Rendra, dan Jalan yang Ia Tempuh untuk Kebebasan
Putu Setia, sedang menunggu giliran masuk Istora Senayan. Ditanganya sudah ada selembar undangan untuk menonton pertunjukkan baca puisi oleh W.S Rendra.
Ia beruntung tak perlu mengeluarkan kocek untuk menonton Si Burung Merak, membaca puisi karena memegang undangan untuk wartawan. Konon, harga untuk menonton pertunjukkan itu bisa mencapai Rp100.000 untuk setiap orangnya karena maraknya calo tiket.
Untuk nilai mata uang di tahun 1986, Rp100.000 demi menonton pertunjukkan seni adalah harga yang kelewat mahal. Penontonnya pun dapat ditebak, yakni kalangan menengah atas yang punya kantong lumayan tebal.
Dalam laporannya, Yang Mengantar Seniman ke Pasar, terbit di Majalah Tempo edisi 19 April 1986, Putu Setia menggambarkan suasana halaman parkir Istora, bak pameran mobil mewah.
Bermacam merk mobil berjajar rapi, mulai dari BMW, Mercedez, hingga Volvo. Belum lagi kendaraan bermotor lain yang juga menghias sekitar Istora.
Suasana pengunjung di pelataran Istora yang meriah, rupanya tak terjadi di dalam gedung. Dari total 15.000 kapasitas Istora saat itu (sekarang 7.166 setelah renovasi), hanya 3.000 kursi yang terisi.
Perbedaan suasana ini tak lain karena banyak penggemar seni berkantong cekak, yang tak bisa masuk ke dalam gedung. Banyak dari mereka hanya bisa lalu lalang di luar gedung sembari berharap pengeras suara di Istora bisa terdengar sampai luar gedung.
Atau Rendra, yang melihat banyak kursi kosong sadar, bahwa diluar masih ada banyak orang yang ingin mendengar ia membacakan puisi.
Namun, harapan itu tak pernah terjadi. Di panggung, Rendra, telah beraksi sedemikian rupa. Menampilkan ekspresi, yang disebut Salim Said, yang juga hadir dalam pertunjukkan itu sebagai “Kucing Liar”.
Sorot lampu yang juga jadi bagian pertunjukkan, juga tak bisa disaksikan mereka yang berada di luar tembok Istora.
Pendek cerita, Rendra tetap tampil prima dihadapan orang-orang yang tak begitu paham soal seni, tetapi punya uang untuk menanggapnya.
Kepada Putu Setia, yang dikutip dari Majalah Tempo, Rendra berujar pihak penyelenggara sempat memintanya pura-pura sakit supaya pertunjukkan dapat ditunda. Hal ini demi menunggu penonton lebih banyak yang masuk ke dalam Istora.
“Ditonton beberapa orang pun, saya tetap main,” kata Rendra, “Dulu saya sering membaca sajak di depan sepuluh orang,” ceritanya.
Sementara Rendra, sudah memulai pertunjukkannya, orang-orang masih mencari cara untuk membeli karcis. Mereka yang datang bersama teman-temannya, mencoba patungan untuk membeli selembar kertas masuk gedung.
Bagi orang yang beruntung untuk menyaksikan pertunjukkan Rendra secara langsung, wajib hukumnya untuk merekam secara detail jalannya pertunjukkan di dalam ingatannya, dan menceritakan ulang kepada koleganya yang ikut iuran.
Di titik ini, Putu Setia, tak lain dengan orang-orang yang berkantong cekak. Sebagai wartawan, ia punya keistimewaan untuk menonton secara gratis. Namun, karena dia juga seorang wartawan, maka harus membuat laporan seperti penonton yang tak punya cukup uang di atas.
Bagi yang tak dapat menyaksikan secara langsung, tak keberatan hasrat untuk melihat aksi Si Burung Merak, dihalangi biaya yang mahal. Tak mengapa, sebab ia masih dapat melihat Rendra lewat khayalan.
Toh, masih ada banyak koran yang masih bisa mereka baca keesokan harinya, dilampiri sepotong gambar Rendra.
Rendra pun tahu betul banyak orang tak bisa menyaksikan dirinya karena karcis yang mahal. Tapi, dia tak punya pilihan lain kecuali membiarkannya terjadi.
Untuk sekali manggung, Rendra mematok harga Rp3.000.000 dengan durasi pertunjukkan sekitar 2 jam. Hal itu tak bisa ditawar, karena dia tidak datang ke panggung seorang diri.
Uang bayaran dari pertunjukkannya ia gunakan untuk menghidupi murid-muridnya di Bengkel Teater, tempat banyak orang yang ingin belajar perihal seni pertunjukkan berkumpul.
Bagi Rendra, berkompromi dengan pemilik modal adalah pilihan paling masuk akal. Ia sebetulnya bisa menggelar pertunjukkan lebih murah, dengan menggandeng pemerintah.
Namun, hal itu membuat pertunjukkannya jadi terbatas. Setiap pertunjukkannya harus lebih dulu lulus sensor pemerintah Orba, yang punya gunting tajam.
Kepada Tempo, ia mengaku tak keberatan berkomplot dengan pemilik modal, karena mereka memberinya lebih banyak kebebasan.
“Saya tidak takut kepada para pedagang. Mereka lebih baik daripada birokrat seni yang selama ini banyak mengatur kesenian kita,” tutur Rendra dikutip dalam Rendra, Penyair 12 Juta, Bisnis Seniman Menyerbu Pasar yang terbit di Majalah Tempo edisi 19 April 1986.
Pemodal, bagaimanapun tetap memberikan kebebasan berekspresi dan membuat seni jadi layak jual. Sementara pemerintah (dalam konteks Rendra adalah Orba), banyak mengekang kebebasan, mulai dari sastra, seni pertunjukkan, dan siaran televisi. [redaksi]
– – – – –