Perasaan yang Berujung pada Keegoisan
ĢU”Sha, Kinan itu sahabatku dari kecil. Kita bener-bener sahabatan, Sha. Aku bahkan menganggap dia kayak adek aku sendiri.” Agam menggenggam tangan yang berada di atas meja kayu. Ia mengelus permukaan kulitku, yang kemarin ia bilang terasa begitu halus.
“Aku tau, Agam.” Sial, suaraku bergetar. Semakin kutunddukkan lagi.
Masalah dalam hubungan kami itu-itu saja. Tak pernah berubah. Tentang Agam yang memiliki prioritas lain. Juga tanggal Kinan yang selalu menjadi alasan dari batalnya rencana-rencama kami.
“Sha, maaf. Kinan drop lagi. Aku gak bisa pergi.”
“Sha, besok aku mau nemenin Kinan check up. Nontonnya minggu depan aja ya?”
“Kamu hati-hati ya, pulangnya. Maaf aku belum bisa nganter kamu,
“Maaf, Sha. Aku gak bisa jemput kamu. Barusan Kinan minta jemput, dia baru aja pulang dari rumah Omanya. Kamu naik taksi aja, ya?”
Beberapa pujian dari Agam berputar di sekeliling. Sudah setahun berubah kami bersama tapi Agam pernah ada. Aku tak melarangnya untuk tetap menjadi Agam sahabatnya Kinan, tapi apa aku salah jika juga ingin diprioritaskan?
“Hei, kamu menangis ?” Salah satu tangan Agam terangkat untuk menghapus air mataku.
Masih dalam posisi, aku goyang pelan. Berpikir tentang kata-kata seperti apa yang bisa aku utarakan untuk saat ini.
“Aku….” .selalu saja saja .
“Sha, aku cinta sama kamu. Tapi di sisi lain juga ada Kinan yang harus aku jaga, aku bingung. Aku minta maaf selama ini belum bisa jadi pacar yang baik, yang bisa selalu ada di saat kamu butuh. Agam minta maaf. Sha. ” Suara Agam terdengar begitu pelan, apalagi jika menggunakan namanya sebagai penunjuk dirinya sendiri.
“Jangan pergi, Sha. Jangan nyerah. Sha itu cintanya Agam. Cuma Sha. Jangan tinggali Agam,” lanjut Agam dengan suara yang lebih pelan lagi meski suaranya sedikit tenggelam posisi kami saat ini.
Pundakku yang terbalut kaos hitam khas baju rumahan terasa basah. Agam menangis? batal, Agam menangis lagi?
Aku menghela napas panjang. Kalau sudah begini mana mungkin aku tega untuk mengatakan kata pisah.Bagaimana pun saya sangat mencintai Agam. Di lingkungan yang ku huni saat ini, hanya Agam yang menerimaku lengkap dengan rasa cinta darinya untukku. Meski aku sudah sangat-sangat lelah, tapi mau bagaimana lagi.
Kami saling bertatapan. “Lain kali jangan gitu lagi ya, Agam. Walaupun aku gak pe–”
“Sttt, kamu penting, Sha. Terlalu penting buat aku.” Jemari agam menyentuh bibirku ketika dia mengatakan aku penting untuknya.
“Iya, Agam.”
Sakit itu seperti sakit-sakit biasanya. Agam ke rumah, meminta maaf, menangis lalu mengungkapkan cinta, dan … ya. Sakit-sakit yang lalu berulang lagi. Tapi semoga saja Agam berulang kali tidaknya lagi.Tidak lagi dipermasalahkan karena harus memprioritaskan Kinan.
Dan semoga saja setelah Agam pulang tak ada lagi hadiah boneka tertusuk paku dengan darah manusia di sekujur tubuh boneka itu.
BACA JUGA: Kirim Tulisan
***
Pagi ini saya datang lebih pagi dari biasanya, tentu saja karena jadwal piket yang telah ditetapkan oleh wali kelas kami. Aku berjalan di koridor sambil memperhatikan beberapa siswa lain yang juga datang cepat hari ini.
Semua baik-baik saja, s ampai di detik ke lima melihat ke arah yang salah. Kelasku–sebagai anak IPS, berada setelah kelas anak IPA jika ditinjau dari gerbang sekolah. Maka dari itu bila ingin sampai ke kelas harus melewati kelas Agam dan juga Kinan–yang notabenenya adalah anak IPA.
Langkahku ketika mendengar suara yang begitu sering kudengar. Aku mendekati pintu kelas XI IPA 1 yang membentuk sudut 45 derajat.Tidak benar-benar berada di depan pintu coklat yang dilapisi cat coklat tua itu, hanya berada di balik dinding putih kelas Kinan. Dengan jemari yang masih menggenggam erat tas ransel biru muda yang berada di kedua sisiku, mataku mengamati isi kelas, kumiringkan sedikit.
