Tangisan Maya

Bahumu berguncang hebat, tubuhmu bergetar, dan bulir-bulir bening berjatuhan dari pelupuk matamu yang sayu. Engkau terduduk, bersimpuh, meraung. Dan aku hanya berdiri mematung. Bukankah kemarin kau begitu bersemangat menceritakan pembangunan rumahmu yang hampir selesai? Tetapi, mengapa hari ini saat aku memasuki ruang kerjamu kau berbalik 180 derajat. Aku benar-benar tak mengerti. Hingga hanya dapat tertegun melihatmu.

Lalu setelah kau berkata, “Antar aku ke panti, Delima. Aku ingin melihatnya…,” aku baru bisa mencium bau ketidakberesan.

Kuncup hidungmu memerah. Berkali-kali kau mengusap aliran air dari matamu yang mulai membengkak. Tatapanmu selalu mengarah ke luar kaca mobil. Kau bergeming, saat aku menanyakan apa yang terjadi di panti. Mungkin kau masih tak berselera bicara, maka aku putuskan tidak bertanya lagi.

Mobil kita berhenti di sebuah bangunan bergaya Belanda. Tembok, jendela, dan pintunya didominasi warna putih. Beberapa tanaman bonsai dan pot-pot yang digantung memberi nuansa teduh pada bangunan itu. Sebuah plakat bertuliskan “Panti Wredha Harapan Mulia” terpasang di dekat pintu masuk. Kau berlari menuju bangunan di hadapan kita. Aku berjalan cepat mengikutimu.

Air matamu belum berhenti menetes saat kau sampai meja administrasi. Kau sebut sebuah nama, lalu seorang wanita muda berseragam perawat di depanmu mengangguk-angguk. Wanita itu bangkit dari meja kerjanya, ia memberi isyarat agar kau dan aku mengikutinya.

Langkah kita semakin cepat menyusuri lorong-lorong bangunan. Melewati kamar-kamar, melewati ruang senam, dan melewati taman mini yang ada di tengah panti. Kusangka panti ini sepi, ternyata tidak sama sekali. Ada lumayan banyak orang di sana. Hampir seluruh rambut mereka bewarna putih dan kulit mereka berkerut-kerut. Ada yang berbincang, ada yang hanya berdiam di kursi roda, ada yang berada di kamar, ada pula yang tengah disuapkan makanan ke mulutnya. Semua itu kulihat jelas, mengingatkanku pada seorang wanita renta yang ada di rumah.

Kita bertiga telah berdiri di depan kamar yang letaknya paling ujung. Di kamar ini ternyata ada lebih banyak orang. Kau berusaha menyibak kerumunan yang menghadang kita. Lalu setelah terbuka jalan, terlihat sebuah tubuh terbujur di ranjang tidur. Bibirnya terkatup, matanya terpejam, wajah dan tubuhnya memucat. Namun, dari mata yang terpejam itu terus keluar rembesan air. Tidak salah lagi, rembesan itu adalah air mata. Kau menjatuhkan badanmu di samping tubuh yang terbujur kaku itu. Bahumu kembali berguncang. Kau kembali menangis.

“Jenazah kakek ini menangis sejak tadi,” seorang lelaki berkacamata berkata lirih kepadaku. Ia berasal dari kerumunan. Dari pakaiannya aku bisa memastikan ia merupakan salah satu pegawai panti. 

“MasyaaAllah, kenapa bisa begitu?”

“Kuasa Tuhan. Saya tidak tahu alasan ilmiahnya. Sebelum meninggal pun beliau juga menangis. Sering menangis. Bahkan sejak empat hari yang lalu,” wajah laki-laki itu terlihat bersungguh-sungguh.

“Kami belum berani menguburkan jasad almarhum sebelum melaksanakan pesan terakhirnya,” ia melanjutkan.

“Pesan terakhir? Boleh saya tahu?” aku menyelidik.

“Ia ingin dikuburkan setelah putri semata wayangnya datang kemari. Apakah ia putrinya?” mata laki-laki itu mengarah kepadamu.

