Advertisement Section

Permainan Simbol Dalam Pentas KRS

Yogyakarta – Minggu malam (13/05), kelompok Kajian dRama Sasindo (KRS) mempersembahkan pentas “Ke mana Anak-Anak Itu” di Laboraturium Karawitan, Fakultas Bahasa dan Seni, UNY.

Pementasan ini sekaligus menjadi penutup “Parade Siakad”, rangkaian pementasan drama sebagai tugas mata kuliah Kajian Drama mahasiswa program studi Sastra Indonesia angkatan 2015.

Pementasan  “Ke mana Anak-Anak Itu” mengangkat pendidikan sebagai tema utamanya. Semula, pementasan drama ini terinspirasi dari sebuah puisi karya Emha Ainun Najib.  Puisi karya Emha yang mempunyai judul sama dengan judul pementasan drama KRS itu kemudian digali kembali oleh anggota kelompok.

“Jadi pementasan ini terangkum dari puisi karya-karya Emha, lalu tembang ilir-ilir, dan juga teman-teman dari satu kelas,” papar Fahri Zulfikar, selaku sutradara.

Foto: LPPM Kreativa

Pentas yang berlangsung selama lebih kurang dua jam ini mengusung konsep yang berbeda dari dua pementasan sebelumnya. Apabila kelompok KHS memilih cara penyajian realis dengan “Nenek Tercinta”, kelompok DHS surealis dengan “Dunia Seolah-Olah”, maka KRS menggabungkan keduanya.

“Konsep pertunjukannya, saya ingin menabrakkan konsep realis dengan surealis. Sebenarnya bukan surealis, sih. Lebih ke absurditas, yaitu kita mengedepankan simbol-simbol,” terang Zul.

Tata panggung memang didesain secara apik dan sarat akan simbol. Zul menjelaskan, panggung atas didesain penuh warna sebagai lambang “heterogenitas” yang merupakan ciri anak-anak zaman sekarang. Sedangkan, panggung bawah didesain sederhana dengan menonjolkan suasana pedesaan untuk melambangkan “homogenitas” anak-anak desa.

Uniknya, setiap transisi antara dua panggung itu akan terdengar bunyi terompet, seperti kentongan dalam pertunjukkan kethoprak. Detail penggunaan lighting juga diperhatikan dalam pementasan ini, seperti penggunaan lampu hijau untuk menujukkan tokoh yang telah meninggal.

Terhadap pengemasan pementasan yang sarat akan simbol ini, salah satu penonton memberikan tanggapan. “Ada adegan-adegan tertentu yang aku bertanya-tanya, loh ini maksudnya gimana sih? Jadi konsentrasiku masih terpecah,” jelas Indah Mutiara, mahasiswi jurusan Pendidikan Bahasa Daerah. Saat ditanya mengenai kesan terhadap pementasan, Indah menjawab, “Bagus, sih. Padet, nggak bertele-tele. Terus pesan moralnya dapet.”

(Titis Erika/Nadhila Hibatul)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous post Perkumpulan Seni Sastra Mbeling Pentaskan Klitih
Next post Aksi Menolak Teror di Surabaya dalam Kirab Budaya