatang, angin, maupun suara laki-laki untuk mengusir burung-burung di sawah. Dan orang-orang yang belum pernah dengar langsung, kebayakan bilang kalau itu mungkin hanya kidung-kidung dari radio.
Orang-orang penasaran dengan kidung suara lelaki dari rumah Ni Mangkus, penasaran pula dengan hilangnya tangis bayi dari sana. Namun tidak ada yang berusaha membuktikan apa yang terjadi sebenarnya, selain dengan metode: dari gosip untuk gosip. Tak peduli di pasar, di pengajian ibu-ibu, di perkumpulan bapak-bapak—orang-orang terus-terusan bergosip. Bahannya itu-itu saja. Kalau tidak tentang keanehan Ni Mangkus dan almarhum suaminya, ya tentang bayinya. Sampai kreativitas bergosip mereka kering. Dan mereka pun akhirnya bosan sendiri.
IV
NI MANGKUS membesarkan Nirmala dengan segenap keganjilan dan kasih sayang. Sehari dua kali, di hadapan kubur suaminya, ia selalu menyuapi Nirmala dengan air tajin sambil merapalkan kata-kata yang hanya ia sendiri yang mengetahui makna dan maksudnya. Dan Ni Mangkus sendiri mungkin terkejut ketika mengetahui bahwa Nirmala tumbuh berkali lipat lebih cepat dari bayi mana pun.
Tiga bulan setelah hari kematian suami Ni Mangkus, untuk pertama kalinya, pintu rumah Ni Mangkus ada yang mengetuk. Saat itu, Ni Mangkus sedang memarahi anaknya yang diam-diam memakan tanah. Kemarahannya terhenti oleh ketukan pintu. Sementara Ni Mangkus berjalan menuju pintu, Nirmala diam-diam ke belakang rumah, kembali memakan tanah.
Pak Kadus dan dua orang lainnya dipersilakan masuk. Mereka pandang seisi ruang itu sebagaimana pelancong yang mengamati dinding-dinding gua yang asing. Setelah diminta menyampaikan maksud kedatangannya, Pak Kadus memulai perbincangan dengan basa-basi: tentang seni, tradisi, warisan leluhur, museum, dan istilah-istilah yang sesungguhnya kurang dimengerti Ni Mangkus. Basa-basi itu lama-kelamaan merambat menjadi pujian untuk Ni Mangkus dan almarhum suaminya, lama-kelamaan terlihatlah maksud kedatangan mereka sesungguhnya.
Dusun itu akan diproyeksikan menjadi kampung wisata. Dan karena itu, mereka barulah membutuhkan Ni Mangkus, orang yang dianggap paling tua dan paling paham tradisi-tradisi dusun itu pada masa lalu. Ni Mangkus pun kemudian diminta bercerita.
Berkisahlah ia, “Dulu, entah berapa tahun lalu, setiap padang bulan atau panen padi, orang-orang di sini selalu merayakannya: dengan kidung-kidung, dengan limpahan makanan, juga dengan tarian orang-orangan sawah yang kami dandani serupa perempuan. Dulu, suami saya yang dipercaya untuk memanggil ruh Nini dan memasukkannya ke orang-orangan sawah itu. Tapi, karena kami tak punya anak laki-laki, maka kemampuan itu tidak bisa diturunkan.”
Pak Kadus mendesak Ni Mangkus menjelaskan ritual itu sedetail-detailnya, dari syarat-syarat pemanggilan ruh, prosesinya, pakaian yang dikenakan untuk orang-orangan sawah, dan sebagainya. Ni Mangkus menyebutkan detail-detail, sedangkan dua orang yang dibawa Pak Kadus mencatat—seserius laba-laba menyusun sarangnya di sudut atas ruang tamu.
Selepas keterangan Ni Mangkus soal Nini Thowong beres, Pak Kadus bertanya lagi.
“Apakah dulu di dusun ini ada yang membatik? Adakah kegiatan-kegiatan semacam itu?”
“Sebentar.” Ni Mangkus beranjak dari kursi.
Ia mencari-cari Nirmala. Dan ia temukan anak berumur tiga tahun—dengan fisik gadis tiga belas tahun—itu jongkok di kebun belakang rumah.
