Bumi Manusia: Tawaran Tafsir, Tawaran Selera
“Taste is first and foremost distaste,disgust and visceral intolerance of the taste of others.” ― Pierre Bourdieu
Tidak sedikit pembaca “serius” karya-karya Pramoedya Ananta Toer yang menyayangkan pemilihan Iqbal Ramadhan sebagai Minke dalam film Bumi Manusia. Tidak sedikit juga remaja kekinian yang kemudian menjadi pembaca dadakan novel Pram, hanya gara-gara tokoh utama novel “kelas berat” itulah yang akan diperankan oleh Iqbal. Baik yang kecewa maupun yang antusias, masing-masing punya alasan sesuai selera dan perspektif yang mereka miliki.
Perbedaan selera beradu, lewat pertentangan komentar dan argumen. Di satu pihak, ada yang menilai bahwa pemilihan sutradara, aktor/aktris, latar, kostum—kurang tepat, dan itu berpotensi “merusak” gagasan besar Pram dalam novel Bumi Manusia. Di pihak lain membalas, bahwa komentar-komentar negatif tentang film Bumi Manusia itu muncul dari orang-orang kolot, strict, garis keras, yang terlalu menuntut kesesuaian sempurna antara film dengan novel yang dirujuk. Adu komentar dan argumen semacam ini beberapa kali saya dengar di kafe, kantin, juga banyak yang bertebaran di medsos. Pro dan kontra. Masing-masing pihak menganggap persepsi merekalah yang paling benar, persepsi yang lain salah. Bahkan, tak jarang kedua belah pihak sampai saling hina, saling jijik. Ada pula (teman-teman saya sendiri) yang tak mau tegur sapa setelah debat di kantin, bukan karena beda pilihan sewaktu pilpres, tetapi karena beda persepsi tentang film Bumi Manusia. Ini konyol, tapi banyak terjadi. Pertentangan-pertentangan itu salah satunya difasilitasi dan diperluas oleh proses adaptasi atau yang belakangan diistilahkan “alih wahana”.
Satu Versi Tafsir yang Difilmkan
Dalam proses mentransformasikan teks menjadi audiovisual, selalu ada “ketidaksempurnaan”. Kualitas hasil pemfilman tidak akan bisa sama persis dengan kualitas novel. Kriteria penilaian bagus-jeleknya novel pun berbeda dengan kriteria penilaian film. Perbedaan-perbedaan itu sangat dimungkinkan terjadi karena novel maupun film punya hukum-hukum dan kode-kodenya sendiri. Meskipun keduanya sama-sama bercerita, selalu ada kode-kode yang tidak dapat saling menggantikan.
Novel semata-mata bertumpu pada bahasa tulis untuk menceritakan dan menggambarkan peristiwa. Di sini, keterbatasan bahasa tulis justru membawa pikiran dan perasaan pembaca untuk melampaui batasan-batasan bahasa itu sendiri. Lewat bahasa tulis, seluruh indera pembaca kemudian difungsikan. Pembaca akan berupaya mendengar, memandang, membau, meraba, berpikir, hingga merasa—hanya dengan satu kegiatan: membaca! Pikiran dan perasaan secara leluasa dapat dipergunakan pembaca untuk mengisi kekosongan-kekosongan yang ditinggalkan oleh keterbatasan bahasa. Pembaca bebas mengimajinasikan peristiwa, latar, tokoh—sesuai pengalaman dan pengetahuan masing-masing. Kenikmatan berimajinasi semacam inilah yang biasanya membuat seorang pembaca novel kecewa setelah menonton film hasil adaptasi novel, karena imajinasi mereka terbatasi oleh gambar dan suara.
Berbeda dengan novel, film menggunakan piranti-piranti yang memanjakan “penglihatan” dan “pendengaran” penonton. Penghadiran peristiwa secara audiovisual di dalam film ini dapat meminimalisasi terjadinya perbedaan tafsir. Persepsi penonton menjadi lebih terarah. Namun, ini juga berarti bahwa imajinasi penonton menjadi lebih terbatas dibandingkan ketika mereka membaca novel.
Se-eksplisit apa pun bahasa novel, ia tetaplah karya sastra yang menyediakan berbagai kemungkinan makna, yang setiap pembaca bebas menafsirkannya dengan pikiran dan imajinasi masing-masing. Ketika novel difilmkan, maka film yang dihasilkan tak lain hanya merupakan salah satu versi tafsir terhadap novel itu. Tentu berbagai macam tafsir terhadap novel Bumi Manusia tidak dapat ditampung dalam sebuah film. Dengan begitu, segala unsur yang dihadirkan dalam film (aktor, kostum, latar, properti, adegan, sudut pandang kamera, efek) merupakan “alat bantu” penggarap film untuk menyajikan tafsirannya kepada khalayak. Karena tidak semua kata-kata dapat diaudiovisualkan, maka film yang dihasilkan dari adaptasi novel pun mustahil bisa sama persis dengan tafsir awal penggarap film terhadap novel itu.
Menonton film yang diadaptasi dari novel, mau tidak mau, akan menyulut upaya perbandingan: “Novelnya begini, kenapa filmnya begitu?”; “Dialog di film ini nggak ada di novel.”; “Kenapa bagian novel yang itu nggak muncul di film?”. Perbandingan yang demikian, umumnya disuarakan oleh mereka yang sudah membaca novel tersebut, namun tidak puas dengan filmnya. Ketidakpuasan seperti itu salah satunya timbul karena tafsir mereka (terhadap novel) tidak terakomodir atau tidak sesuai dengan tafsir yang telah difilmkan.
