Advertisement Section

Bartleby Si Juru Tulis Menghadapi Hidup

Aku mengenal banyak juru tulis, baik secara profesional maupun pribadi, dan bila aku mau, aku bisa menguraikan banyak cerita tentang mereka, yang dapat membuat jiwa yang berbahagia tersenyum, dan hati yang sedih menangis. (hal 1—2)

Buku tipis 78 halaman ini saya temukan di deretan rak yang terpencil dan asing, bahkan tak satu orang pun berdiri di sana untuk melihat-lihat buku apa saja yang ditawarkan. Rak yang terpencil dan asing itu menawarkan Bartleby Si Juru Tulis serta beberapa novela terjemahan lainnya.

Bartleby Si Juru Tulis diterbitkan oleh Penerbit OAK pada Maret 2017. Diterjemahkan oleh Widya Mahardika Putra yang telah menerjemahkan beberapa buku lain di penerbit rumahan (penerbit independen). Cerita ini merupakan karya domain publik berbahasa Inggris Bartleby the Scrivener: A Story of Wall-Street, dapat dibaca di en.wikisource.org/wiki/Bartleby_the Scrivener.

OAK menerbitkan buku ini secara ekslusif karena cetakannya diberi nomor seri, keren! Sebelumnya saya tidak punya buku bernomor seri, sehingga terasa mewah setiap kali membuka buku ini. Saya mendapatkan nomor seri 772—dengan angka 2-nya yang agak memudar sejak dibeli.

Bartleby the Scrivener: A Story of Wall-Street merupakan karya Herman Melville yang terkenal, di samping Moby Dick. Namun, seperti yang dikatakan pada punggung buku tersebut, karya ini tidak cukup dihargai pada masanya (baik secara kritikal maupun komersil). Walau begitu, Melville berhasil melawan waktu, sehingga Bartleby masih relevan untuk kita dibaca di abad ke-21.

Novela ini menggunakan tokoh “Aku” (narator) sebagai sudut pandang penceritaan. Ia merupakan pengacara sekaligus bos di kantornya. Tidak perlu diperdebatkan siapa yang sebenarnya menjadi tokoh utama, Bartleby atau narator.

Si Juru Tulis Bartleby
Novela ini bercerita tentang hubungan si narator, yang merupakan pengacara, dengan juru tulisnya. Narator awalnya mempekerjakan dua juru tulis dan satu pesuruh di kantornya. Setelah memangku jabatan sebagai Asisten di Pengadilan Tinggi Ekuitas, narator merasa perlu menambah satu juru tulis lagi karena pekerjaan untuk juru tulis akan bertambah.

Di halaman ke-16, Bartleby akhirnya muncul sebagai pelamar kerja. Melihat sosoknya yang mengundang iba, narator akhirnya menerima ia. Di sinilah awal mula kebahagiaan dan kesedihan yang ditawarkan halaman 1—2 dimulai.

Bartleby awalnya haus akan pekerjaan menulis, bahkan hampir tidak istirahat untuk menyalin dokumen-dokumen. Hal itu membuat narator senang dengan sosok Bartleby, yang juga menurutnya tenang dan kalem.

Sebagai juru tulis, Bartleby merasa tugasnya adalah menyalin dokumen. Ia selalu mengatakan “Saya tidak mau” setiap kali bosnya menyuruh ia melakukan sesuatu yang lain.

Bartleby barangkali adalah seorang yang kewarasanya terbatas. Dalam artian, setiap kali ia bertindak, kewarasannya akan terkikis dan semakin terkikis, sampai akhirnya hilang sama sekali.

Saya menginterpretasikan Bartleby sebagai seorang pemuda yang begitu rapuh batinnya. Ia bukan gila, tapi ada hal lain yang membuat dirinya merasa harus melakukan itu, tidak peduli benar tidaknya.

Dua Juru Tulis dan Satu Pesuruh
Catut dan Kalkun si juru tulis, Biskuit Jahe si pesuruh kantor. Nama-nama tersebut bukanlah identitas resmi, hanya sapaan yang digunakan di kantor tersebut. Tokoh-tokoh dalam buku ini menghanyutkan pembaca ke dalam perasaan bahagia, kadang sedih, kadang juga iba, tapi seringkali merasa jengkel.

Kalkun, seorang tua berusia sekitar enam puluh tahun, berkebangsaan Inggris, berbadan pendek dan gemuk. Ia menunjukkan semangatnya pada pagi hari, yang kemudian memudar setelah istirahat siang, kehilangan gairah kehabisan tenaga. Narator, yang juga merupakan bos, menghargai semangatnya di pagi hari walau sering merasa kesal dengannya saat saat sore tiba.

Catut, berwajah pucat dan berjanggut, usia 25 tahun. Ia mudah marah dan gugup. Kemarahannya diakibatkan oleh gangguan pencernaan yang ia alami. Ia berambisi, atau lebih tepatnya selalu merasa tidak puas. Beda halnya dengan Kalkun, Catut justru menjadi tenang setelah istirahat siang.

Biskuit Jahe dikirim oleh ayahnya ke kantor pengacara sebagai pembelajar hukum, pesuruh, sekaligus tukang bersih-bersih, dengan bayaran satu dolar per minggu. Menyalin dokumen hukum adalah pekerjaan yang berat dilakukan Biskuit Jahe, oleh karenanya ia lebih banyak disuruh untuk menghidangkan kue jahe untuk Catut dan Kalkun.

Narator/pengacara/tokoh “Aku” digambarkan juga sebagai sosok yang religius. Itulah yang mungkin mempengaruhi caranya bersikap kepada para pekerjanya. Bukan berarti tokoh “aku” memiliki sikap tenang dan kalem, ia justru lebih sering digambarkan sebagai pemimpin yang tempramental.

Pada beberapa kesempatan, narator mengatakan bahwa dirinya hendak memecat pekerjanya karena alasan sepele, seperti tidak sengaja menumpahkan tinta, juga keliru menjadikan kue jahe sebagai alat untuk mengecap dokumen.

Wall Street abad 19
Banyak hal menarik dari Bartleby Si Juru Tulis. Narasi tentang Wall Street pada abad 19 digambarkan begitu sederhana dan minimalis, mengingat Wall Street merupakan jalanan yang sibuk.

Saya seperti dihadapkan kepada video hitam putih menggambarkan Wall Street yang lengang. Atau foto hitam putih yang diambil beberapa saat setelah hujan berhenti turun. Barangkali ketika membaca Bartleby saya sedang menyukai fotografi. Pembaca mungkin akan mengalami hal yang berlainan dengan yang saya alami.

Membaca Bartleby Si Juru Tulis tidak memerlukan banyak waktu, bisa diselesaikan dalam sekali duduk. Walau begitu, setelah rampung membacanya kesan yang ditinggalkan begitu dalam. Pembaca akan merasakan bagaimana pengacara tersebut menghadapi Bartleby, dan Bartleby menghadapi seluruh hidup.

Ah Bartleby! Ah Manusia! [Redaksi/Pandan]

– – – – –

Baca RESENSI di Lppmkreativa.com atau tulisan Nursaid Lainnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous post Poe & Kisah-Kisah Detektif
Next post Itaewon Class : Jatuh, Bangkit Lagi