“Tolong bikinkan minuman. Empat gelas teh panas,” perintah Ni Mangkus. Barangkali ia lupa Nirmala masihlah berusia tiga bulan.
Nirmala mengangguk sambil menyembunyikan sepasang telapak tangannya yang belepotan tanah. Masuklah ia ke dapur seraya membawa beberapa genggam tanah, menaburkannya ke dalam tiga cangkir yang juga terbuat dari tanah, menuangkan air ceret, lalu ia melangkah ke ruang tamu, membawa cangkir-cangkir tanah itu tanpa nampan.
Ketiga tamu Ni Mangkus terheran-heran melihat Nirmala muncul dari balik gorden pembatas ruang tengah dengan ruang tamu. Mungkin mereka bingung mengapa ada gadis remaja asing di rumah Ni Mangkus.
Gadis itu senantiasa merunduk. Rambutnya pendek, hitam, dan berkilauan. Di luar balutan jarit dan kebaya lungsuran Ni Mangkus yang agak kedodoran, kulitnya mengesankan pualam. Ketika Nirmala meletakkan cangkir-cangkir pada meja, Pak Kadus sempat mencuri pandang. Pak Kadus menemukan ada perpaduan warna hitam dan biru pada retina mata Nirmala. Sewaktu Nirmala berjalan balik meninggalkan ruang tamu, saat itulah Pak Kadus menelan ludah. Tak pernah ia menyaksikan langkah dan lenggokan seindah itu, melebihi lenggokan penari mana pun.
“Gadis itu siapa, Ni?”
“Anak saya, Nirmala.”
Pak Kadus semakin curiga dengan jawaban Ni Mangkus. Tentu ia tak percaya. Ia tersenyum aneh, seolah-olah di dalam senyumnya itu terkadung perkataan: Tiga bulan lalu, Ni Mangkus mengaku-aku bayi yang digendongnya waktu itu sebagai anaknya, sekarang dia juga mengaku-aku gadis remaja ini anaknya. Ini ganjil.
“Apa masih ada yang ingin Bapak sampaikan?” tanya Ni Mangkus.
“Sudah, Ni.” jawab Pak Kadus latah. Ia hampir-hampir mengangkat cangkir dan meminumnya, namun ketika merasakan bulir-bulir tanah di gagang cangkir itu, ia meletakkannya lagi. “Tapi kalau besok-besok perlu bantuan lagi, kami akan kemari.”
Sebelum berpamitan, ketiga lelaki itu menyeret sekarung beras, gula, dan teh yang mereka taruh di teras, lalu memberikannya kepada Ni Mangkus sebagai ucapan terimakasih atas informasi darinya.
V
DUA minggu kemudian, setelah rencana Pak Kadus mulai tertata, ia pun kembali bertamu ke rumah Ni Mangkus. Sendiri. Ia minta tolong Ni Mangkus untuk membuatkan puluhan orang-orangan sawah lengkap dengan sandangan-sandangan yang bervariasi. Ia siap memberikan dana, tenaga pembantu, atau apa saja yang dibutuhkan Ni Mangkus untuk menyelesaikan tugas itu.
Ni Mangkus menyebutkan apa yang ia perlukan. Pak Kadus mencatatnya.
Kemudian Ni Mangkus bertanya, “Lalu siapa yang akan jadi pawangnya?”
“Sudah ada. Sudah kami siapkan, Ni.”
Nini tak memberi tanggapan. Beberapa saat hening. Kemudian Pak Kadus, menyampaikan permohonannya yang lain.
“Bagaimana jika rumah Ni Mangkus dijadikan museum? Ini akan berguna bagi generasi muda. Nanti, kalau Nini berkenan, kami akan bangunkan rumah yang baru, yang lebih modern. Bagaimana?”
“Tidak.” Ni Mangkus menjawab mantap.
Pak Kadus tak berkutik, keki. Ia susun siasat cepat-cepat dalam diamnya. Nirmala muncul membawa segelas teh. Siasat Pak Kadus langsung buyar saat ia lihat dada gadis itu jauh lebih matang dibanding dua minggu lalu. Jarit dan kebaya yang dipakainya sudah tidak kedodoran lagi.
“Ini Nirmala yang kemarin?”
Ni Mangkus diam saja. Mungkin sudah malas bicara.
