Selalu Ada Perihal Baik bagi Siapa Saja yang Berusaha
Siang itu memang matahari sangat terik. Wajah kusamnya mulai terlihat basah oleh keringat yang sedari tadi menyapu keriput kulit tuanya. Tak tahan dengan teriknya matahari hari itu. Sesekali ia harus berhenti sejenak menyenderkan tubuh yang letih di bawah pepohonan besar yang rimbun nan sejuk.
Seketika ia mengistirahatkan tubuhnya sambil meratapi sepedanya yang usang dengan membawa panci dagangannya di belakang. Ia teringat belum menjumpai satu pun pembeli sedari tadi. Dagangannya belum laku terjual. Disaat yang bersamaan, ia membayangkan melihat wajah istri dan anaknya yang sedang menunggu ia pulang.
Keringat itu membasahi sekujur tubuhnya. Ia menyeka dengan handuk yang sehari-hari selalu ia gantungkan di lehernya. Kemudian, kembali mengayuh sepedanya dengan penuh harap menjumpai pembeli. Desa demi desa ia singgahi. Namun, belum menjumpai satupun pembeli.
Baca juga: Tips Naskahmu Cepat Dilirik Penerbit!
Rasa lelah yang ia rasakan sedari tadi tidak boleh sia-sia begitu saja. Ia harus pulang dengan membawa rupiah untuk anak dan istrinya. Hanya itu yang selalu ia pikirkan dalam benak Pak Ahmad. Namun sayang, raga yang telah tua rentan termakan usia justru tak sejalan dengan keinginanya. Kakinya yang mulai lelah mengayuh sepeda dengan bawaan daganganya yang lumayan berat. Ia terhenti di sebuah warung kopi kecil yang sepi jauh dari pemukiman.
“Pak, nama Bapak siapa kalo boleh tau?” tanya ibu pemilik warung saat itu. Belum sempat menjawab sang Ibu kembali berbicara
“Silakan ambil saja Pak makanannya jangan sungkan,” lanjut Ibu.
“Nama saya Pak Ahmad, Bu. Tidak usah, Bu. Terima kasih sekali tawaranya. Saya hanya numpang duduk dan istirahat di sini saja,” timpal Pak Ahmad.
Dengan rasa malu ia bergegas beranjak pergi dari warung tersebut karena tidak enak.
“Ibu terima kasih atas tempatnya, mohon maaf mengganggu,” pamit Pak Ahmad yang akan beranjak pergi.
“Eh Pak, tunggu dulu Pak! Ini saya bungkuskan gorengan untuk bapak nanti di jalan. Dimakan ya, Pak, hanya ini saja. Tidak apa ya? Dagangan saya juga belum ada yang beli,” ungkap si Ibu pemilik warung sambil membungkuskan gorengan.
“Maaf, Bu, tapi saya tidak punya uang untuk membayarnya. Dagangan saya belum laku sama sekali dari tadi,” kata Pak Ahmad dengan rasa tidak enak.
“Tidak usah Pak Ahmad, saya ikhlas. Ini buat bekal bapak di jalan,” kata bu warung sambil memberikan bungkusannya.
“Terima kasih Bu terima kasih sekali, semoga Allah membalas kebaikan ibu saya pamit dulu,” ucap Pak Ahmad. Terlukis senyum simpul di wajahnya. Sebuah kebahagiaan sederhana yang tak ternilai harganya.
“Iya sama-sama Pak,” sahut si Ibu pemilik warung sambil tersenyum.
Melihat beberapa gorengan yang dibungkuskan, wajah Pak Ahmad sedikit sumringah. Ia merasa senang sekali. Sebenarnya jika hanya untuk memuaskan rasa laparnya sendiri ia bisa saja memakan dagangannya beberapa untuk sembari mengganjal perutnya.
Akan tetapi, ia berpikir jauh ketika dagangannya itu berhasil terjual dan ditukar dengan uang alangkah lebih senang hatinya. Ia akan bisa merasakan rasa kenyang dari hasil jerih payahnya. Rasa bahagia itu ia rasakan juga bersama anak dan istrinya juga. Setelah beberapa kilometer tak jauh dari warung tadi. Ia berhenti sejenak untuk menyantap beberapa gorengan pemberian si Ibu pemilik warung tadi, di bawah pohon besar yang rimbun dan sejuk ia menikmatinya dengan sedikit terpikirkan. Ternyata di dunia ini masih ada orang-orang yang baik hatinya, meskipun warungnya sendiri masih sepi. Beberapa gorengan telah habis disantap dan rasa perih karena belum makan pun sedikit terobati.