Advertisement Section

Semiotika Lembut Ala Kris Budiman

Judul buku: Dari Dee ke Leo Kristi
Penulis : Kris Budiman
Penerbit : Penerbit Jualan Buku Sastra
Terbit : Agustus 2017
Tebal : 135 halaman
Harga : Rp45.000
ISBN : 978-602-61256-2-0

Ketika membaca buku ini, saya mendapati sebuah catatan di bagian pengantar yang ditujukan Kris Budiman buat para pembaca: “Jangan terlalu berharap bahwa perspektif ini saya (Kris Budiman) jalani dengan ketat (rigid) sebagaimana biasa dapat dibaca pada buku-buku saya terdahulu.”

Berangkat dari pesan tersebut, rupanya Kris Budiman ingin membawa angin segar ke dalam buku ini. Para pembaca bakal disuguhi esai-esai yang dibilang cukup ringan. Sebab, “Dari Dee ke Leo Kristi” memang tidak dapat disamakan dengan tulisan Kris Budiman lainnya yang terkesan lebih berat.

Walaupun digarap dengan perspektif semiotika, di dalam himpunan esai ini semiotika telah menjadi relatif cair dan longgar: ia menjelma sebagai soft semiotics.

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang dipakai dalam upaya mencari jalan kehidupan di tengah-tengah manusia bersama dengan manusia lainnya.

Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things).

Esai-esai dalam buku ini terbagi menjadi dua bagian, bagian pertama memperbincangkan sastra dan bagian kedua tentang musik (lagu).

Menariknya, Kris Budiman sebagai ahli semiotika tidak hanya memfokuskan analisis terhadap objek sebagai sebuah tanda, tetapi justru menyinggung masalah kebahasaan penulis, ketidaktepatan pengkajian data, ilustrasi sampul, ketidakcermatan penulis, serta kompetensi, dan daya analitis penulis.

Seperti dalam salah satu esai berjudul “Beragam Tafsir Kepala Buddha”. Selain menyoroti kepala Buddha sebagai sebuah tanda, Kris Budiman juga menyayangkan ketidakcermatan penulis, yakni Ikun SK, dalam mengkaji sebuah data yang merupakan sumber cerita:

“Celakanya, Ikun SK sudah lengah terhadap data ketika menuliskan bahwa kepala Buddha tersebut adalah bagian dari tradisi prasejarah akhir. Setahu saya artefak sejenis itu pasti berasal dari masa setelah kita mengenal tradisi tulis–jadi…, bukan prasejarah” (hlm. 21).

Menurut saya, Kris Budiman juga merupakan seorang kritikus yang ceplas-ceplos. Ia cenderung tidak berbelit-belit dalam “menghakimi” suatu karya”:

“Saya belum menyelesaikan proses pembacaan atas novel ini. Keburu didera rasa enggan! (hlm. 34).

Begitu kiranya komentar Kris Budiman pada Novel Ayat-ayat Cinta.

Tidak cukup di situ saja. Ia juga melontarkan komentar, yang menurut saya pedas, bagi pengarang novel tersebut: “… saya pikir Prie GS itu terlalu berlebihan komentarnya. Mosok Habiburrahman El Shirazy disejajarkan dengan Buya HAMKA? Memang suka-suka dia sih, cuma berlebihan saja rasanya” (hlm. 34).

Beralih pada bagian esai kedua yang berbicara tentang musik, di mana dari dua belas esai, hanya dua buah esai yang tidak membicarakan tentang Leo Kristi. Menurut saya Kris Budiman memiliki pengalaman istimewa bersama sang maestro, yang baru saja berpulang bulan Mei lalu. Dalam buku ini, Kris Budiman berbicara bagaimana lagu-lagu Leo Kristi telah memberi ritme bagi daur hidupnya.

Cukup banyak hal yang dibahas mengenai Leo Kristi, mulai dari syair, evolusi musikal, lirik, kepenggemaran (fandom), dan beragam hal lain.

Rupanya analisis semiotik tak melulu soal bahasa. Sebab, setelah membaca buku ini, saya mengetahui bahwa objek kajian semiotik dapat berupa karya musikal dan aransemen. Misalnya seperti analisis Kris Budiman dalam lagu “El Condor Pasa” yang dinyanyikan oleh Simon & Garfunkel:

“Lalu, ketika melodi lagu mulai dilantunkan, suara pan flute tetap mengiringi, seakan hendak menegaskan kembali bahwa sang burung kini tengah melayang di angkasa, dalam sebuah perjalanan” (hal. 124).

Menarik, ketika suara melodi dapat menjadi penanda sebuah hal, atau menurut konsep semiotika Saussure disebut signifiant. Signifiant atau signifier merupakan hal-hal yang tertangkap oleh pikiran kita seperti citra bunyi, gambaran visual, dan lain sebagainya. Sedangkan signifie, atau yang disebut juga sebagai signified, merupakan makna atau kesan yang ada dalam pikiran kita terhadap apa yang tertangkap.

Berbicara mengenai judul buku: Dari Dee ke Leo Kristi. Mengapa Dee dan Leo Kristi?

Saya mungkin menemukan jawabannya di esai pertama pada bagian sastra. Kris Budiman seperti “mengidolakan” sosok Dewi Lestari atau lebih kita kenal dengan nama Dee. Terlepas dari usia Dee yang lebih senior darinya:

“Begitulah Dee di mata saya: seorang juru dongeng dengan daya pikat luar biasa” (hal. 1).

Hal yang sama juga dirasakan Kris Budiman terhadap Leo Kristi. Buktinya? Ada di buku ini. Sebagian besar esai-esainya ditujukan buat Leo Kristi, seorang manusia diaspora.

Buku ini memang menganalisis karya melalui kajian semiotika. Namun, terlepas dari hal tersebut, membaca buku ini merupakan salah satu cara cepat untuk mengetahui apakah suatu karya layak untuk dinikmati atau sebaliknya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous post Indonesia dalam Film Internasional
Next post Citra Pegawai Keuangan dalam Sastra Indonesia