Merasa sudah tidak terlalu diperhatikan, Pak Kadus segera mengakhiri pertemuan itu. “Baiklah kalau demikian, Ni. Besok pembuatan orang-orangan sawah sudah bisa dimulai. Nanti orang-orang saya akan ke sini untuk mengantarkan bahan-bahan yang Ni butuhkan. Saya pamit.”
VI
BISA kita saksikan, dusun itu kini terlihat lebih berwarna. Pohon-pohon yang berjajar di pinggir jalan, seluruhnya dipasangi orang-orangan sawah dengan berbagai kostum, berbagai wajah. Karenanya jadi terlihat khas dibanding dusun-dusun sekitarnya.
Tepat di hari ketika seluruh orang-orangan sawah terpasang, Ni Mangkus meninggal. Tak ada yang sungguh-sungguh tahu sebab meninggalnya. Dari penuturan dua penggali kubur Ni Mangkus, mereka mengaku didatangi Ni Mangkus sehari sebelum nenek itu meninggal.
Salah seorang tukang gali kubur menirukan ucapan Ni Mangkus, “Besok sore kalian datanglah ke rumahku. Aku sediakan duit di meja tamu. Pintu tak dikunci. Dan kalau besok aku mati, kuburkanlah di sebelah kuburan suamiku.”
Ketika mereka datang ke rumah Ni Mangkus, nenek itu sudah terbaring di kursi ruang tamu. Tak bernapas.
Pemakaman Ni Mangkus berlangsung ramai, terutama karena kedatangan para bapak-bapak. Banyak orang yang ingin melihat perempuan ganjil itu untuk terakhir kalinya. Dan berharap bisa melihat Nirmala, gadis cantik bermata biru yang sering mereka dengar dari Pak Kadus. Namun, tak ada gadis cantik di pemakaman itu.
VII
SETAHUN setelah kematian Ni Mangkus, dusun itu menjadi begitu terkenal. Banyak pelancong lokal maupun manca yang datang untuk menyaksikan tarian Nini Thowong. Mula-mula turis dibawa untuk melihat museum yang berisi barang-barang antik: luku, pacul, lesung, kendi, radio, dan lain-lain. Lalu mereka dibimbing untuk menirukan guide bersenandung di dekat dua makam belakang museum.
Di sana pula, seorang warga dusun yang didandani selayaknya pawang berlagak membaca mantra-mantra untuk memanggil ruh Nini Thowong. Lima bapak-bapak muda mulai menimbulkan bunyi-bunyi dengan menumbuk lesung. Empat ibu-ibu berkerudung sudah siap dengan sebuah boneka Nini Thowong yang mereka pegang bersama-sama. Para turis menyalakan handycam. Boneka Nini Thowong digerak-gerakkan ibu-ibu berkerudung, dibuat seolah terasuki ruh dan menari-nari sendiri. Begitulah yang disajikan setiap kali turis datang.
Ketenaran dusun itu pun ikut melambungkan nama Pak Kadus. Kita lihat wajah Pak Kadus lantas sering muncul di koran lokal maupun nasional, youtube, hingga acara horor televisi. Ia disanjung-sanjung sebagai sosok yang patut ditiru oleh pemimpin-pemimpin lain.
Saking bangganya, hampir tiap hari Pak Kadus jadi suka menonton rekaman-rekaman video yang ada gambar dirinya. Ia ulang-ulang terus. Sampai ia hafal betul dengan kontennya, alurnya, juga lirik-lirik senandung yang ia karang sendiri. Karena hampir bosan dengan kegiatannya memuji diri sendiri itu, Pak Kadus kemudian (tanpa sadar) mulai rajin menyebutkan nama-nama orang yang muncul di video rekaman sambil menunjuk ke layar tab.
“Pak Tohir!” Ia menunjuk. “Istriku!” Ia menunjuk lagi. “Ni Mangkus!” Ia menunjuk nenek bermata biru. Terkejutlah ia dengan ucapannya sendiri. Tab-nya yang memuat video itu pun jatuh ke lantai.
“Bukannya Ni Mangkus matanya coklat? Bukannya sudah meninggal?” Ia yakinkan dirinya sendiri. “Nirmala?” [*]
M. Qadhafi