Selera: Dari Konsumen Spesifik sampai Konsumen Massal
Alih wahana dari novel Bumi Manusia ke film bukan berarti yang berubah hanya bentuk/medianya saja, melainkan juga konsumennya. Sebelum Bumi Manusia difilmkan, konsumen utama novel itu spesifik, yakni para sastrawan dan intelektual yang dianggap mampu memahami kode-kode di dalam karya sastra. Sedangkan dalam industri perfilman, konsumen yang dituju ialah massa—yang mewakili selera dan permintaan pasar.
Dalam dunia sastra, suatu karya akan mendapat pengakuan atas pencapaian estetik dan/atau gagasan yang mendobrak nilai-nilai yang tengah berlaku di masanya. Produksinya tidak terlalu bergantung pada permintaan pasar maupun modal ekonomi. Pram, misalnya, tetap dapat menghasilkan karya walau dalam kondisi keterbatasan ekonomi (di dalam penjara). Ia membentuk selera “baru”. Karena tidak mudah membentuk selera “baru”, maka keuntungan ekonomi pun akan diperoleh dalam waktu yang lama/jangka panjang. Sedangkan dalam industri populer, produk (film) dibuat sesesuai mungkin dengan selera massa. Untuk menunjang pemenuhan selera massa (yang diasumsikan akan memberikan keuntungan ekonomi yang besar secara instan), diperlukan modal ekonomi yang besar pula. Wajar jika penggarapan film Bumi Manusia berkali-kali tertunda karena alasan keterbatasan asupan dana.
Selera ada yang berada pada tataran alamiah, ada yang bentukan (pengalaman). Terkait karya sastra dan film, yang lebih berperan menentukan suka-tidaknya konsumen terhadap karya seni itu ialah “selera bentukan”. Selera yang demikian, dibentuk perlahan-lahan melalui lingkungan sosial dan pendidikan yang berbeda-beda.
Setiap pertanyaan mengenai selera, hampir selalu membuka kemungkinan untuk mengunggulkan kelas sosial dengan spesifikasi pendidikan tertentu, sekaligus mendiskriminasi kelas sosial dengan pendidikan yang lain. Mengapa ini bagus? Mengapa itu jelek? Pertanyaan sederhana seperti itu bisa menunjukkan kesenjangan sosial dan pendidikan seseorang melalui jawaban yang dikemukakannya. Kemudian muncul anggapan, bahwa semakin tinggi pendidikan (baik formal maupun non-formal) seseorang, semakin objektif ia mampu menjelaskan alasan penilaiannya. Sebaliknya, ketika orang bilang “Film ini bagus,” lalu ditanya, “Apa bagusnya?” Jika ia menjawab, “Aktornya ganteng banget. Apalagi tatapannya itu lho, bikin deg-degan,” maka jawaban yang sangat subjektif semacam itu lantas dapat digunakan orang lain untuk menjustifikasi bahwa itu adalah jawaban dari orang yang tingkat pengetahuan/pendidikan[seni]nya rendah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa, perbedaan selera konsumen seni juga menandai adanya kesenjangan sosial dan pendidikan[seni] mereka.
Pemfilman novel Bumi Manusia pada akhirnya mempertemukan dua macam konsumen dengan selera yang sering kali bertentangan. Di satu sisi, ada kalangan sastrawan dan intelektual dengan selera spesifiknya yang lapar akan asupan estetik-filosofis. Mereka mungkin menonton film Bumi Manusia untuk melacak sejauh mana nilai-nilai estetik-filosofis di novel dipertahankan atau diubah. Di sisi lain, ada massa dengan selera pasar yang lapar akan hiburan. Mereka, atas kegandrungan terhadap kepopuleran aktor/aktris pemeran film Bumi Manusia, barangkali lantas membaca karya-karya Pram untuk mencari tahu lebih banyak soal karakter yang diperankan oleh artis idola mereka, tanpa peduli seberapa tebal halaman dan seberapa besar gagasan di dalamnya. Dua sisi itu tidak perlu dinilai: mana yang benar, mana yang salah. Ini persoalan selera, tidak bisa dinilai benar-salahnya sebagaimana soal matematika.
Biasanya, di film-film yang digarap berdasarkan novel, gagasan “besar” novel itu diselipkan dalam kisah percintaan. Ini merupakan salah satu strategi penggarap film dengan cara mengambil “jalan tengah”, supaya kedua jenis selera konsumen itu terakomodir semuanya. Sederhananya: memfamiliarkan novel “serius” ke khalayak tanpa membuang gagasan besarnya. Dalam konteks film Bumi Manusia, gagasan besar Pram tentang humanisme disediakan untuk memenuhi selera kalangan intelektual. Sedangkan kisah percintaan Minke dan Annelies, disediakan untuk memuaskan selera massa. Persoalan selera mana yang lebih diutamakan, ini dapat kita cermati dari aspek mana yang lebih ditonjolkan di film: apakah persoalan cintanya, atau persoalan ideologisnya. Atau, mungkinkah keduanya dihadirkan dengan seimbang? Lagi-lagi ini tergantung pada selera dan persepsi masing-masing penonton.
Penulis Muhammad Qadhafi, dipublikasikan pertama kali di Majalah Kreativa Edisi XIX.