Oka Rusmini Wujud Pemahat Kisah Perempuan Bali
Kau belum jawab pertanyaanku. Seperti apa perempuan cantik itu. Apa seperti bongkahan kayu beringin ini? Dingin, tapi mampu memikatku.- (Pemahat Abad dalam Sagra, 2017: 139)
Potongan kalimat tersebut merupakan pertanyaan Oka Rusmini dalam membangun cerita Pemahat Abad, salah satu cerpen dalam buku “Sagra”. Setelah membaca “Sagra” milik Oka Rusmini, pembaca tentunya tahu bahwa perempuan adalah topik pembicaraan dalam kumpulan cerpennya.
Selain itu, lingkaran pikiran pembaca akan langsung tertuju pada tiga topik yaitu perempuan, Bali, dan kasta ketika melihat isi dan bahasa yang digunakan.
“Sagra” terdiri dari 11 cerpen milik Oka Rusmini. Berisikan cerita pendek yang mengisahkan mengenai kehidupan perempuan Bali yang terkukung oleh adat. Hal ini sangat khas dari Oka Rusmini, ia kerap mengangkat tema tersebut dalam karya-karyanya.
Meskipun berlatar di Bali dan menguak adat Bali, namun apa yang digambarkan secara gamblang oleh Oka Rusmini adalah gambaran bagaimana perempuan terepresi oleh adat patriarki.
Sebelas cerpen dalam bukunya tersebut diantaranya, Esensi Nobelia, Kakus, Harga Seorang Perempuan, Sepotong Kaki, Pesta Tubuh, Api Sita, Sagra, Ketika Perkawinan Harus dimulai, Pemahat Abat, Putu Menolong Tuhan, dan Cenana.
Cerita pendek berjudul Sagra adalah judul besar yang menjadi cermin Oka dalam buku ini. Sagra mampu mengusung ketiga topik yang ingin dibawakan Oka, yaitu perempuan, Bali, dan kasta.
“Luh Sagra” merupakan tokoh perempuan yang mengalami ketertindasan karena kastanya yang sesungguhnya sengaja dirahasiakan oleh ibunya.
Pengembangan ide Oka Rusmini sangatlah kritis. Oka merupakan salah satu penulis yang berani mengangkat masalah-masalah sosial di lingkungannya, yaitu Bali.
Masalahtersebut ia ungkapkan secara gamblang, namun tetap dengan gaya bercerita khas Oka yang menyelipkan bahasa Bali di dalamnya.
Oka tidak datang dengan ide surealis maupun penuh dengan imajinasi. Melainkan masalah-masalah yang selama ini ada di Bali berusaha untuk diungkapkannya melalui konstruksi baru.
Ia membangun sebuah penceritaan dengan masalah yang telah ada dengan menambah perempuan sebagai topik yang menjadi unsur penciptaan karyanya.
Alur yang digunakan Oka selalu maju mundur (campuran). Bahasa yang digunakan tidak hanya bahasa Indonesia saja, Oka menyelipkan beberapa kata dalam bahasa Bali. Hal menarik dari buku Oka terletak pada bagian belakang. Terdapat glosarium dari bahasa Bali yang digunakannya dalam 11 cerita pendek tersebut.
Tak hanya sampai di sana, terdapat beberapa cerpen yang mengaitkannya dengan tokoh kerajaan. Sebut saja cerpen “Cenana”, Oka menggabungkan kisah Ken Arok dan Ken Dedes dengan permasalahan yang akan ia ceritakan tentang kekayaan griya.
Dapat dikatakan bahwa Oka menjadi salah satu penulis yang mampu membangun cerita dengan elok layaknya pemahat yang memahat patung yang kaya dengan perspektif indahnya masing-masing.
“Apakah hidup akan menyisakan sepotong kecil, seukuran kuku kelingking, sedikit saja, keinginanku yang bisa kutanam dan kusimpan sendiri? Hyang Widhi, apakah sebagai perempuan aku terlalu loba, tamak, sehingga Kau pun tak mengizinkanku memiliki impian? Apakah Kau laki-laki? Sehingga tak pernah Kau pahami keinginan dan bahasa perempuan sepertiku?” – Sagra
Dari sampul buku ini, saya akan mengatakan bahwa Oka Rusmini memahat keindahan karyanya dengan wujud pengorbanan perempuan. Suatu keindahan yang menyedihkan dengan gamblang diceritakannya. Perempuan, kasta, bahasa perempuan, impian dan Bali akan benar-benar membuat gila.***