Advertisement Section

Tentang Syair Hamzah Fansuri

Mungkin syair-syair HamzahFansuri dapat kita bandingkan dengan jazz yang dipadukan dengan koplo. Pasalnya, Fansuri memadukan dua artefak budaya dari dua khasanah budaya yang berbeda, yaituBahasa Melayu dan Bahasa Arab.

Musik jazz yang berasal dari dunia Barat (khususnya dari khasanah budaya orang kulit hitam)mungkin akan menjadi sangat luar biasa jika dipadukan dengan dangdut koplo yang merupakan artefak budaya Timur, khususnya Jawa.

Untuk melihat kemungkinan hasil perpaduan dua artefak yang berbeda itu, coba kita lihat bait Syair Perahu berikut:

Sudahlah hasil kayu dan ayar,

Angkatlah pula sauh dan layar,

Pada beras bekal jantanlah taksir,

Niscaya sempurna jalan yang kabir.

Kabir di sini merupakan kosakata dari Bahasa Arab. Artinya “besar”. Kata tersebut pada akhirnya diserap ke dalam bahasa Indonesia.

Dari bait di atas kita melihat bahwa eksistensi Bahasa Melayu dalam syair Fansuri itu sama sekali tidak memudar. Dengan perpaduan itu, syair Fansuri tetap berterima.Padahal, dalam syairnya itu, dapat kita saksikan pemakaian kosakata dari Bahasa Arab yang begitu mencolok sehingga mudah ditemukan.

Yang penting lagi, ciri khas syair tidak hilang. Melalui bait yang saya kutipkan di atas, syair Fansuri tetap berima a-a-a-a, bukan? Syair Fansuri tetap enak didengar, dan didendangkan. Setidaknya, pernah saya dengar salah seorang teman mendendangkannya.

Meski menggunakan perpaduan dua hal yang sangat mencolok seperti itu, syair-syairFansuri mampu menjadi pelopor lahirnya kesusastraan Melayu klasik. Bahkan, Hamzah Fansuri mungkin layak ditahbiskan sebagai perintis jalan baru.

Jika saja ada jazz yang dipadukan dengan koplo, mungkin akan seperti itulah Syair Perahu karya Fansuri. Bayangkan, pemain jazz harus pandai menciptakan nada spontanon the stage.Demikian pula dengan kendang yang mengiringi koplo.

Para pemain tidak perlu berlatih menciptakan nada terlebih dahulu sebelum manggung.Pun demikian, spontanitas yang diciptakan kedua musik itu mungkin rasanya tetap akan terdengar indah.Rasanya, telinga masyarakat kita akan dapat menyesuaikan diri. Prinsipnya, asalkan ada unsur yang tidak terlalu jauh atau bertolak belakang dengan latar kebudayaan kita.

Mungkin hal itu juga dapat dikatakan untuk syair-syairFansuri.Kampung-kampung Melayu adalah daerah utama peradaban Islam awal di Nusantara, misalnya saja di Aceh yang bahkan kemudian dijuluki sebagai Serambi Mekah.

Di sana, syair-syairFansuri berkembang pesat. Sebab, budaya Islamberkembang disana tentu juga mendorong masyarakat untuk mempelajari Bahasa Arab.Dengan begitu, masyarakat mudah saja menerima perpaduan bahasa dalam Syair Perahu.

Hal ini sangat menarik terutama jika diingat bahwa perbedaan kedua artefak itu tidak hanya terkait dengan daerah asalnya saja. Struktur dari kedua bahasa itu pun sangat berbeda. Misalnya, Bahasa Melayu tidak mengenal pengelompokan bahasa berdasarkan jenis, waktu, jumlah, dan lainnya. Namun, Bahasa Arab mengenal itu.

Alasan lain kenapa masyarakat Melayu mudah menerima syair-syairFansuri adalah karena syair-syair itu terkesan seperti dakwah bagi masyarakat Islam, mungkin karena berisi nasihat.Tapi, penyebaran syair-syair Fansuri tidak hanya di Melayu saja. Secara garis besar, masyarakat Indonesiatidakkeberatan. Barangkali, hal ini dikarenakansebagian besar masyarakat Indonesia memeluk agama Islam.

Bahkan, hingga saat ini, saya masih banyak menemui kanal YouTube yang menampilkan dendang syair-syair Fansuri. Masih banyak pula sekolah-sekolah yang mendendangkan syair-syair Fansuri untuk ujian praktik.

Dari yang saya tulis di atas, keberterimaan perpaduan bahasa Arab dan Melayu dalam syair-syair Fansuri bisa dikatakan dipengaruhi latar belakang budaya masyarakat Melayu dan Indonesia.

Suatu saat nanti, bisa saja jazz berpadu dengan koplo (yang jelas perbedaan keduanya juga mencolok). Dan sebagaimana masyarakat menerima syair-syair Fansuri, masyarakat mungkin juga akan mudah menyesuaikan diri.

Sehingga, bisa disimpulkan bahwa persoalan keberterimaan Syair Perahubisa jadi bukan karenabagus atau jeleknya perpaduan kedua bahasa itu, melainkan cenderung sesuai atau tidaknya dengan kebudayaan masyarakat.

https://www.youtube.com/channel/UCaKRQL5405sHC_uGxvX1Z2Q

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous post Graffiti, Bukti Kreativitas Suporter Sepak Bola
Next post Anasir Anomali Penggunaan Bahasa Indonesia