Aku mengangguk pelan. Laki-laki itu kemudian berusaha merogoh sesuatu dari kantongnya. Ia keluarkan sebuah amplop kecil berwarna putih. Tangannya lalu mengulurkan amplop itu kepadaku.

“Tolong sampaikan surat ini padanya. Meski saya yang menulis, tetapi isi surat ini adalah semua pesan dari ayahnya.”

Sekali lagi aku mengangguk. Menerima amplop pemberian laki-laki itu dan memasukannya ke dalam tas kecil yang kubawa. Kulihat kau masih terduduk menangis di sebelah jasad ayahmu. Tanganmu mengusap air mata yang terus mengalir dari wajah memucat itu. Berulang kali kau mencium keningnya. Lalu memeluk erat tubuhnya. Beberapa orang kemudian berusaha menenangkanmu. Termasuk aku. Perlahan kutarik tubuhmu menjauh dari tempat tidur di mana ayahmu terbujur kaku. Meski awalnya kau menolak, tetapi saat beberapa orang bekerja menutupkan kain dan mengangkat jasad ayahmu akhirnya kau menyerah.

===

 

Kau masih terisak saat aku membimbingmu duduk di kursi taman. Beberapa nenek yang tengah berjalan-jalan di taman mini ini memerhatikan kita. Mungkin lebih tepatnya memperhatikanmu yang tidak berhenti mengeluarkan air mata.

“Delima, ini semua salahku,” kau berkata dengan suara bergetar.

Aku hanya diam. Sengaja membiarkanmu mengatakan apa saja yang ingin kau katakan. Mungkin kau akan menjadi lebih tenang. Maka katakanlah semua.

“Seandainya rumah itu cepat jadi, pasti ayahku tidak akan tinggal lama di panti ini. Ayah pasti tidak akan meninggalkanku sendiri secepat ini, Delima.”

Hening. Hanya terdengar cerecau burung dan gemerisik daun yang diterpa angin. Belum juga kutanggapi setiap kata-katamu. Sebenarnya, aku hanya menunggu agar kau menjadi lebih tenang.

 “Maya…, apa kau berpikir ayahmu hanya menginginkan sebuah rumah?” dengan hati-hati aku mulai bicara. Sungguh aku takut jika kau menjadi tersinggung dengan perkataanku.

“Apa Maksudmu?” kau menoleh kepadaku, menatapku tajam dengan mata yang masih berkaca.

Aku tersenyum. “Maya, aku cuma punya seorang nenek yang tinggal bersamaku. Setiap hari saat kita bekerja, tepat jam tiga sore ia selalu meneleponku, memintaku segera pulang. Kalau aku tidak segera meninggalkan kantor, ia akan meminta tetangga-tetanggaku untuk meneleponku sampai aku benar-benar pulang. Semenjak kakek meninggal, nenekku berubah menjadi sangat penakut,” sejenak kupotong kata-kataku. “Kurasa sama seperti nenek yang selalu membutuhkanku untuk menemaninya, ayahmu juga membutuhkanmu untuk selalu ada di dekatnya.”

Kau memandangku dengan tatapan penuh tanya. Tak kubiarkan itu berlangsung lama. Cepat-cepat aku mengambil sebuah amplop dari tasku dan meletakannya di tanganmu. “Seorang petugas panti memberikan amplop ini untukmu, Maya. Bukalah, mungkin kamu akan temukan sesuatu di dalamnya.”

Kau terima amplop kecil putih dariku. Perlahan tanganmu bekerja membukanya. Lalu satu persatu huruf-huruf yang ada di kertas itu kau eja tanpa bersuara.

“Delima, seharusnya…seharusnya aku tidak menerima tawaran pekerjaan yang menyita waktu itu. Aku bodoh Delima, benar-benar bodoh. Kalau saja aku tidak egois, kalau saja aku tidak terlalu berambisi, kalau saja aku bisa mengerti maksud ayahku, kalau saja…,” kau berhenti bicara.

Lalu selanjutnya hanya isakmulah yang kembali terdengar dan ponselku yang mulai bergetar.

===

Logandeng, Senin 01 Juli 2018

(Nadhila Hibatul)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous post Presensi Online, Kangen Titip Absen
Next post Mbangra, Sebuah Ajang Uji Coba