
Liuk Lampai Eko Triono
Eko Triono tidak membiarkan pembacanya tenang. Ia bersengaja meninggalkan kegelisahan melalui tulisannya. Kisah-kisah dalam buku ini sebaiknya dinikmati secara utuh. Lalu tak apa jika kemudian kamu melamun. —Agama Apa yang Pantas bagi Pohon-Pohon
Potongan kalimat di atas, bagi sebagian orang memang benar terjadi. Usai membaca berbagai cerita yang ditulis Eko Triono, pembaca seakan terus dihantui oleh bayangan ceritanya. Pembaca diserang perasaan yang tidak tenang, gelisah, kemudian melamun.
Buku yang berisi 31 buah cerita pendek karya Eko Triono ini, merupakan kumpulan karyanya yang terbit di berbagai media. Seperti Kompas, Horison, Media Indonesia dan sebagainya. Judul kumpulan ini pun diambil dari salah satu cerpen monumentalnya, Agama Apa yang Pantas bagi Pohon-pohon.
Memangnya jenis agama apa yang dapat dijadikan tiang pegangan bagi sebuah pohon yang menyerupai tiang itu sendiri? Adakah agama yang dengan arif, mampu menghimpun serba-serbi kehidupan umat pepohonan?
Cerita pendek yang menjadi judul buku, dapat dikatakan sebagai cermin besar dari seluruh cerita di dalamnya. Agama Apa yang Pantas bagi Pohon-pohon, tidak seperti cerita pendek pada umumnya. Cara Eko mengeksplorasi ide dan gaya cerita serta gaya bahasa benar-benar licin dan menjadi pekerjaan tambahan bagi pembaca awam untuk memahaminya.
Cara pengembangan ide Eko Triono adalah salah satu hal yang dapat dikagumi. Cerita yang tidak hanya datang dari satu daerah atau satu wilayah, tetapi ia datang dari ujung-ujung negeri. Dari belahan dunia lain di bumi, di luar bumi, bahkan di luar dunia nyata.
Kemampuan imajinasi Eko rupanya bekerja dengan baik di sini. Hal itu membenarkan komentar dari Edi AH Iyubenu pada awal buku, “Eko mengeksplorasi ‘ide kecil’ itu menjadi begitu besar, luas, meraksasa, melangit, berkat pertolongan Psikologi Imajinasi…”
Tema yang diangkat merupakan tema yang lazim dalam kehidupan sehari-hari. Cinta, pendidikan, agama, mimpi, kekejaman, pembunuhan, keluarga, kasih sayang, bencana hingga politik. Hanya saja ketidakumuman terjadi saat Eko mencoba membagi kisah itu kepada pembaca. Imajinatif, nakal, liar dan meliuk-liuk.
“Andaikan bahasa adalah air, maka bahasa cerpen Eko adalah ombak dan bukan riak.” – tulis Tia Setiadi, mengomentari kumpulan cerita pendek yang ditulis Eko Triono.
Benar, ombak yang digunakan Eko menyapu pasir-pasir aturan bahasa cerita yang lebih dulu ada. Kemudian membawanya ke lepas pantai dan mengendapkannya ke dasar laut. Ombak bergulung-gulung teratur, tidak begitu kencang, tetapi tidak sepelan riak. Memiliki polanya sendiri, unik dan menarik.
Bahasa yang digunakan benar-benar lain dari yang lain. Butuh daya pikir ekstra untuk memahami setiap kalimat. Sebab begitu banyak kalimat puitik dan menggunakan analogi.
Pembaca juga dituntut cermat, karena Eko banyak menggunakan sudut pandang kedua dalam beberapa ceritanya. Gaya bahasanya, selaras dengan gaya cerita yang juga tak dapat disebut biasa.
Sudah menjadi ciri khas cerpen kontemporer, jika pengarang dengan tekniknya mengaduk-aduk unsur-unsur yang ada. Tema, plot, sudut pandang, latar, tokoh dan penokohan, serta konflik yang terkesan bebas, tak mengikuti aturan, suka-suka.
