Aplikasi Strava menjadi Kompetisi Lari Virtual yang Obsesif
Strava merupakan aplikasi pelacakan lari dan aktivitas fisik yang tidak terpisahkan dari budaya olahraga modern. Dengan fitur-fitur seperti pelacakan jarak, waktu, kecepatan, dan elevasi, memungkinkan para pelari untuk memantau kemajuan mereka, terhubung dengan komunitas lari, serta bersaing dengan orang lain.
Namun, manfaat yang diberikan aplikasi Strava memicu fenomena “kompetisi virtual yang obsesif” di kalangan para pelari. Mereka terdorong untuk berlari secara berlebihan, memaksakan diri, dan terobsesi dengan statistik di Strava sehingga mengabaikan kesehatan dan tujuan dari lari yang sebenarnya.
Banyak artis di Indonesia yang mengunggah aktivitas lari sebagai bagian dari pola hidup yang sehat atau sekadar membagikan tips terkait aktivitas lari. Tarra Budiman (@tarrabudiman), Daniel Mananta (@vjdaniel), Ibnu Jamil (@ibnujamil), Zee Zee Shahab (@zeezee_shahab), dan Soraya Larasati (@sorayalarasat1) adalah deretan artis yang menggemari hobi lari.
Tren olahraga lari yang dibawakan oleh beberapa pesohor membuat banyak orang tergoda untuk ikut serta. Fenomena tersebut menyebabkan kondisi Fear of Missing Out (FoMO) atau perasaan khawatir apabila tidak mengikuti tren.
Penampilan bagan Strava di media sosial dengan capaian jarak atau kecepatan lari tertentu mendorong kita untuk ikut serta memposting konten yang sama tanpa melihat kemampuan diri dalam berlari. Ketika seseorang memaksakan olahraga lari demi meraih pencapaian pribadi yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan, implikasinya muncul berbagai risiko yang belum dimitigasi.
Berlari secara berlebihan menyebabkan cedera fisik, kelelahan kronis, bahkan masalah kesehatan yang serius. Para pelari yang terobsesi dengan Strava mengabaikan berbagai tanda kelelahan hingga memaksakan diri untuk mencapai target yang tidak realistis.
Obsesi dengan pencapaian dan pengakuan di Strava dapat menimbulkan tekanan dan kecemasan berlebihan bagi para pelari. Mereka merasa harus berlari lebih cepat dan lebih jauh dibandingkan dengan orang lain, hingga terjebak dalam siklus perbandingan yang tidak sehat.
Berlari seharusnya menjadi aktivitas yang menyenangkan dan menyehatkan, bukan menjadi kompetisi yang obsesif. Para pelari yang terjebak dalam kompetisi virtual Strava akan kehilangan fokus pada tujuan lari yang sebenarnya, yaitu meningkatkan kesehatan, kebugaran, dan menikmati prosesnya.
Bramantyo, pendiri komunitas lari Penyok Runners, menjelaskan bahwa pelari rekreasi atau pelari yang mencari segi kesenangan dari olahraga lari cenderung memposting pencapaian lari mereka di media sosial.
“Pelari rekreasi mulai pakai Strava biasanya karena lihat teman posting di IG (Instagram). Lama-lama (mereka) kok keren (Strava) juga ya, akhirnya kecanduan posting dengan mengabaikan esensi lari yang sebenarnya (olahraga),” ujarnya.
Untuk menghindari kompetisi lari virtual yang obsesif, pelari perlu memahami penggunaan Strava sebagai penunjang aktivitas lari. Rahmat, pelari kategori ultra membagikan tips untuk menghindari kompetisi lari virtual yang obsesif.
“Biasanya di Strava ada lencana setelah menyelesaikan jarak tertentu. Kalau mau dapet lencana, lari yang realistis (sesuai kemampuan) aja. Jangan membandingkan punyanya orang lain,” ujarnya.
Berlari seharusnya menjadi aktivitas yang menyenangkan dengan fokus pada prosesnya, merasakan alam, dan mendengarkan tubuh sesuai dengan kemampuannya.
“Strava harus dipakai dengan bijak, fungsinya untuk memantau kemajuan (proses berlari), bukan sebagai ajang kompetisi. Kalau nggak mau kalah dari statistik Strava orang lain, jangan dilihat (statistik), tapi fokus sama tujuannya (lari) apa? (sebenarnya),” tambahnya.
Selain itu, Rahmat mengajak para pelari rekreasi untuk bergabung dengan komunitas lari sehingga manfaat olahraga lari tidak hanya sekadar aktivitas yang menyehatkan, tetapi mendapatkan banyak tips untuk memaksimalkan esensi lari.
“Kalau jadi atlet udah beda ranah ya, tapi kalau sekadar pelari rekreasi ikut komunitas lari aja. Di dalam komunitas pasti ada coach dan pembagian jarak dan kecepatan lari sesuai dengan kemampuan masing-masing. Olahraga lari akan jadi suportif karena ada penyesuaian kemampuan berlari. Nanti (komunitas) pasti memberikan pelajaran (teknik berlari) yang pasti untuk mencegah cedera dan kelelahan fisik,” ujarnya.
Pentingnya beristirahat dan memulihkan diri dengan cukup setelah berlari menjadi kunci mempertahankan kebugaran tubuh agar siap untuk berlari. Tidur sekitar 7-8 jam dan mengonsumsi makanan yang bernutrisi dapat menghilangkan lelah atau sakit pasca berlari.
Penulis: Yasminun Ardine Issudibyo
Editor: Hana Yuki