Advertisement Section

Poe & Kisah-Kisah Detektif

“Edgar Allan Poe adalah ayah bagi kisah-kisah detektif dunia.”
-Arthur Conan Doyle-

Edgar Allan Poe, penulis kelahiran Boston, Amerika Serikat, menjadi penulis pertama yang mengangkat kisah detektif. Tokoh detektif fiksi karya Poe bernama C. Auguste Dupin, muncul pertama kali dalam cerpen “Peristiwa Pembunuhan di Rue Morgue” pada 20 April 1841 di majalah Graham’s Lady’s Gentleman’s. “Peristiwa Pembunuhan di Rue Morgue” dianggap sebagai pengembangan dari genre detektif fiksi pertama yang ditulis dalam bahasa Inggris dan disebarkan secara global.

Dupin adalah seorang detektif amatir berkebangsaan Prancis. Dia menyelidiki pembunuhan untuk kesenangan pribadinya dan untuk membuktikan tidak bersalahnya seorang pria yang dituduh melakukan kesalahan, bahkan dia menolak hadiah uang. Namun, terkadang Dupin sengaja mengejar hadiah uang seperti dalam cerpen “Surat yang Dicuri”.

Selain “Peristiwa Pembunuhan di Rue Morgue”, Dupin juga menjadi tokoh detektif di dua kisah lainnya, yaitu “Misteri di Balik Pembunuhan Marie Roget” (1842) dan “Surat yang Dicuri” (1845).

“Kebenaran tidak selalu sedalam sumur. Bahkan, dengan merujuk pada pengetahuan yang lebih penting, aku yakin bahwa kadang kebenaran bisa terlihat di permukaan suatu masalah. Kedalamannya terletak di lembah-lembah di tempat kita mencarinya, dan tidak di puncak-puncak gunung di tempat kebenaran ditemukan.” C. Auguste Dupin- “Peristiwa Pembunuhan di Rue Morgue”

Sebagai seorang detektif, Dupin memiliki kemampuan menganalisis yang dalam. Cara berpikir Dupin seperti à posteriori−pemikiran yang terbentuk dari fakta-fakta yang terlihat. Fakta-fakta itu kemudian disusun menjadi sebuah teori kasus tersebut. Metode seperti itu disebut deduksi, Dupin menyebutnya rasioniasi. Rasioniasi Dupin mengedepankan argumentasi dan silogisme yang pada akhirnya berkembang menjadi gaya deduksi dan observasi.

Lahirnya Detektif-Detektif Fiksi

Tahun 1920-an sampai 1930-an menjadi golden era bagi kisah-kisah detektif fiksi. Muncul nama-nama detektif fiksi yang lahir dari karya penulis-penulis dari berbagai negara. Kisah-kisah detektif Poe memiliki efek domino bagi penciptaan kisah detektif lainnya.

Sejak kemunculan Dupin, 46 tahun kemudian lahir seorang tokoh detektif fiksi dari tulisan seorang dokter sekaligus penulis, Arthur Conan Doyle. Doyle menamai detektifnya Sherlock Holmes, ia pertama kali muncul dalam novel “Penulusuran Benang Merah” (1887) yang dimuat di Beeton’s Christmas Annual.

Holmes dianggap paling mirip dengan Dupin. Dia mengembangkan metode deduksi yang dipakai Dupin. Deduksi ala Holmes bertumpu pada analisa logika dan observasi. Holmes juga menggunakan ilmu forensik untuk memecahkan berbagai kasus. Gaya penulisan Poe dan Doyle juga sama. Kisah Dupin dinarasikan oleh narator anonim, sedangkan kisah detektif Holmes dinarasikan oleh teman sekamarnya bernama John Watson.

Dalam “Penelusuran Benang Merah” Holmes berkata kepada Watson, “Tidak diragukan lagi bahwa Anda sedang memujiku dengan membandingkanku dengan Dupin. Sekarang menurutku Dupin adalah seorang teman yang sangat rendah diri. Trik Dupin dalam memasuki pikiran teman-temannya dengan sebuah pernyataan yang tepat setelah seperempat jam dalam keheningan itu sungguh dangkal dan mencolok. Tidak diragukan lagi dia memiliki kejeniusan analitis, tetapi bagaimanapun juga ia adalah semacam fenomena seperti yang dibayangkan Poe.” Meski terdengar seperti sindiran, namun sejatinya itu adalah bentuk kekaguman Doyle pada Poe. Holmes bahkan menerapkan trik itu di dalam cerpen “Petualangan Kotak Karton” (1893).