Membaca berlembar-lembar cerita dalam satu tarikan nafas. Tidak ada titik ataupun koma. Hanya berhenti setelah bacaan benar-benar rampung. Hal itu dapat ditemui dalam cerita berjudul Aku Ini Ibumu.
Seorang ibu yang memarahi anaknya lantaran begitu pemalas. Mengumpat, memaki, mengeluarkan kata-kata kasar, sumpah serapah. Mengutuki keberadaannya di dunia ini. Tapi lazimnya orang marah yang kadang tak memikirkan jeda pada setiap kalimat yang keluar dari mulutnya. Nyerocos begitu saja.

Kemudian cerita berjudul Bukan Aku yang Membunuhnya, yang keseluruhannya merupakan kalimat langsung tanpa pengantar. Kesaksian seorang laki-laki di pengadilan yang dituduh telah melakukan pembunuhan. Diawali dengan petik dua, begitu pula akhirnya.
Tak cukup di situ, Eko sangat berpengalaman menyajikan cerita-cerita fantasi. Ia begitu lihai dalam membangun dunia khayal, tokoh, suasana, dan latar tempatnya. Tak masuk akal tetapi indah.
Kereta ini bernama Paradisa Apoda. Ia memiliki rem, namun hanya berhenti sekali selama 18 jam 25 menit perjalanannya. Ia berhenti di tempat yang sama ketika berangkat: stasiun pusat kota Leteria. Stasiun ini mirip perpustakaan tua, dengan rak-rak tua, lantai tua, lukisan tua, suasana tua, dan gadis penjaga yang sudah tua (Paradisa Apoda dalam Agama Apa yang Pantas bagi Pohon-pohon, 2016: 64).
Tidak lupa gong dari kumpulan ini, Agama Apa yang Pantas bagi Pohon-pohon. Membicarakan agama untuk pohon-pohon.
Cerita ialah tentang “Kau”, lelaki yang menderita sebab ditinggal menikah oleh separuh jiwanya. “Kau” begitu hancur dan memilih melarikan diri jauh ke daerah konflik, menjadi relawan. Separuh jiwanya memiliki seorang anak dengan suaminya. Ia lucu, cerdas, dan memimpikan bulan. “Kau” berpura-pura gembira padahal kau sangat hancur.
Belahan jiwanya bercerai dengan suaminya, anaknya dibawa pergi. Ia sedih dan merenung, apa seperti ini nasib pernikahan beda agama? Dalam khayal “Kau” bertanya, apakah agama pohon-pohon yang membuat mereka dapat hidup berdampingan dengan damai?
Segala hal yang bersinggungan dengan agama memang menarik walaupun sensitif. Perbedaan agama dalam suatu hubungan bukan hal sepele. Sebab, menyatukan dua kepala dengan basic yang berbeda adalah masalah yang serius. Sampai sekarang, di negara ini pernikahan berbeda keyakinan masih menjadi pro kontra.
Satu lagi, Ikan Kaleng yang mengambil cerita realis. Cerpen yang menyentil tentang ketimpangan sistem pendidikan negara ini. Menceritakan seorang guru asal Jawa yang ditempatkan di daerah Papua.
Rupanya, di sana orangtua lebih menginginkan anak-anak mereka menjadi seorang nelayan yang pandai menangkap ikan. Mereka mengesampingkan pendidikan dasar.
Untuk apa bersekolah jika dengan menangkap ikan saja bisa makan. Tapi mereka menemui jalan buntu ketika mendapat tangkapan ikan yang melimpah. Bingung harus diapakan.
Saat kepala suku tak sengaja melihat ikan Sarden di kota, ia ingin ikan-ikan tangkapan nelayan dibuat seperti ikan Sarden di kota. Sebab harga sekaleng ikan sama dengan satu kilogram ikan mentah. Tapi pengetahuan yang terbatas membuat hal itu masih mustahil dilakukan.