Advertisement Section

Dang Door Suguhkan Akulturasi Budaya

Sabtu (19/12) – Pentas Kolaborasi FBS UNY menggelar pertunjukan teater bertajuk “Dang Dor” Indonesia Bergoyang di Performance Hall FBS UNY dan ditayangkan secara langsung di kanal Youtube Fakultas Bahasa dan Seni UNY.

Noverico, selaku sutradara, mengatakan bahwa Dang Dor mengangkat sebuah polemik di mana para buruh kehilangan jiwanya akibat  diperlakukan tidak adil. Kritik sosial yang ditujukan kepada para pemilik kekuasaan amat terasa dalam pementasan.

Lewat Pentas Kolaborasi Dang Dor, Noverico mencoba merekam peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia satu tahun ke belakang.

“Kami coba tangkap (keadaan satu tahun ini di Indonesia) meski sangat luas, tentang Omnibus Law dan peristiwa lainnya. Kompleks dan sangat unik, dan kita merasakan sendiri, pandemi, gejolak Omnibus Law,” kata Noverico.

Juladi, tokoh utama dalam pementasan, memimpin pergerakan kaum proletar yang terdiri dari para buruh untuk melawan si Direktur. Perlakuan tidak adil dari si penguasa ini menggiring mereka ke permasalahan yang sudah membudaya, yaitu kemiskinan.

Di akhir cerita, para buruh mengadili Direktur dengan melucuti pakaian jas dan dasinya. Para buruh menuntut agar Direktur merasakan penderitaan yang dialami oleh mereka dan setara dengan kaum proletar.

Khalif, yang tergabung dalam Relung Teater dan berperan sebagai Sutradara dalam adegan pementasan, memaknai ide cerita ini sebagai konsep moral manusia.

“Menurutku itu sudah kayak masalah moral gitu. Hubungan manusia dengan Tuhan, dan hubungan manusia dengan manusia lainnya. Tadi hubungan antara Direktur dengan pegawainya kan rusak. Makanya Direktur tadi tidak percaya spiritualitas.”

Noverico, yang sekaligus berperan sebagai pembuat naskah bersama Derryl, mengatakan bahwa naskah yang dibuat terinspirasi karya-karya Arifin C. Noer. Ia mengangkat tema absurditas yang menggabungkan tradisi modern dan tradisional.

“Di sini aku lebih eksplor pada teater Indonesia. Dengan absurditas yang biasa aku baca di buku-buku Arifin C. Noer, pertemuan pergarisan antara modern dan tradisional yang kami tangkap dari dangdut. Akulturasi tradisi Indonesia, seperti teater tradisional dan teater modern yang udah teman-teman pernah lihat, yang teman-teman pernah mainkan, dikawinkan dalam bentuk dan bisa aku sebut sebagai teater Indonesia, misal Teater Indonesia masa kini,” tutur Noverico.

Noverico berharap pementasan ini menjadi sebuah proses yang menghibur di tengah kondisi Indonesia yang serba kacau dan menjemukan.

“Kita sudah terlalu terjejali oleh pandemi. Terlalu terjejali kuliah jarak jauh, terus belum lagi kerusuhan-kerusuhan. Kita sudah muak. Artinya Indonesia yang marah-marah, Indonesia yang kacau, kita menantikan Indonesia yang bisa menertawakan nasibnya masing-masing di tengah pandemi. Makanya Kami mengambil konsep dangdut bergoyang. Kami ingin semua orang senang. Kami ingin menampilkan hiburan untuk masyarakat di tengah semua kekacauan di Indonesia.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous post Keterbatasan Ruang, Kreativitas Tetap Jalan
Next post Indonesia Bergoyang, Indonesia Sempoyongan