Agatha Christie, penulis perempuan berkebangsaan Inggris yang terkenal dengan kisah kriminal dan misterinya, juga turut menyumbangkan tokoh detektif. Tokoh detektif milik Agatha Christie bernama Hercule Poirot (1920)−detektif swasta berkebangsan Belgia.

Dalam salah satu autobiografinya, Agatha Christie menyebutkan bahwa ia terinspirasi dari dua tokoh detektif sebelumnya, Dupin dan Holmes. Poirot muncul pertama kali dalam novel “Misteri di Styles”, muncul di 32 novel lainnya, dan 50 cerpen karya Agatha Christie dalam rentan waktu tahun 1920 sampai 1975.

Beberapa novel detektif Agatha Christie dengan Poirot sebagai detektifnya sering menggunakan subgenre whodunit. Subgenre whodunit (Who Done It atau siapa pelakunya) sering dipakai dalam kisah-kisah detektif klasik. Subgenre ini menyajikan kisah dengan struktur dan alur yang rumit.

Si detektif dihadapkan pada berbagai tokoh dengan karakter yang berbeda-beda yang terkait dengan tindak kriminal (circle suspect). Karya-karya Agatha Christie yang bersubgenre whodunit seperti “Misteri di Stlyes”, “Pembunuhan Roger Ackoyd” (1926), “Pembunuhan di Orient Express” (1934), dan “Buku Catatan Josephine” (1949).

Nama-nama lainnya yang ikut mengisi daftar detektif fiksi di dunia ada Lecoq ciptaan penulis Prancis Emile Gaboriau. Lecoq muncul pertama kali dalam novel berjudul “Monsieur Lecoq” (1866). Lecoq adalah seorang detektif muda yang bekerja di kesatuan Sûreté, divisi detektif Kepolisian Prancis.

Ada pula Jules Maigret (1931) milik Georges Simenon, Maigret adalah seorang detektif polisi Prancis. Maigret munculpertama kali dalam novel “Kasus Aneh Peter the Lett” (1931), dan ada seorang agen rahasia intelijen Inggris James Bond 007 (1953) karya Ian Fleming. Di asia kemudian muncul detektif Kindaichi (1984) dan Conan Edogawa (1994) karya Gosho Aoyama yang penciptaannya terinspirasi dari Sherlock Holmes.

Detektif Swasta Abad ke-21

Di abad ke-21 subgenre whodunit kembali diangkat dalam film “Knives Out” (2019). Detektif swasta baru itu bernama Benoit Blanc yang diperankan oleh Daniel Craig. Benoic Blanc berasal dari naskah orisinil karya Rian Johnson (Brick, Looper, Star Wars: The Last Jedi) yang juga menyutradarai film tersebut. Rian Johnson mengaku bahwa “Knives Out” terinspirasi dari karya-karya Agatha Christie.

Rian Johnson mengembangkan whodunit dengan plot twist yang sama sekali berbeda dari karya-karya Agatha Christie. Di film “Knives Out” bahkan tidak ditemukannya pembunuh yang bersalah. “Knives Out” menjadi kisah detektif yang segar dengan pembawaan karakter detektif Benoic Blanc yang eksentrik dan memiliki daya tarik yang berbeda.

Dalam menangani kasus, Benoic Blanc menggunakan metode “penelusuran fakta”.  Sebenarnya, metode-metode yang digunakan setiap detektif tidak jauh berbeda. Mengumpulkan fakta, menganalisis, dan mengambil kesimpulan. “Aku telusuri jalannya fakta, secara perlahan-lahan, dan kebenaran pun sampai padaku,” begitu kata detektif yang mendapat julukan “The Last Gentleman Sleuth”.

Masih banyak nama-nama detektif fiksi di dunia literasi. Hal itu membuktikan bahwa sosok Dupin menjadi prototipe bagi penciptaan detektif-detektif fiksi lainnya. Detektif dalam dunia fiksi ini pun berbeda-beda, ada detektif profesional yang bekerja di suatu instansi, ada pula detektif amatir, dan detektif konsultan atau detektif swasta yang tidak terikat dengan instansi kepolisian.

Meski begitu para detektif tersebut memiliki gaya dan keeksentrikannya masing-masing. Kasus-kasus yang diangkat pun bervariasi, membuat subgenre dari ­fiksi kriminal dan misteri ini menjadi lebih berkembang dan tentunya menarik untuk diikuti. [redaksi/Pandan]

– – – – –

Baca KOLOM di lppmkreativa.com atau tulisan Astria lainnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous post Review Novel “Dan Hujan pun Berhenti”
Next post Bartleby Si Juru Tulis Menghadapi Hidup