
Fenomena Doxing pada Era Digital
Berkembangnya iptek menyebabkan dunia semakin menggila seiring hadirnya teknologi, terutama dalam bidang digitalisasi. Pada era serba digital ini, hampir seluruh masyarakat memiliki media sosial. Pengguna media sosial berasal dari berbagai kalangan, baik dari yang muda hingga mereka yang lanjut usia. Media sosial yang digunakan sebagai sarana menyalurkan ekspresi dapat menimbulkan fenomena baru di kalangan masyarakat. Fenomena ini disebut dengan doxing. Lalu, apa sebenarnya doxing itu?
Doxing merupakan fenomena yang muncul akibat dari proses digitalisasi yang semakin canggih. Doxing atau doxxing ini adalah kegiatan membongkar atau menyebarkan informasi pribadi seseorang kepada pihak-pihak tidak bertanggung jawab. Artinya, doxing dilakukan tanpa adanya izin dari orang yang bersangkutan. Penyebaran informasi pribadi pada kasus ini biasanya dilakukan lebih dari satu orang dan dilakukan lewat platform media sosial. Korban doxing tidak hanya dari kalangan influencer atau pejabat saja, tetapi bisa juga dari kalangan masyarakat biasa. Penyebab dari fenomena doxing bisa bermacam-macam. Namun, tujuan utamanya untuk menjatuhkan mental lawan.
Pertama, doxing biasa dilakukan karena adanya rasa ketidaksukaan pada seseorang, baik karena masalah perilaku maupun penampilan. Mungkin terdapat kata-kata dan tindakan dari korban doxing yang menyakiti para pelaku sehingga menimbulkan kemarahan dan dendam pada pelaku. Hal ini memicu pihak-pihak tertentu untuk mengekspos kehidupan dan data pribadi seseorang yang ia benci agar dilihat oleh orang banyak. Biasanyanya, mereka mempublikasikan perilaku korban terlebih dahulu agar diketahui oleh pengguna media sosial lainnya.
Baca juga: Media Sosial di Era Globalisasi
Kedua, biasanya kegiatan menyebar informasi pribadi ini dilakukan secara besar-besaran dan melibatkan banyak orang. Doxing yang dilakukan di media sosial biasanya akan mendapat atensi dari para pengguna yang membacanya. Mereka akan penasaran, lalu muncul pihak baru yang membawa informasi pribadi yang lain. Pada kondisi ini, mereka sudah berani menunjuk nama dan identitas orang yang didoxing. Apalagi jika korban doxing juga menggunakan platform media sosial dan menggunakan nama samaran, maka akan banyak orang-orang yang membongkar identitas di balik akun tersebut. Dalam media sosial, biasanya terdapat informasi dan postingan yang berhubungan dengan kehidupan korban sehingga ini akan memudahkan pelaku untuk menjalankan aksinya.
Ketiga, nama korban dan kejadian itu mendapat atensi lebih dari publik setelah terbongkar, maka skala doxing akan semakin meluas. Tidak hanya mereka yang mengenal korban, bahkan orang awam pun akan berlomba mencari identitas korban. Setelah mendapat informasinya, mereka akan menyebar luaskan di media sosial. Mulai dari media sosial yang dipakai hingga data keluarga korban akan tersebar dengan cepat. Bahkan, kasus ini bisa merambat pada pembongkaran identitas dan kehidupan pribadi keluarga serta teman-teman korban. Akibatnya tidak hanya penyebaran data informasi, tetapi juga pada ujaran kebencian dan berita hoaks akan bermunculan.
Keempat, korban doxing akan menutup semua media sosialnya dan begitupula dengan orang-orang yang berkaitan dengan si korban. Akan tetapi, tindakan doxing masih dapat terus berlanjut, seperti mencari info nomor telepon korban atau mengganggu teman dan kerabat korban. Hal seperti ini akan terus berlanjut sampai mereka merasa bosan atau adanya tindakan hukum. Bagi korban doxing, kejadian itu akan meninggalkan bekas trauma dan ketakutan yang mendalam, sedangkan untuk pihak teman dan kerabat akan merasa terganggu dan dirugikan. Korban yang dibawah umur biasanya akan terserang anxiety dan trauma akibat komentar kebencian dari doxing besar-besaran yang dialaminya.
Dampak yang ditimbulkan dari doxing ini tidak dapat dianggap remeh, dari tersebarnya data pribadi di media sosial hingga masalah kesehatan mental pascakejadian. Terdapat beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya perstiwa ini, seperti menjaga perkataan dan perbuatan di media sosial, memilah informasi pribadi akan dibagikan, dan mengurangi mengunggah yang berkaitan dengan kehidupan pribadi di media sosial. Jika sudah terlanjur dalam tahap doxing, lebih baik segera menyelesaikan permasalahan dengan si pelaku utama atau meminta bantuan pada pihak berwajib.
Jejak digital memang sangat sulit untuk dihapus sehingga perlu kehati-hatian dalam menggunakan media sosial. Fenomena doxing yang baru terjadi di era digital ini perlu lebih diperhatikan. Mewaspadai agar tidak menjadi korbanya bukan merupakan sesuatu yang salah. Menggunakan media sosial secara bijak dapat menjadi upaya pencegahan yang bisa dilakukan oleh setiap orang. Doxing juga bukan sesuatu yang boleh dimaklumi atau didukung. Sebab, tindakan ini telah melanggar privasi seseorang dan dapat meninggalkan luka bagi korbannya.