“Tapi hari ini aku ada janji mau nemenin Sha beli buku.”
“Itu Agam?”
“Kamu mau aku–”
“Ya udah, iya.”
Aku tanpa kedua alis tebalku. Kesal sendiri mendengar percakapan antara Agam dengan Kinan. Tapi, tunggu dulu. Maksudnya kinan apa? ada yang tidak beres. Dan aku akan mencari tahunya sendiri, karena tahu bertanya pada Agam pasti tak akan membantu apapun.
Aku segera melanjutkan langkah kakiku menuju kelas XI IPS 1–kelasku. Meski dengan beribu tanya yang mengitari pikiran.
***
Bel istirahat telah berbunyi sejak tadi. Dan sekarang kantin sedang dipenuhi oleh suara siswa-siswi. Ada yang datang hanya untuk sekedar minum, ada yang datang untuk berburu makanan, dan ada juga yang datang untuk sekedar duduk karena sudah membawa bekal di tangan mereka.
“Kamu mau pesen apa, Sha?”
Aku melihat beberapa gerai yang berada di kantin. “Sama aja sama kamu, Gam.”
“Oke,” jawab Agam singkat.
Agam segera memesan makanan serta minuman untukku juga untuknya. Sedangkan aku bergerak untuk mencari bangku yang bisa dibeli oleh kami. Beruntung, beberapa bangku paling pojok terlihat kosong. Segera kududuki salah satu bangku itu. Aku dan Agam, bukan anak yang suka berada di tengah keramaian.
Tak butuh waktu lama Agam menghampiriku dengan senyum yang sumringah di wajahnya. Aku membalas senyumnya.
“Makanannya mana?” bertanya saat melihat Agam datang dengan tangan kosong.
“Sebentar lagi di antar, Sayang.”
Aku sedikit tersipu mendengar panggilan sayang. “Apaan, sih?”
“Sok-sok apaan sih. Tapi pipinya merah.” Agam sambil tertawa mengelus pipiku– yang memerah.
“Ih, enggak ya!” aku mendelik.
“Permisi, ini pesanannya. Dua mie bakso dan dua teh manis dingin,”
Ia mulai menyusun makanan serta minuman yang tadi dibawanya. “Selamat menikmati,” lanjutnya setelah semua makanan dan minuman tertata rapi di atas meja.
“Makasih, Pak.” Agam dan aku membalas ucapan Pak Mamad dengan senyum yang menyertai kalimat kami.
Aku dan Agam mulai makan dalam suasana hening. Sampai saat mie baksoku tersisa setengah, Agam membuka suara.
“Sore ini, kamu jadi mau beli buku?”
Aku menetralkan wajah dan suaraku sebelum berkata, “Iya. Kamu jadi nemeni aku, ‘kan?”
Aku mulai mengaduk-aduk asal mie bakso yang tersisa setengahnya.
“Kamu pasti ada urusan lain sama Kinan dan gak bisa nemeni aku.” Aku menghela napas sebelum akhirnya melanjutkan kalimatku.
“Aku ngerasa kalo sebenernya aku yang jadi penghalang hubungan kamu sama Kinan. Sejak ada aku sama Kinan pasti jadi gak punya waktu lebih dari sebelumnya.”
Agam pasti tahu mana pembicaraanku.
“Sha, jangan gitu.”
“Kenapa?” Aku bertanya dengan wajah nanar.
“Ya udah. ​​Nanti setelah ke rumah sakit jadi, ya, temeni kamu ke toko buku.” Agam mengurai senyum yang senyum itu juga tertular.
“Beneran? Bagaimana sama urusan kamu sama Kinan?”
Agam hanya tersenyum saja. Melanjutkan suapan baksonya yang juga tersisa setengah seperti punyaku.
***
Hari ini begitu menyenangkan. Aku pergi membeli buku ke toko buku bersama Agam. Tapi tak sampai disitu saja. Setelah selesai membeli buku kami tak lanjut pulang. Agam mengajakku ke taman yang berada di dekat toko buku itu.
“Ih ada ayunan, Agam. Ke sana, yuk!” Aku langsung menarik tangan Agam tanpa menunggu jawaban dari mulutnya. Lelaki bertubuh jangkung itu hanya pasrah dengan senyum di wajahnya.
Aku segera duduk di salah satu dari sua ayunan yang kosong. “Agam kamu gak kamu duduk di situ?” tanya sambil menunduk ayunan di sampingku.
Agam goyang. “Kamu tunggu di sini jangan kemana-mana, ya.”
“Kamu mau kemana?”bertanya sambil menyelipkan anak rambut ke daun telinga.
“Sebentar aja.”
