
Indonesia dalam Film Internasional
Nama Indonesia dalam kancah perfilman dunia bukan lagi sebatas isapan jempol belaka. Banyak film dalam maupun luar yang membawa unsur Indonesia sebagai isi dalam film. Dalam industri film dunia, Indonesia sudah memiliki tempat di hati para penikmat film dari berbagai kalangan.
Namun, tidak dapat dipungkiri juga bahwa setiap film memiliki sudut pandangnya masing-masing, terutama saat membuat film dengan unsur Indonesia di dalamnya.
Penonton film berbahasa Inggris, terutama selain masyarakat Indonesia, memandang Indonesia dengan cara yang berbeda-beda. Terlebih lagi, suatu film dikemas sesuai keinginan dan sudut pandang seorang sutradara maupun penulis naskah film itu.
Perbedaan cara pandang ini dapat dilihat, setidaknya dari tiga film, yaitu The Year of Living Dangerously (1982), Minions (2015), dan Eat Pray Love (2010). Ketiga film itu memiliki sudut pandang yang berbeda dalam menggambarkan Indonesia.
The year of Living Dangerously (1982), mengangkat sejarah Indonesia sebagai latar belakang film ini. Film yang diproduksi oleh Hollywood dan salah satu rumah film di Australia ini adalah satu-satunya film tentang Indonesia yang menggambarkan kejadian September tahun 1965, yaitu penumpasan PKI.
Film ini menciptakan jarak simpati antara dunia Barat dan Indonesia. Hal ini karena kejadian penumpasan PKI yang dianggap sebagai tragedi berdarah justru dijadikan latar belakang utama untuk kisah romantis kedua tokoh protagonis.
Minions (2015), film komedi animasi komputer 3D Amerika Serikat, menciptakan karakter tokoh kartun bertubuh pendek dan berwarna kuning. Film Minions menggunakan empat bahasa untuk mengisi suara minion, salah satunya adalah bahasa Indonesia, meskipun bahasa minion tidak begitu jelas dan sulit dimengerti.
Ada beberapa momen minions mengucapkan kosakata dalam bahasa Indonesia dengan cukup jelas. Contohnya pada menit ke-17 saat minion Kevin memanggil Stuart menggunakan kata “Kemari”, dan pada menit ke-75 minion mengucapkan kata “Terima kasih” dengan cukup jelas.
Eat Pray Love (2010), film yang dirilis berdasarkan novel karya Elizabeth Gilbert, mampu membuat pandangan dunia luar tentang Indonesia berubah. Ubud, desa internasional di kabupaten Gianyar, Bali, yang menjadi lokasi syuting film ini, telah menjelma menjadi destinasi wisata yang menyatukan segala emosi terutama kerinduan manusia terhadap alam.
Dampak yang diberikan pun tidak sedikit, mulai dari banyaknya wisatawan asing yang mengunjungi Ubud semenjak dirilisnya film Hollywood yang dibintangi oleh Julia Roberts ini, hingga kewalahannya seniman dalam melayani wisatawan dalam maupun luar negeri.
Ketiga film tersebut membawa unsur Indonesia dari berbagai sudut pandang. Ketiganya mengangkat unsur Indonesia, dari sisi buruk hingga sisi baik.
The Year of Living Dangerously (1982) menggambarkan Indonesia melalui sisi buruknya, yaitu tragedi pembantaian PKI pada September 1965. Kejadian yang digambarkan secara gamblang ini membuat penonton beranggapan bahwa Indonesia adalah negara yang kejam dan tidak memiliki nilai kemanusiaan.
Berbeda dengan Minions (2015). Film kartun ini justru membawa unsur Indonesia dengan berusaha netralnya. Minions memasukkan bahasa Indonesia sebagai salah satu unsur dalam bahasa gado-gado minion. Hal ini membuktikan bahwa eksistensi bahasa Indonesia masih diakui di mata dunia film internasional.
Melalui Eat Pray Love (2010) keindahan Bali sangat ditonjolkan, terlebih lagi dengan keramahan masyarakat Bali dan eksotisme alam tropisnya. Film ini membawa unsur Indonesia dalam sisi baik dan memberikan dampak positif ekonomi melalui sektor pariwisata.
Perbandingan sudut pandang ketiga film tersebut diduga mampu memengaruhi persepsi penonton. Meskipun kita tidak dapat menyamaratakan pengetahuan setiap penonton, tetapi film pasti meninggalkan sebuah pemikiran atau setidaknya kesan dalam diri penonton.
Penonton awam bisa jadi hanya bertujuan mencari hiburan, bukan untuk mengkritisi suatu hal dalam film. Ketidaktahuan penonton awam yang lalu menjadi tahu setelah menonton film biasanya akan menjadi acuan penilaian terhadap latar belakang film tersebut.
Setelah menonton The Year of Living Dangerously, bisa jadi penonton yang awam dan tidak tahu-menahu tentang Indonesia akan melabeli negeri ini sebagai negara yang kejam. Berbeda dengan Eat Pray Love (2010) yang justru membawa angin segar untuk Indonesia. Sayangnya, dengan mengacu pada film ini, penonton awam mungkin akan memandang bahwa Indonesia adalah bagian dari Bali, bukan Bali adalah bagian dari Indonesia.
Indonesia memiliki berbagai sisi di mata dunia perfilman internasional, buruk hingga baik. Penonton selalu memiliki kebebasan dalam menilai dan mengkritik.
Sumber gambar: Shopessexonline.com