“Jangan tinggalin aku di sini sendiri, Agam tertawa memilih. “Kamu itu paling sering baca novel.”
Aku mulai bermain ayunan dengan pelan. Sambil melihat sesuatu. Kalau dipikir-pikir, baru kali ini Agam lebihku dibanding Kinan. Senang Rasanya , egoku sedang bersuka cita sekali.
Tapi di sisi lain aku juga terpikir hal lain. Perihal perkataaan Kinan tadi pagi. Perkataannya yang disela oleh Agam saat aku tak sengaja menguping percakapan mereka.
Tiba tiba gula kapas berwarna merah muda warna kesukaanku, berada tepat di depan.
“I love you,” bisik seseorang dari belakang.
“Agam… ih.” Aku sedikit merengek manja. Agam belum pernah semanis hari ini. Mungkin dia seperti ini karena ide kami bangun.
“Nih, makan. Kamu kan suka warna pink jadi pasti suka sama kembang gula kayak gini.” Ia menyodorkan apa yang tadi dibawanya.
Aku mulai memakan kembang gula itu. Sedangkan Agam memainkan rambut panjangku.
“Aku sayang sama Kamu, Sha. Maaf ya, aku belum bisa jadi pacar kayak yang kamu mau.”
Aku membalasnya. “Kamu itu yang terbaik. Kamu yang aku mau. Aku juga sayang kamu.”
Sakit itu terasa… indah sekali.
***
Malam ini, aku sedang memasak di dapur.Hanya memasak nasi goreng saja karena aku tidak bisa memasak yang macam-macam. Beginilah nasib jauh dari orang tua. Harus mandiri. Lagi pula, lebih baik jauh seperti ini jika kenyataannya aku adalah anak yang tak diharapkan.
Ketika sedang mengaduk nasi goreng, terdengar kegaduhan dari arah pintu keluar, a da seseorang yang masuk. Tapi aku sudah mengunci pintu?
Aku meletakkan spatula di atas kuali yang dipenuhi oleh nasi. Aku harus mengecek. Tapi ketika aku berbalim badan, aku terkejud bukan main.
“Kerabat?”
Dengan arah sekitar dua meter dariku, bisa Kinan salah satu tangan Kinan berada di balik punggungnya seperti sedang membuat sesuatu, dan tangan lainnya sedang menggenggam tertusuk paku dengan sekujur tubuhnya. Dan … ah, astaga!
Darah itu berasal dari dia.
“Eh, aku terciduk?” Suara Kinan terdengar begitu seram.
Ia maju satu langkah. “Tadinya aku cuma mau sekedar teror kamu pakai boneka ini biasanya. Tapi karena kamu sudah tahu siapa aku sebenarnya, Ya sudah lah. Sudah ditanggung juga.”
Aku menahan takut yang mendera. Saat ini, Kinan seperti monster.
“Tangan kiri kamu?”
“Kamu mau tau aku bawa apa di belakang punggung aku?”
Aku mengangguk gagu.
“Yakin?”
Aku mundur sedikit. Menyesal juga bertanya. Harusnya aku lari saja. Tapi jarakku dan Kinan sudah sedekat ini. Pasti akan sangat susah jika ingin lari dan pergi darinya.
Aku sangat takut saat ini.
“Yakin, Sha pacarnya Agam?” tanya Kinan sambil menekan tiga kata terakhir.
Ia maju tiga selangkah. Memunculkan pisau pemotong daging yang tajam, lalu mengarahkan pisau itu menyambar kedua tangan yang berada di sisi kanan dan kiriku.
Semua terjadi begitu cepat. Kin pahaku kedua tanganku dan menyisakan luka-karena saat itu aku berada di sebelah mataku.
Darah mengucur begitu hebat. Aku sangat-sangat terkejut. Isakku mulai memenuhi ruang dapur.
“T-ta….”
Kinan semakin dekat. Ia bahkan sekarang berada di sampingku. Gadis mungil itu mencampakkan panci berisi nasi goreng sehingga menimbulkan bunyi nyaring.
“K-ki.”
“Diam!” Suaranya begitu tegas.
Aku benar-benar bingung dengan semuanya. Kuperhatikan kedua tangannku yang sudah menyentuh lantai. Tangisku benar-benar pecah.
“Kalo muka lo hancur. Pasti Agam gak sukak lagi sama lo!”
Di tarik dengan paksa leherku, dan ia mendorong. Berusaha mempertemukan api kompor yang masih menyala. Aku sangat lemas. Jadi tidak bisa melawannya.
Rasanya wajah terbakar seperti apa, aku salah satu orang yang tahu bagaimana rasanya.
Di detik selanjutnya, aku sudah tak sadarkan diri. Sudah kehilangan kedua tangan, kehilangan bentuk wajah, dan mungkin juga kehilangan nyawa.